Setelah Amnesti Pajak Berakhir

Oleh : Oji Saeroji
Hari Jumat (31/3) tepat pukul 24:00 WIB, program pengampunan pajak resmi berakhir. Berdasarkan data sementara Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sebanyak 956.793 wajib pajak mengikuti program tersebut dengan nilai harta deklarasi dalam negeri tercatat Rp 3.676 triliun dan nilai harta deklarasi luar negeri tercatat sebesar Rp1.031 triliun, komitmen repatriasi pajak sebesar Rp147 triliun atau sekitar 14,7 persen dari target Rp 1.000 triliun. Program yang telah dimulai sejak Juli 2016 lalu ini telah berhasil menampung realisasi uang tebusan mencapai Rp 129 triliun dari total target penerimaan seluruhnya Rp 165 triliun.
Harapan seiring berakhirnya program pengampunan pajak atau tax amnesty adalah seluruh kegelapan di dalam perpajakan telah berakhir dan kedepannya terbitlah terang sebagaimana dinyatakan oleh Sri Mulyani sebagimana terilhami dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang berisi kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Perubahan era perpajakan pasca tax amnesty juga berarti hijrahnya Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak ke masa yang lebih baik. Begitu juga para wajib pajak. Milestone yang menjadi titik tugu peringatan untuk masuk era baru yang lebih positif berdasarkam asas tata kelola yang baik, konsistensi untuk memperbaiki, bisnis proses, cara kerja, dan memberi kepastian kepada masyarakat.
Program tax amnesty, selain sebagai memperbesar penerimaan Negara juga memiliki tujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan untuk memperbaiki basis pajak di Indonesia yang lebih baik. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah dalam hal ini Ditjen Pajak menyiapkan strategi pengamanan penerimaan negara melalui sektor pajak sebagai tindak lanjut dari berakhirnya Program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty, Berikut ini beberapa strategi yang akan dilakukan Ditjen Pajak dalam upayanya memenuhi target penerimaan Negara :
Reformasi Aturan Perpajakan
Terdapat lima Undang-undang (UU) yang akan dibahas setelah masa program tax amnesty berakhir. Kelima UU tersebut antara lain, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pertama, KUP akan di sempurnakan dalam hal hak dan kewajiban wajib pajak dan DJP. Termasuk sanksi, dan seterusnya termasuk transformasi kelembagaan DJP dibahas di UU KUP. Kedua, melakukan pembahasan terhadap UU Pajak Penghasilan (PPh), dalam ketentuan tersebut pemerintah akan merapikan struktur perpajakan. Ketiga, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selanjutnya, pemerintah juga melakukan pembahasan terkait UU Bea Materai dan terakhir RUU Pajak Bumi Bangunan (PBB).
Pemeriksaan Wajib Pajak
Sebagaimana pernah diungkap Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan, Ken Dwijugiastedi bahwa setelah program amnesti pajak berakhir, maka DJP akan melakukan penegakan hukum terhadap wajib pajak yang belum mendeklarasikan hartanya. DJP akan menerapkan penegakan hukum sesuai dengan Pasal 18 ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Wajib pajak yang selama ini menolak membereskan catatan perpajakan masa lalu dengan mengikuti program amnesti pajak akan menghadapi risiko pengenaan pajak dengan tarif serta sanksi atas harta yang tidak diungkap dan kemudian diketahui oleh otoritas. Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 merupakan wujud keadilan bagi wajib pajak yang patuh dan telah ikut melaporkan hartanya dalam program amnesti pajak.
DJP punya kebijakan yakni akan menjadikan prioritas untuk dikenakan Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016 lantaran wajib pajak yang bersangkutan telah diimbau untuk ikut amnesti pajak sebelumnya. Artinya kalau memang dari data yang sudah kami miliki tapi wajib pajak tidak mengikuti TA dan tidak juga diklarisifikasi dari WP, ini mereka akan tanggung ‘sasaran’ untuk penegakan Pasal 18 UU TA, bagi wajib pajak yang telah mengikuti program amnesti pajak ini tetap akan dilakukan tindak lanjut.
Sebelumnya telah ada kerja sama DJP dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait permintaan akses data nasabah perbankan yang dapat dilakukan lebih cepat, yakni dalam waktu kurang lebih 14 hari. Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang telah diteken dengan salah satu poinnya, penerapan pembukaan rahasia nasabah bank dalam rangka pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan penagihan di bidang perpajakan. Ditjen Pajak sudah menyiapkan berbagai strategi dan prosedur untuk memeriksa para wajib pajak. Salah satunya adalah pembekalan data yang kuat kepada pegawai pajak sebelum melakukan pemeriksaan kepada para wajib pajak. Data yang digunakan untuk pemeriksaan tersebut berasal dari data intelijen Ditjen Pajak dan sumber data lainnya.
Membuka Rahasia Bank
Indonesia akan ikut serta dalam Automatic Exchange of Information (AEoI), program keterbukaan informasi secara otomatis antarnegara yang akan berlangsung September 2018 mendatang. Dalam AEoI nanti, data-data wajib pajak WNI akan semakin terbuka sekalipun telah melakukan penghindaran pajak ke negara lain. Indonesia akan mudah ketika membutuhkan data wajib pajak WNI di negara tertentu karena program AEoI ini menerapkan prinsip resiprokal satu negara dengan negara lainnya. DJP akan menegakan Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2016. Apalagi, saat era keterbukaan informasi tahun depan, wajib pajak yang mencoba melakukan pelarian pajak akan ketahuan oleh otoritas di negara lain. Belum lagi, Indonesia juga telah berkomitmen untuk menerapkan prinsip penghindaran, yakni Base Erosion dan Profit Shifting (BEPS).
Langkah pertama dari implementasi membuka rahasia Bank adalah Ditjen akan mewajibkan perbankan melaporkan informasi keuangan nasabah yang bersumber dari kartu kredit. Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016, berlaku setelah program pengampunan pajak . Dalam PMK Nomor 39/PMK.03/2016 mengatur tentang Rincian Jenis Data dan Informasi Serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. Dalam beleid tersebut, lembaga jasa keuangan diwajibkan melaporkan data nasabah dan akan dikenakan sanksi penjara selama dua tahun atau denda Rp 1 miliar jika tidak memenuhi kewajiban itu. Untuk langkah awal para penerbit kartu kredit akan diminta melaporkan data pokok pemegang kartu dan transaksi kartu pada periode Juni 2016 hingga Maret 2017. Data akan dicocokan dengan tingkat kepatuhan dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut atas data yang telah didapatkan.
Dari beberapa langkah strategi di atas yang besar kemungkinan dilakukan secara bersamaan dalam tahun 2017 sebagai wujud strategi nyata Ditjen Pajak mengamankan penerimaan Negara melalui sektor pajak. Dengan aturan yang lebih baik, asas keadilan bagi wajib pajak patuh dan keterbukaan informasi perbankan diharapkan akan semakin mempermudah Ditjen Pajak dalam upaya mengemban misi “suci” memenuhi penerimaan Negara bagi pembangunan bangsa yang makmur, sejahtera dan bermartabat.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 8886 kali dilihat