Polemik Virtual Currency

Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kehidupan modern sekarang ini menuntut pergerakan ekonomi yang cepat dan selalu berputar. Merebaknya transaksi online sekarang ini membuat kebutuhan manusia menjadi lebih mudah didapatkan, karena sistem penawaran dari transaksi perdagangan yang bersifat e-commerceKebutuhan masyarakat dari kebutuhan sehari-hari, hobi, edukasi, fashion, hingga otomotif seakan-akan sudah tidak sulit lagi untuk ditemukan. Mengutip dari situs http://tekno.liputan6.com/read/3230715/5-prediksi-tren-e-commerce-di-indonesia-pada-2018, perubahan pola perilaku belanja ini juga ditunjukkan dengan jumlah transaksi e-commerce yang meningkat. Laporan tahunan yang dikeluarkan We Are Social menunjukkan persentase masyarakat Indonesia yang membeli barang dan jasa secara online dalam kurun waktu sebulan pada 2017 mencapai 41 persen dari total populasi, naik 15 persen dibandingkan 2016 yang hanya 26 persen. Hal ini didukung dengan juga beralihnya pengusaha-pengusaha offline untuk berpindah menjadi pengusaha online.

Fenomena inilah yang kemudian memperlihatkan adanya perkembangan teknologi yang sangat cepat dan meningkatnya  kepercayaan dari masyarakat akan e-commerce ini yang mulai terbangun. Adanya transaksi perdagangan online yang mulai digemari ini tidak menutup pula naiknya tuntutan akan penggunaan alat-alat pembayaran yang bersifat online pula. Dari media transfer lewat ATM, e-banking, hingga maraknya penggunaan uang elektronik yang memunculkan teknologi baru juga yang berupa e-wallet, sejenis dompet virtual berupa akun untuk menyimpan uang elektronik. Kemudian bertransaksi inilah yang membuat pengguna semakin dimanjakan dan memprioritaskan kemudahan serta tergiur akan godaan promo berupa diskon maupun kebijakan tanpa biaya administrasi dari penyedia layanan uang elektronik. Transaksi menjadi meluas hingga lintas benua, membuat pilihan uang elektronik pun menjadi semakin beragam tidak hanya berkisar uang elektronik yang berasal dari penyedia lokal Indonesia. Lebih mendalam mengenai uang elektronik kita akan semakin paham dengan istilah virtual currency. Namun apakah virtual currency itu, mengutip dari situs https://www.dewaweb.com/bitcoin-mata-uang-digital-cryptocurrency/cryptocurrency menggunakan teknologi yang didesentralisasikan agar pengguna dapat melakukan pembayaran dengan aman dan menyimpan uang tanpa harus menggunakan nama mereka atau melalui bank. Mereka didistribusikan melalui sebuah buku besar publik (public ledgers). Public ledgers adalah tempat penyimpanan semua transaksi yang dikonfirmasi sejak dimulainya pembuatan cryptocurrency.

Identitas pemilik coins akan dienkripsi dan sistem akan menggunakan teknik cryptocurrency lainnya untuk memastikan legitimasi pencatatan. Buku besar memastikan bahwa dompet digital yang sesuai dapat menghitung saldo yang bisa digunakan secara akurat. Selain itu, transaksi baru dapat diperiksa untuk memastikan bahwa setiap transaksi hanya menggunakan koin yang saat ini dimiliki oleh penggunanya. Bitcoin, salah satu cryptocurrency, menyebut buku besar ini dengan istilah blockchain. Selain Bitcoin, muncul pula beberapa jenis cryptocurrency lainnya, seperti Ethereum, Doge, Ripple, dan lain-lain. Untuk mengenal jenis mata uang tersebut, dan membantu Anda menentukan pilihan ingin berinvestasi pada cryptocurrency.

