Oleh: Sinta Agustin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Belakangan jagad maya nusantara dihebohkan dengan kemunculan “kerajaan” baru. Imperium yang menamai dirinya sebagai Keraton Agung Sejagad (KAS) ini mengklaim sebagai induk dari seluruh kerajaan maupun negara yang ada di dunia. Titel “World Empire” disematkan sendiri oleh pendiri KAS Totok Santosa Hadiningrat, sebagai tanda bahwa KAS diutus sebagai juru damai terhadap seluruh konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Lebih mengejutkan lagi, disinyalir dari Kompas.com bahwa pengikut atau anggota KAS telah mencapai tidak kurang dari 450 orang. Dipimpin oleh seorang raja atau sering dipanggil sinuhun dan seorang kanjeng ratu atau permaisuri, kelompok ini mengadakan berbagai kegiatan di Desa Pogung, Purworejo. Uniknya, kebanyakan pengikut dari KAS merupakan penduduk dari luar daerah tersebut.

Seperti kebanyakan kerajaan lainnya, selain memiliki raja dan ratu tersendiri, KAS juga memiliki struktur organisasi dan sistem pemerintahannya sendiri. Meskipun tak jelas asal usul pendiriannya, namun KAS memiliki hierarki jabatan layaknya jenderal, punggawa kerajaan, maupun abdi dalem. Bahkan untuk menempati kedudukan tersebut, para pengikut KAS diwajibkan untuk membayar “upeti” yang nominalnya mencapai jutaan rupiah. Dengan dalih untuk aktivitas serta dijanjikan terhindar dari malapetaka, pemimpin KAS mewajibkan iuran setiap bulan bagi para anggotanya. Iming-iming penghasilan dolar yang bakal diterima anggota, nyatanya tak kunjung ditepati oleh sang raja.

Keberadaan serta kegiatan dari “kerajaan” ini ternyata menimbulkan keresahan bagi masyarakat sekitar. Laporan mengenai kegaduhan aktivitas hingga tuduhan mengajarkan aliran sesat mulai bermunculan. Tepat pada tanggal 15 Januari 2020, KAS dibubarkan oleh kepolisian karena dinilai merugikan masyarakat. Kedua orang pemimpin KAS, sinuhun raja serta kanjeng ratu ditetapkan tersangka atas tindak pidana penipuan.

Upeti “Keraton”

Dalam silsilah negara Indonesia tentunya tak lepas dari sistem pemerintahan monarki. Beribu-ribu tahun lamanya telah berdiri silsilah kerajaan tentunya sebelum bersatunya nusantara. Sejarah mencatat, tak kurang dari 200 kerajaan pernah bersemayam di bumi pertiwi. Hingga tersisa dua sistem kerajaan besar yang masih diakui, yaitu Kasunanan Surakarta dengan Mangkunegaran, serta Kasultanan Yogyakarta dengan Pakualaman.

Untuk menjalankan roda pemerintahan pada kerajaan, tentunya tak lepas dari pungutan atau upeti yang wajib diberikan oleh masyarakat. Upeti merupakan simbol ketundukan dan kesetiaan warga terhadap raja. Dipungut secara paksa, imbal balik pemberian upeti berupa jaminan keamanan dan ketenangan dari penguasa.

Upeti merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sejarah pemungutan pajak di Indonesia. Pada masa kolonial Belanda, berangsur-angsur pemungutan upeti beralih menjadi sistem pajak tanah atau landrent. Baru pada masa menjelang kemerdekaan, tepatnya tanggal 14 Juli 1945, persoalan pajak dimasukkan dalam Rancangan UUD yang digagas oleh Radjiman Wedyodiningrat pada rapat BPUPKI.

Pada kasus KAS, upeti yang wajib dibayarkan oleh anggota kerajaan, dengan dalih “iuran bulanan”, pun digunakan untuk membiayai aktivitas dari keraton tersebut. Sementara upeti yang memiliki nominal besar, wajib dibayarkan dengan imbal balik jabatan atau kedudukan tinggi pada hierarki keraton, ditambah dengan janji mendapatkan penghasilan bermata uang dolar. Seyogyanya, pun sejak masa kerajaan terdahulu, upeti yang dipersembahkan merupakan tanda kesetiaan rakyat, raja yang berkuasa tidak menjanjikan imbal balik langsung selain pengakuan serta jaminan keamanan.

Asas Perpajakan

Istilah “pajak” mulai diperkenalkan pada sidang BPUPKI tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat memunculkan “pajak” dalam Rancangan UUD Pasal 23 butir kedua di Bab VI. Pasal tersebut berbunyi “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang”. Sejak saat itu pembahasan pajak mulai bergulir hingga akhirnya ditetapkan sebagai sumber penerimaan negara pada tanggal 16 Juli 1945.

