Oleh: Satria, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Sektor properti dan konstruksi di Indonesia saat ini sedang berkembang pesat. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor konstruksi tumbuh 7,68% secara tahunan atau year on year (yoy) pada kuartal IV-2023, dengan kontribusi terhadap total produk domestik bruto (PDB) sebesar 10,49%.

Seiring dengan pertumbuhan populasi dan percepatan urbanisasi, peluang investasi di sektor ini semakin besar. Peningkatan kegiatan perekonomian dalam sektor properti dan konstruksi akan berimplikasi pada peningkatan potensi pengenaan pajak, salah satunya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Salah satu objek PPN tersebut adalah kegiatan pembangunan properti yang dipungut oleh kontraktor yang telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Dalam praktik di lapangan, kegiatan membangun tidak hanya dilakukan oleh kontraktor yang telah dikukuhkan sebagai PKP, tetapi juga dilakukan oleh orang pribadi atau badan, baik dilakukan sendiri maupun menggunakan jasa borongan atau tukang yang bukan PKP. Guna memberikan keadilan atas pengenaan PPN dalam sektor konstruksi, maka diberlakukan aturan PPN Kegiatan Membangun Sendiri (KMS).

Ketentuan Umum

Berdasarkan Pasal 323 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 81/2024) , kegiatan membangun sendiri merupakan kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan membangun sendiri tidak harus dilakukan oleh pemilik bangunan, tetapi bisa dilakukan oleh pihak lain, seperti tukang bangunan, pekerja borongan, maupun melalui jasa badan usaha sepanjang belum dipungut PPN.

Bangunan yang dimaksud dalam Pasal 323 ayat (4) PMK 81/2024 berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria: 1) konstruksi utamanya dapat berupa kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja 2) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan 3) luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200 m2 (dua ratus meter persegi). Dengan kata lain, tidak semua bangunan yang dibangun sendiri dikenakan PPN KMS.

PPN KMS yang terutang diperoleh dari hasil perkalian dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan dengan 20%, kemudian dikalikan lagi dengan tarif PPN. Contoh perhitungannya, apabila seseorang membangun rumah yang telah memenuhi kriteria yang dikenakan PPN KMS dengan total biaya pembangunan sebesar Rp500.000.000, maka PPN KMS yang terutang adalah 11% x 20% x Rp500.000.000 atau sebesar Rp11.000.000.

Kewajiban untuk menghitung, memungut, dan menyetor PPN KMS dibebankan kepada orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri. Saat terutang PPN KMS adalah saat mulai dibangunnya bangunan sampai dengan bangunan selesai.

Tantangan dan Kendala

Oleh karena kewajiban penghitungan, pemungutan, dan penyetoran PPN KMS dilakukan oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri serta bukan dilakukan oleh PKP, terdapat beberapa tantangan dan kendala yang dihadapi dalam pengenaan PPN KMS.

Kendala pertama, wajib pajak tidak mengetahui kewajiban pembayaran PPN KMS. Hal ini dapat disebabkan oleh keterbatasan akses informasi mengenai pajak sejak dini.

Kendala kedua, wajib pajak tidak mengetahui jumlah biaya pembangunan dengan pasti dan benar. Wajib pajak sering kali tidak mencatat dengan rinci anggaran pembangunan yang dilakukan, sehingga saat akan melakukan pembayaran, wajib pajak menghitung jumlah PPN KMS yang terutang hanya berdasarkan pada perkiraan biaya pembangunan yang dikeluarkan.

Kendala ketiga, terdapat mispersepsi di masyarakat mengenai PPN KMS. Contohnya beberapa waktu yang lalu, pemberlakuan PPN KMS sempat hangat diperbincangkan di media sosial. Banyak masyarakat beranggapan bahwa pemerintah dianggap tidak memihak masyarakat kecil dan semena-mena dalam pengenaan pajak. Ditambah lagi dengan berbagai macam pemberitaan yang membuat PPN KMS ini seolah-olah merupakan jenis pajak baru. Masyarakat banyak memberikan komentar dalam pemberitaan daring dengan berbagai persepsi, salah satunya mengenai asas keadilan dalam PPN KMS. Banyak juga yang mempertanyakan alasan mengapa membangun rumah sendiri harus tetap membayar PPN.

Solusi

Untuk menghadapi tantangan dan kendala dalam pengenaan PPN KMS tersebut, terdapat beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk menyelesaikannya. Keterbatasan pengetahuan wajib pajak mengenai PPN KMS dapat diatasi dengan kegiatan edukasi, sosialisasi, dan penyuluhan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seputar PPN KMS. DJP sendiri melalui akun resminya telah mengunggah informasi penting terkait PPN KMS. Pemahaman yang benar mengenai PPN KMS dapat menumbuhkan kesadaran wajib pajak agar wajib pajak dapat menjadi lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Dengan begitu, kendala wajib pajak yang tidak mengetahui biaya pembangunan dengan pasti diharapkan sudah dapat diatasi dengan telah dibekalinya wajib pajak dengan pengetahuan tentang PPN KMS. Dengan memahami ketentuan mengenai PPN KMS, wajib pajak dapat memiliki gambaran mengenai apa saja yang harus disiapkan untuk menerapkan ketentuan PPN KMS. Salah satu persiapan yang harus dilakukan adalah dengan menyiapkan perincian biaya apa saja yang dikeluarkan untuk melakukan pembangunan.

Terkait pemberitaan di media sosial yang membuat PPN ini seolah-olah merupakan jenis pajak baru, dapat dijabarkan bahwa PPN KMS sendiri sudah dikenakan sejak tiga puluh tahun yang lalu, tepatnya per 1 Januari 1995 berdasarkan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Berbicara mengenai polemik pengenaan PPN KMS saat membangun bangunan milik sendiri, Yustinus Prastowo saat masih menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, turut meluruskan misinformasi mengenai PPN KMS. Yustinus menyampaikan di akun X miliknya bahwa PPN KMS diberlakukan untuk menciptakan keadilan. Jika kegiatan membeli rumah dari kontraktor yang berstatus sebagai PKP terutang PPN, maka kegiatan membangun sendiri pada level pengeluaran yang sama mestinya juga diperlakukan sama (turut membayar PPN). Yustinus pun juga mempertegas jika tidak semua kegiatan membangun sendiri terutang PPN seperti yang tertera dalam PMK 81/2024.

Apabila langkah-langkah penyelesaian tantangan dan kendala terkait pengenaan PPN KMS berhasil dilakukan, penerimaan PPN KMS diharapkan dapat menjadi lebih optimal. Selain itu, keadilan dalam pengenaan pajak bagi masyarakat juga dapat terwujud. Masyakarat yang membeli rumah jadi dari kontraktor maupun masyarakat yang membangun sendiri dapat sama-sama berkontribusi dalam menyumbang penerimaan negara dalam bentuk PPN.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.