Lebih lanjut mengenai cryptocurrency ini, bahwa saat alat transaksi ini diperlukan untuk transaksi pembayaran di dunia maya maka akan akan kecenderungan untuk pengguna untuk menyimpannya dalam sebuat e-wallet yang disesuaikan dengan jenis cryptocurrency apa yang digunakan.  Kecenderungan menyimpan ini mengubah dan membuat cryptocurrency ini menjadi seolah-olah menjadi sebuah aset dan kita lebih kenal namanya menjadi digital asset. Polemik sekarang ini mengenai penggunaan cryptocurrency diklaim beberapa pihak hanya sebagai alat transaksi elektronik. Namun pemberitaan yang heboh sekarang ini memunculkan penasaran yang tinggi bagi masyarakat. Secara kita ketahui, masyarakat Indonesia kita bisa bilang mudah “latah” akan suatu fenomena. Saat barang itu menjadi perbincangan yang luar biasa di media maka akan muncul beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk dapat mengambil kesempatan akan kejadian tersebut. Kita bisa kembali ke maraknya dulu mengenai tanaman gelombang cinta, dengan taksiran harga yang sangat tinggi untuk diperjualbelikan. Namun maraknya itu tidak lebih dari satu periode tahun, berlanjut dengan munculnya harga batu akik yang tiba-tiba melejit, dan masyarakat seakan terhipnotis untuk memilikinya untuk menjadi aset. Dan hal itu juga tidak bertahan lama dan berganti lagi sesuai dengan fenomena pasar saat ini.

Sekarang mengenai cryptocurrency, contohnya bitcoin secara kepemilikan pusatnya tidak ada yang memilikinya. Tidak ada negara satupun yang mengatur keberadaan aset ini. Lebih lanjut mengenai nilai interinstiknya bahwa cryptocurrency dianggap menjadi suatu mata uang karena adanya idealism dan kepercayaan akan penggunaan mata uang ini, berbeda dengan mata uang kertas resmi yang secara hukum diatur oleh Bank Sentral dan wajib dipakai serta legal untuk transaksi. Yang paling mengkhawatirkan adalah kemungkinan menjadikannya sarana pencucian uang. Karena identitas pemilik dan penerima dapat dirahasiakan. Hal itu akan menimbulkan tindakan korupsi yang otoritas pemerintah sulit melacaknya. Pembekuan aset ini pun juga sulit dilakukan.

Kembali kepada hakekat suatu negara, bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya. Menjamin keadilan dan keamanan dalam bertransaksi di sebuah negara.  Tidak ada satupun warga negara terkecuali negara yang dapat memonopoli sistem keuangan. Bayangkan jika sistem keuangan dipegang oleh individu, hakekat negara pun dipertanyakan. Hal itu juga akan secara langsung berpengaruh dengan tindakan hukum perpajakan. Bayangkan jika terdapat Wajib Pajak yang tersangkut pidana perpajakan atau penghindaran pajak maka institusi Direktorat Jenderal Pajak akan kesulitan membekukan aset bersangkutan karena otoritas Bank Indonesia tidak mempunyai kewenangan. Sehingga saya pribadi pun yakin apa yang diutarakan Menteri Keuangan Republik Indonesia (Sri Mulyani) sangat beralasan dan mempunyai dasar hukum yang jelas. Beliau selalu menekankan bahwa alat transaksi dan pembayaran, mata uang yang diakui oleh negara adalah rupiah . Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang Bab I Pasal 1 yang berbunyi ;

Ayat 1 : “Mata Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.”

Ayat 2 : “Uang adalah alat pembayaran yang sah.”

Ayat 3 : “Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”

Sudah jelas bahwa negara melalui Bank Indonesia yaitu bank sentral Republik Indonesia yang berhak dan berwenang mengatur perekonomian secara moneter di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Bab II tentang asas dan tujuan;

Pasal 3 yang berbunyi,”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.”

Pasal 4 yang berbunyi,”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a.  mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;

b.  mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c.  meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; 

d.  membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”           

Sehingga sudah jelas faktor proteksi dan keamanan inilah yang menjadi tujuan dan  keharusan suatu negara untuk menjaminnya. Sebagai masyarakat kita seharusnya bisa lebih bijak dan menyadari, seperti kata pepatah lama “dimana bumi dipijak, maka di situ langit dijunjung”. Tiap-tiap warga negara memiliki hak nya masing-masing dan perlu diingat bahwa setiap hak dalam satu individu terkait dengan hak individu yang lain dan negara berkewajiban untuk melindunginya.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.