Oleh: Linda Ayu Wulandari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Berbicara tentang UMKM pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita, UMKM yang merupakan singkatan dari Usaha Kecil, Mikro dan Menengah ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di masa sekarang. UMKM telah menyebar di seluruh penjuru negeri, mulai dari Sabang hingga Merauke.

Dengan banyaknya masyarakat yang menjalankan bisnis UMKM ini, selain menguntungkan bagi pemilik UMKM sendiri juga dapat menguntungkan bagi orang lain yaitu dengan dibukanya lapangan pekerjaan bagi orang lain.

Selain itu, dengan hadirnya UMKM diharapkan perekonomian Negara juga dapat mengalami peningkatan. Tetapi tidak semua pelaku UMKM tersebut paham tentang perpajakan. Padahal pajak merupakan penyumbang penerimaan negara terbesar di Indonesia yaitu dengan persentase sebesar 80%. Dengan persentase sebesar itu, sangat disayangkan apabila mayoritas pelaku UMKM masih kurang paham terkait dengan pajak ataupun tidak pernah memenuhi kewajiban perpajakannya.

Untuk pelaku Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) yang memiliki omzet maksimal Rp4,8 miliar dikenakan tarif sebesar 0,5% yang berlaku mulai bulan Juli 2018 hingga sekarang. Tarif ini mengalami penurunan dari yang sebelumnya dikenakan tarif sebesar 1%.

Perubahan tarif UMKM ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Peraturan Pemerintah tersebut menggantikan peraturan yang sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013.

Pemerintah menurunkan tarif tersebut dengan tujuan dapat membantu pengembangan usaha para UMKM dan juga untuk menjaga arus kas supaya dapat digunakan sebagai tambahan modal. Jadi tidak ada alasan lagi untuk para pelaku UMKM tidak menjalankan kewajiban perpajakannya.

Untuk menjalankan kewajiban perpajakannya dengan baik itu, UMKM harus memiliki terlebih dahulu NPWP. Namun, banyak pelaku UMKM yang menganggap bahwa pendaftaran NPWP itu dirasa sulit dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga lebih memilih untuk tidak menjalankan kewajiban perpajakannya daripada berlama-lama di kantor pajak menunggu pendaftarannya selesai diproses. Padahal apabila syarat yang diperlukan sudah dilengkapi dengan baik dan identitas sang pendaftar jelas, maka proses pendaftaran NPWP tidak akan berlangsung lama.

Beberapa masalah yang sering saya temui saat berada di loket Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) adalah terkadang wajib pajak mendaftar NPWP hanya untuk memenuhi persyaratan dari bank ataupun sebagai syarat dalam penerbitan surat ijin usaha. Sehingga persyaratan yang diperlukan tidak dipenuhi dengan baik. Hal seperti inilah yang dapat menghambat ataupun membuat proses pendaftaran NPWP menjadi sedikit lebih lama karena wajib pajak harus mengisi formulirnya terlebih dahulu di loket, yang seharusnya formulir tersebut sudah dalam kondisi terisi saat di loket sehingga dapat segera diproses.

Persyaratan-persyaratan yang diperlukan saat mendaftar NPWP (usahawan) antara lain Fotokopi Kartu Tanda Penduduk, Fotokopi Surat Keterangan Usaha atau disebut juga dengan SKU dari kelurahan atau departemen yang berkaitan dengan bidang usaha yang dijalankan, Fotokopi Kartu Keluarga (wajib apabila yang mendaftar adalah istri), selain itu dilengkapi dengan mengisi formulir pernyataan usaha yang ditandatangani di atas materai Rp. 6000, dan juga mengisi formulir pendaftaran NPWP yang sudah disediakan di kantor pajak dengan dibubuhi tanda tangan pemohon.

Apabila semua berkas tersebut telah dilengkapi semua, maka pendaftaran NPWP tidak perlu menunggu waktu lama. Selain dengan datang ke kantor pajak secara langsung, sebenanya pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan secara online dengan melalui situs https://ereg.pajak.go.id dengan mengisi data diri pada laman tersebut, tetapi untuk pendaftaran NPWP Usahawan lebih dianjurkan untuk datang langsung ke kantor pajak.

Apabila pendaftaran NPWP telah selesai dilaksanakan, maka kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak usahawan adalah melakukan pembayaran dan pelaporan pajak. Pembayaran dilakukan setiap bulan dengan memperhitungkan omzet yang diperoleh pada bulan yang bersangkutan. Kemudian omzet itu dikalikan dengan tarif 0,5% untuk omzet yang diperoleh sejak bulan Juli 2018 hingga sekarang.

Omzet disini tidak harus selalu sama pada setiap bulannya, karena untuk usahawan pasti ada kenaikan dan penurunan penghasilan disetiap bulannya. Untuk pembayaran ini dibayarkan paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya, sebagai contoh untuk pembayaran bulan Agustus maka dibayarkan pada bulan September maksimal tanggal 15. Hal seperti ini dilakukan supaya pada akhir bulan usahawan dapat memperhitungkan terlebih dahulu berapa omzet yang didapat pada bulan tersebut sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Pembayaran dapat dilakukan melalui ATM atau m-banking (tetapi masih banyak bank yang belum menyediakan pembayaran melalui media ini), dapat juga dibayarkan di bank melalui teller (sudah tersedia hampir di seluruh bank), kantor pos, dan yang paling terbaru dapat dibayarkan melalui aplikasi marketplace sehingga lebih mempermudah wajib pajak dalam mebayarkan pajaknya setiap bulan.

Setelah melakukan pembayaran, yang terakhir adalah melakukan pelaporan SPT Tahunan. Pelaporan SPT Tahunan ini dapat dilakukan di kantor pajak ataupun melalui situs daring di pajak.go.id.

Masa penyampaian SPT Tahunan ini mulai dari bulan Januari hingga bulan Maret tahun berikutnya. Sebagai contoh, apabila ingin melaporkan SPT Tahunan tahun pajak 2019 maka dilaporkannya pada bulan Januari 2020 hingga bulan Maret 2020.

Dengan kemajuan teknologi yang semakin mempermudah wajib pajak ini, diharapakan para pelaku UMKM khususnya dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara tertib.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.