Sama halnya dengan upeti pada kerajaan terdahulu, pajak merupakan pungutan wajib yang bersifat memaksa, tanpa ada imbal balik secara langsung. Perbedaannya, pajak yang dipungut digunakan untuk  keperluan  negara  bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 1 ayat (1) UU KUP) bukan hanya sebagai simbol atas ketundukan dan kesetiaan masyarakat terhadap penguasa.

Selain itu, dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak wajib memenuhi asas-asas yang diutarakan oleh Adam Smith, yaitu Equality, Certainty, Convenience of Payment, serta Efficiency. Asas Equality berarti pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak sehingga negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Asas Certainty yaitu adanya kepastian hukum, semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

Kemudian asas Convenience of Payment, pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau di saat wajib pajak menerima hadiah. Dan yang terakhir adalah asas Efficiency atau Economy yaitu biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.

Keempat asas pemungutan pajak tersebut di atas telah diterapkan dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia. Asas Equality atau Keadilan misalnya, telah nyata diterapkan dalam perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi karyawan. Implementasi tarif progresif mempertimbangkan besaran penghasilan dengan persentase pajak yang dikenakan. Selain itu, pemberian batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diharapkan mampu mengakomodasi pemenuhan kebutuhan harian minimal pada masyarakat.

Dalam sistem pemungutan pajak Indonesia tentunya telah memenuhi asas Certainty atau Kepastian Hukum. Berbagai peraturan mengenai perpajakan telah dikeluarkan serta terus menerus dikembangkan untuk memenuhi keperluan negara dengan tidak mengesampikan harapan masyarakat. Berikut sanksi yang dikenakan, telah lengkap tertera pada peraturan, bagi mereka yang tidak mematuhi undang-undang yang telah ditetapkan.

DJP sebagai institusi perpajakan di Indonesia mempertimbangkan asas Convenience of Payment dalam pemungutan pajak. Sebagai contoh, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi karyawan dilakukan sesaat setelah pegawai tersebut menerima penghasilan. Dengan begitu, karyawan tetap memperoleh penghasilan yang telah menjadi haknya dengan tidak mengesampingkan kewajiban pembayaran pajak. Selain itu pemberian tenggat waktu sampai tanggal 10 bulan berikutnya bagi pemotong/pemungut pajak untuk menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut, diharap mampu memenuhi harapan dalam penyelesaian administrasi dengan tidak serta merta mengesampingkan amanah pajak yang wajib disetor ke Kas Negara.

Dengan semakin berkembangnya teknologi, DJP juga ikut mengembangkan sistem pembayaran pajak yang mudah, murah, serta aman dan nyaman. Pengembangan teknologi ebilling secara daring, mampu diakses seluruh wajib pajak di mana pun berada. Kerja sama serta sinergi yang dilakukan bersama dengan lembaga perbankan terus dilakukan dalam upaya meningkatkan kemudahan serta kenyamanan bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan adanya sistem aplikasi daring serta kemudahan dalam pembayaran pajak, maka dengan sekaligus asas Convenience of Payment dan Efficiency mampu terpenuhi.

Sementara dalam pemungutan “upeti” Keraton Agung Sejagad, tentunya tidak mempertimbangkan keempat asas dasar pemungutan pajak. Bahkan dalam berbagai berita di media massa, tak sedikit anggota KAS yang “memaksakan” pengeluaran jutaan rupiah sampai mengesampingkan kebutuhan primer keluarga.

 

Imbalan Tidak Langsung

Dari uraian di atas dapat terlihat komitmen yang luar biasa dari negara, khususnya institusi perpajakan dalam memberikan fasilitas  bagi masyarakat untuk memenuhi kewajibannya. Dengan tetap berpedoman kepada asas dasar tersebut, peraturan demi peraturan dikeluarkan dalam rangka memenuhi harapan masyarakat dengan tetap menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Fasilitas umum serta infrastruktur publik yang tersedia dan dapat dimanfaatkan secara gratis oleh masyarakat, itulah bukti nyata atas kontribusi yang dibayarkan. Ruang hijau dan perbaikan sarana transportasi, terus dibangun dengan memanfaatkan pajak yang telah disetor ke Kas Negara. Peningkatan mutu pendidikan serta sumber daya manusia, tentunya dapat dikembangkan dengan kewajiban yang telah kita tunaikan bersama.

Kadang iming-iming “imbalan langsung” memang jauh lebih mengena daripada sesuatu yang nyata dan bermanfaat bagi semua. Janji manis akan peningkatan penghasilan secara instan dinilai lebih menjanjikan dibandingkan perbaikan mutu pendidikan. Impian punya kendaraan pribadi terlihat bisa lebih terealisasi ketimbang akses jalan umum yang sehari-hari kita lalui. Maka kehadiran inklusi pajak semenjak dini, diharapkan mampu meningkatkan rasa kebersamaan, rasa ke”punya”an negeri, terhadap diri sendiri. Semoga.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.