PMK 131/2024: Terobosan Hukum dalam Mengatur PPN 2025
Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Terobosan hukum, atau yang sering disebut sebagai "rule breaking," adalah pendekatan dalam sistem hukum yang menekankan pentingnya inovasi dan fleksibilitas dalam penegakan hukum. Konsep ini muncul sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang dianggap kaku dan kurang adil yang sering terjadi dalam penerapan hukum konvensional. Dalam konteks Indonesia, teori terobosan hukum relevan untuk menggambarkan langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam menciptakan kebijakan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Secara umum, terobosan hukum dapat didefinisikan sebagai upaya menciptakan solusi hukum yang lebih adil melalui interpretasi yang inovatif. Hal ini dilakukan untuk mencapai keadilan substantif, terutama ketika hukum yang berlaku tidak mampu menyelesaikan masalah konkret di masyarakat. Teori hukum progresif yang dipopulerkan oleh Satjipto Rahardjo adalah salah satu fondasi penting dari konsep ini. Menurutnya, hukum seharusnya berfungsi untuk manusia, bukan manusia yang tunduk sepenuhnya pada hukum. Pendekatan ini mendorong penegak hukum untuk berpikir di luar batasan teks undang-undang demi mencapai keadilan yang lebih luas.
Dalam praktiknya, mekanisme terobosan hukum melibatkan dua proses utama, yaitu penemuan hukum dan argumentasi hukum. Penemuan hukum terjadi ketika ada kekosongan atau ketidakjelasan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam situasi seperti ini, pemerintah atau hakim dapat mengambil inisiatif untuk menentukan hukum berdasarkan prinsip keadilan dan kebutuhan masyarakat. Sementara itu, argumentasi hukum memanfaatkan logika dan prinsip hukum untuk mendukung kebijakan atau keputusan yang mungkin tidak sesuai dengan teks undang-undang, tetapi lebih mencerminkan nilai-nilai keadilan substantif.
Konsep terobosan hukum ini menjadi relevan ketika kita melihat kebijakan terbaru pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah (PMK 131/2024). PMK ini mengembuskan angin segar dalam pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun 2025. Melalui PMK ini, pemerintah menetapkan kebijakan penyesuaian Dasar Pengenaan Pajak (DPP) agar nilai PPN terutang yang harus dibayar masyarakat tetap sama, meskipun tarif PPN tetap berlaku sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam PMK-131/2024, pemerintah membagi mekanisme penghitungan DPP menjadi dua kategori utama. Pertama, untuk barang mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), DPP dihitung berdasarkan harga jual atau nilai impor dengan tarif 12%. Pendekatan ini mencerminkan konsistensi dalam penghitungan pajak untuk barang-barang yang dianggap memiliki kemampuan konsumsi tinggi. Kedua, untuk barang dan jasa selain barang mewah, DPP dihitung dari nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian, dengan rumus penghitungan PPN menjadi 12% x 11/12 x nilai tersebut. Pendekatan ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga agar besaran PPN yang terutang tetap sama, meskipun ada perubahan mekanisme penghitungan.
Pendekatan "Baru" demi Keadilan
Kebijakan ini dapat dianggap sebagai terobosan hukum karena mengadopsi pendekatan "baru" dalam mengelola perpajakan tanpa menambah beban masyarakat secara langsung. Sebenarnya DPP dengan nilai lain sudah diatur sejak lama, namun jarang diterapkan. Kondisi saat ini tampaknya berbalik. Dengan adanya PMK 131/2024 ini, DPP dengan nilai lain bakal makin sering digunakan, khususnya untuk barang/jasa non-mewah yang memang banyak dikonsumsi oleh masyarakat umum.
Dengan memastikan nilai PPN terutang tetap sama, pemerintah tidak hanya menjaga daya beli masyarakat, tetapi juga menciptakan kepastian hukum bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam dunia usaha, kepastian hukum adalah faktor penting yang memengaruhi keputusan bisnis, terutama dalam merencanakan keuangan dan investasi jangka panjang.
PMK 131/2024 juga memberikan pengaturan khusus bagi PKP tertentu. Misalnya, PKP yang menggunakan DPP berdasarkan nilai lain atau besaran tertentu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat menggunakan penghitungan DPP sebagaimana diatur dalam PMK ini. Sebaliknya, mereka harus mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku. Pengaturan ini memberikan fleksibilitas sekaligus kejelasan dalam implementasi kebijakan perpajakan.
Langkah penyesuaian DPP yang diatur dalam PMK 131/2024 mencerminkan prinsip keadilan pajak. Dengan memastikan bahwa besaran PPN yang terutang tetap sama, pemerintah berupaya mengurangi potensi ketimpangan yang mungkin timbul akibat perubahan tarif. Hal ini sejalan dengan visi UU HPP yang bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan. Selain itu, kebijakan ini juga mencerminkan keberanian pemerintah dalam mengadopsi pendekatan hukum progresif untuk menjawab tantangan perpajakan di era modern.
Namun, implementasi PMK-131/2024 tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah sosialisasi kebijakan ini kepada masyarakat dan pelaku usaha. Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan memahami perubahan ini agar tidak terjadi kesalahpahaman. Pengawasan dan penegakan hukum juga menjadi aspek penting untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini. Dalam hal ini, konsistensi dalam pengawasan dan penegakan hukum sangat diperlukan untuk mencegah potensi pelanggaran yang dapat merugikan negara maupun masyarakat.
Selain itu, efisiensi administrasi perpajakan juga menjadi faktor kunci dalam keberhasilan kebijakan ini. Pemerintah perlu terus mendorong digitalisasi dan pemanfaatan teknologi informasi untuk menyederhanakan proses administrasi perpajakan. Dengan cara ini, kebijakan yang telah dirumuskan dapat diterapkan secara efektif dan efisien.
PMK 131/2024 adalah contoh nyata bagaimana terobosan hukum dapat diterapkan dalam kebijakan publik untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum. Dengan memastikan nilai PPN terutang tetap sama melalui penyesuaian DPP, kebijakan ini tidak hanya memberikan solusi praktis terhadap tantangan perpajakan, tetapi juga mencerminkan komitmen pemerintah dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Sebagai masyarakat, kita perlu mendukung langkah ini dengan memahami aturan yang berlaku dan melaksanakan kewajiban perpajakan secara benar. Dukungan dari seluruh pemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini. Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, sistem perpajakan Indonesia dapat menjadi lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Pendekatan ini juga menjadi bukti bahwa terobosan hukum dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan perubahan positif dalam sistem hukum dan kebijakan publik.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 2637 kali dilihat