Pajak Sebagai Lokasamgraha, Pelindung Rakyat dari Krisis

Oleh: Gede Suarnaya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tanggal 14 Juli 2025, kita memperingati Hari Pajak. Momen penting ini sejatinya layak dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia dengan penuh suka cita. Sejak pertama kali diperingati pada tahun 2018, Hari Pajak menjadi pengingat akan pentingnya peran pajak dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa makna yang bisa kita petik dari momentum ini? Mengapa kesadaran pajak harus diperjuangkan?
Pertanyaan-pertanyaan itu kerap mengusik nurani penulis sebagai bagian dari anak bangsa. Bukan semata karena penulis adalah pegawai pajak, melainkan lantaran penulis percaya bahwa kesadaran ini seharusnya tumbuh di benak setiap warga negara, termasuk para pemimpin kita.
Setidaknya, pascapandemi, kita dihadapkan pada berbagai tantangan berat. Di tengah keterbatasan fiskal dan kebutuhan pembangunan program prioritas yang semakin mendesak, pajak menjadi tulang punggung utama dalam membiayai masa depan bangsa.
Pertama, kini, ancaman perang dan konflik terbuka semakin nyata. Dampaknya tidak hanya pada stabilitas politik global, tetapi juga pada ketersediaan pangan dunia. Krisis pangan mengintai, diperparah oleh krisis iklim yang mempercepat kerentanan sektor pertanian dan ketahanan pangan.
Di tengah kompleksitas ancaman ini, kita perlu menyadari bahwa ketahanan pajak adalah fondasi penting untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan hidup bangsa. Pajak menjadi instrumen vital untuk melindungi kita dari berbagai krisis yang akan mengancam.
Kepekaan terhadap berbagai krisis yang kita hadapi saat ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Wakil Presiden ke-11 Boediono dalam peringatan Hari Pajak 2019. Beliau menekankan bahwa Hari Pajak adalah momentum refleksi untuk melihat ke belakang dan merancang masa depan. Pemerintah tidak boleh terlena lantaran keadaan, tetapi harus terus memperbaiki sistem yang ada, bahkan sebelum krisis datang.
Jika kita menengok kembali sejarah reformasi perpajakan di era 1980-an, modernisasi sistem pajak justru lahir dari tekanan krisis. Saat itu, harga minyak dunia tiba-tiba anjlok dari kisaran US$30–35 menjadi hanya US$10 per barel. "Bulan madu" bonanza sudah berakhir. Indonesia, yang saat itu sangat bergantung pada penerimaan dari sektor minyak dan gas, langsung merasakan dampaknya terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Krisis ekonomi tahun 1997–1998 kembali mengguncang Indonesia. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sektor migas, tetapi juga meluas ke sektor-sektor nonmigas. Krisis ini tidak hanya memengaruhi bidang ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambat ke bidang sosial dan politik. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat yang semula berada di kisaran Rp2.500,00 meroket tajam hingga mencapai Rp17.000,00. Lonjakan ini memicu krisis keuangan yang menyebabkan negara kesulitan memenuhi kewajiban utangnya.
Situasi tersebut mendorong lahirnya reformasi perpajakan, yang ditandai dengan penguatan administrasi perpajakan guna menjamin peningkatan pelayanan dan kepatuhan pajak. Momentum Hari Pajak perlu dimaknai kembali sebagai pengingat bagi seluruh elemen bangsa akan pentingnya memahami dimensi historis krisis tersebut dan dampaknya terhadap ketahanan APBN dalam merespons situasi darurat.
Pandemi Covid-19 menjadi pelajaran berharga yang menunjukkan peran vital pajak dalam menjaga stabilitas bangsa. Ketika pageblug melanda, tidak hanya korban jiwa yang berjatuhan, tetapi pembatasan mobilitas juga berdampak besar terhadap aktivitas ekonomi. Banyak pabrik berhenti beroperasi, masyarakat kehilangan pekerjaan, dan penerimaan negara pun menurun drastis.
Namun, di tengah krisis tersebut, pajak mampu menjalankan fungsinya sebagai pengatur (regulerend) melalui kebijakan insentif dan bantuan sosial yang diberikan kepada dunia usaha dan masyarakat. Sehingga pajak mampu berperan layaknya oksigen yang menopang kehidupan, memberikan daya tahan bagi negara dalam menghadapi berbagai tantangan dan krisis yang datang silih berganti.
Filosofi Lokasamgraha
Kedua, laporan State of Tax Justice 2023 yang dirilis oleh Tax Justice Network menyoroti adanya korelasi yang kuat antara tingkat kepatuhan pajak dan kualitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah. Ketika masyarakat merasakan bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan secara efektif untuk mendukung sektor pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya, maka tingkat kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan cenderung terdongkrak.
Dalam konteks ini, filosofi Lokasamgraha menjadi sangat relevan. Secara etimologis, samgraha berarti perlindungan, perawatan, dan kesejahteraan, sedangkan loka merujuk pada masyarakat luas. Maka, Lokasamgraha dapat dimaknai sebagai pandangan hidup yang menekankan bahwa tindakan seseorang terutama mereka yang memiliki pengetahuan, kekuasaan, atau kedudukan tinggi seharusnya dilakukan demi kebaikan dan keseimbangan masyarakat secara keseluruhan.
Ketika dikaitkan dengan penggunaan dana pajak, etika dalam filosofi Lokasamgraha mengajarkan pentingnya orientasi kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat. Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal, termasuk pengelolaan pajak, dijalankan demi menjaga stabilitas dan kesejahteraan masyarakat.
Mahatma Gandhi pernah berkata, “Kapan pun Anda merasa ragu terhadap suatu keputusan, berhentilah sejenak dan ajukan pertanyaan ini kepada diri sendiri—apakah tindakan ini akan membawa kebaikan bagi mereka yang berada di lapisan terbawah masyarakat? Jika jawabannya ya, maka lanjutkanlah.”
Momentum Hari Pajak sepatutnya menjadi ruang refleksi bersama, baik bagi pemerintah maupun wajib pajak. Untuk pemerintah, momentum untuk membuka peluang refleksi semua kebijakan. Momentum merenungkan kembali: apakah pengelolaan pajak telah dijalankan sesuai amanah konstitusi? Apakah kebijakan fiskal benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat? Sementara bagi wajib pajak, ini menjadi pengingat: apakah kewajiban perpajakan telah dijalankan dengan penuh tanggung jawab sesuai ketentuan dengan menjujung tinggi moral pajak? Apakah saya sudah berkontribusi membayar secara optimal sesuai ketentuan?
Kita semua memiliki peran. Dengan semangat gotong-royong dan kebersamaan, mari bahu-membahu menjaga Indonesia agar tetap tangguh menghadapi berbagai tantangan yang ada di depan mata, mulai dari ancaman perang, krisis iklim, krisis pangan hingga potensi pandemi baru. Semua itu akan menguji kekuatan sistem perpajakan kita sebagai fondasi utama ketahanan negara. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk menjaga amanah dan menjalankan tugas mulia ini bersama-sama. Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh!
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 16 kali dilihat