PMK 37/2025: Cara Baru atas Pajak Lama, Kenapa Baru Sekarang?

Oleh: Jordan Prasetya, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perkembangan teknologi beberapa tahun terakhir berhasil menciptakan model bisnis baru dan mendorong lahirnya ekonomi digital. Model ini tidak hanya mengubah cara berdagang konvensional, tetapi juga menghadirkan tantangan serius terhadap sistem perpajakan yang dibangun di era sebelum platform online eksis.
Ekonomi digital di Indonesia tidak lagi bisa dianggap sebagai sektor pinggiran. Pada tahun 2023 saja, nilai gross merchandise value (GMV) atau nilai barang dagangan kotor di Indonesia mencapai 62 miliar dolar Amerika Serikat hanya dari pasar pelanggan-ke-pelanggan (C2C) dengan jumlah pengguna e-commerce sebanyak 58,63 juta pengguna.
Sayangnya, pertumbuhan pesat ini sering kali melampaui jangkauan instrumen fiskal konvensional. Sifat transanksi yang serba digital, dengan berbagai kemudahan, dan tidak mengenal batasan tempat dan waktu, membuat e-commerce membawa inovasinya sendiri, berikut dengan disrupsinya. Banyak penghasilan yang tercipta, tapi tidak tercatat. Banyak transaksi yang terjadi, tetapi justru menambah panjang daftar kegiatan shadow economy.
Di tengah ledakan aktivitas perdagangan digital ini, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). PMK tersebut secara substantif mengatur ketentuan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan pedagang (merchant) dalam negeri dengan mekanisme perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
PMK 37/2025 memainkan peranan strategis dalam membangun infrastruktur pengawasan berbasis platform. Beleid ini menetapkan kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan bagi penyedia platform digital atas penghasilan yang diterima oleh merchant atau pelaku ekonomi digital lainnya, yang sebelumnya sulit terpantau melalui mekanisme self-assessment konvensional.
Kebijakan ini diharapkan mampu menghadirkan kemudahan, kepastian, dan keadilan dalam merespons perkembangan teknologi sekaligus mendesain ulang infrastruktur tata kelola perpajakan di era digital. Tanpa menciptakan jenis pajak baru, PMK 37/2025 justru menyusun kerangka baru untuk menegakkan ketentuan pajak penghasilan yang sudah lama ada tetapi tidak efektif untuk dijalankan dalam konteks digital.
Lebih dari sekadar regulasi, PMK ini mencerminkan prinsip anticipatory governance dengan membangun kapasitas tata kelola yang lebih responsif terhadap disrupsi digital, berbasis data, dan melibatkan pihak berkepentingan sebagai bagian dari mekanisme pengawasan pemenuhan kepatuhan perpajakan.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya PMK ini juga menimbulkan berbagai pertanyaan dan keraguan di masyarakat: Pajak baru? Mengapa pemerintah mengejar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)? Kenapa sekarang?
Pajak Lama, Cara Baru
Salah satu respons publik yang paling umum terhadap PMK 37/2025 adalah anggapan bahwa pemerintah sedang memberlakukan “pajak baru” bagi pelaku usaha digital, disertai “narasi” bahwa negara menyasar UMKM. Padahal, jika dicermati secara substansial, tidak ada jenis pajak baru yang dimunculkan sebagai beban tambahan wajib pajak.
Dalam sistem perpajakan Indonesia, setiap penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri, baik dari perdagangan barang maupun jasa, pada dasarnya merupakan objek pajak dan terutang pajak penghasilan, kecuali diatur lain dalam ketentuan perpajakan. Ini termasuk penghasilan dari aktivitas jual-beli daring.
Regulasi ini juga tidak serta-merta membebani pelaku usaha mikro. Justru, pengusaha UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tetap tidak dikenai PPh. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Tarif yang ditentukan dalam PMK 37/2025 pun sebesar 0,5% yang dihitung dari peredaran bruto. Artinya, ketentuan substansi pajaknya tetap sama, hanya saja kini ditopang oleh sistem informasi yang memungkinan pemerintah memperoleh data secara lebih akurat dan tepat waktu.
Dari perspektif tata kelola, ini adalah bentuk pergeseran dari pendekatan pengawasan yang bersifat reaktif dan invidualis menuju model berbasis data, partisipatif, dan lebih selaras dengan ekosistem digital.
Kenapa Baru Sekarang?
Di tengah riuhnya respons terhadap PMK 37/2025, pertanyaan yang muncul tak selalu soal isinya, tapi justru kenapa regulasi ini dihadirkan sekarang. Di satu sisi, justru pertanyaanya adalah “Kenapa baru sekarang?”
Mengapa negara baru mulai menata sektor ekonomi digital setelah bertahun-tahun aktivitasnya tumbuh pesat? Mengapa baru sekarang platform diminta untuk memungut dan melaporkan, ketika transaksinya sudah mencapai triliunan rupiah per tahun?
Pemerintah sempat mencoba mengatur e-commerce melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Namun, pendekatannya dinilai terburu-buru dan waktunya tidak tepat.
Setelah itu, fokus pengawasan dialihkan ke sektor digital luar negeri melalui pajak pertambahan nilai atas perdagangan melalui sistem elektronik atau PPN PMSE. Ketentuan yang mengatur adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 yang kemudian dicabut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik.
Beleid tersebut terbukti berhasil menata aspek konsumsi digital, terutama layanan streaming dan aplikasi global. Lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2022 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah. PMK tersebut mengatur penghasilan atas transaksi pengadaan barang/jasa melalui sistem informasi pengadaan pemerintah.
Dengan kata lain, PMK 37/2025 adalah hasil akumulasi pembelajaran dari regulasi-regulasi sebelumnya, bukan kebijakan yang dilahirkan tiba-tiba.
Di sisi lain, ekonomi digital Indonesia sudah berkembang terlalu besar untuk terus berada di luar sistem pengawasan fiskal.
Tanpa kerangka pengawasan yang relevan, sistem pajak berisiko menciptakan asimetri keadilan antara pelaku formal dan pelaku usaha offline dengan pelaku digital informal. Tidak soal mengejar pendapatan semata, tetapi juga mewujudkan level playing field antara pelaku konvensional dan pelaku digital.
Maka, jika pertanyaannya adalah “kenapa sekarang?”, jawabannya adalah: karena ini adalah momen minimum yang tidak bisa lagi dilewatkan.
Skala ekonomi digital sudah besar, infrastrukturnya sudah tersedia, dan logika tata kelolanya sudah bisa dirancang secara lebih kontekstual. PMK 37/2025 hadir bukan sebagai intervensi dadakan, melainkan sebagai penyesuaian institusional terhadap ekosistem yang telah berubah.
Ekonomi digital telah menjadi salah satu arus utama dan platform online telah menjadi ruang hidup ekonomi jutaan orang. Regulasi ini menjadi tanda bahwa negara sedang mengejar ketertinggalan dengan cara yang mengusung semangat kolaboratif.
Kebijakan ini bukan hanya tentang meregulasi transaksi ekonomi, melainkan juga tentang menata relasi antara negara, perkembangan teknologi, dan masyarakat digital. Kebijakan ini juga membuka peluang untuk membangun tata kelola yang partisipatif, adaptif, dan berbasis kondisi real-time.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 219 kali dilihat