Pengajuan Keberatan Lewat Surat Hasil Pindai

Oleh: Fransiskus Xaverius Herry Setiawan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Keberatan merupakan salah satu hak wajib pajak yang dijamin dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Untuk mengajukan keberatan, wajib pajak menyampaikan permohonannya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar. Sarana untuk mengajukan keberatan yaitu surat permohonan yang harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Surat permohonan tersebut mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan. Hal ini diatur secara tertulis dalam Pasal 25 ayat 2 UU KUP.
Namun kerapkali permohonan Keberatan yang diajukan wajib pajak tidak memenuhi ketentuan di atas. Ada permohonan yang langsung ditujukan ke Kantor Wilayah yang memproses keberatan, bukan ke Kantor Pelayanan Pajak. Ada surat Keberatan yang tanpa disertai alasan yang jelas. Ada juga yang diajukan sudah melebihi jangka waktu tiga bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak. Tetapi wajib pajak tidak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Tidak sedikit pula wajib pajak yang tidak melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat Keberatan disampaikan. Maka sesuai dengan Pasal 25 ayat (4) UU KUP permohonan keberatan tersebut bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan.
Ada suatu kasus di mana wajib pajak menyampaikan surat permohonan Keberatan berupa cetakan dari surat elektronik. Berdasarkan pengakuan wajib pajak, direktur selaku wakil wajib pajak berstatus sebagai warga negara asing dan tinggal di luar negeri. Sehingga surat permohonan tersebut ditandatangani di luar negeri, dipindai, kemudian dikirimkan ke Indonesia melalui surat elektronik. Surat keberatan yang dikirim lewat surat elektronik tersebut yang kemudian dicetak di Indonesia dan diajukan sebagai surat permohonan keberatan ke KPP terdaftar. Lalu bagaimana kedudukan surat Keberatan tersebut?
Pasal 4 ayat (1) huruf f Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 s.t.d.d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 mengatur bahwa pengajuan Keberatan untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, harus memenuhi persyaratan antara lain surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP. Peraturan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai bagaimana tata cara penandatanganan surat Keberatan yang memiliki kekuatan hukum dan memenuhi persyaratan formal pengajuan Keberatan.
Pasal 3 ayat (1b) UU KUP mengatur bahwa penandatanganan Surat Pemberitahuan (SPT), dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini diperjelas dalam Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 yang menyatakan bahwa penandatanganan SPT dilakukan dengan cara :
a. tanda tangan biasa;
b. tanda tangan stempel;
c. tanda tangan elektronik atau digital;
Penyampaian SPT merupakan cerminan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak. Sedangkan penyampaian surat keberatan merupakan tuntutan hak dari wajib pajak. Kedua kegiatan tersebut sama-sama dalam rangka menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
Penandatanganan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tandatangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. Sedangkan untuk penandatanganan surat keberatan, tidak diatur secara khusus. Oleh karena itu, walaupun tidak ada aturan yang jelas mengenai penandatanganan surat keberatan, apabila dalam melaksanakan kewajiban wajib pajak diharuskan untuk menggunakan tanda tangan biasa, tanda tangan stempel maupun tanda tangan elektronik atau digital, maka demi keadilan, seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan pada saat wajib pajak menuntut haknya, dalam hal ini pada saat pengajuan keberatan.
Tanda tangan wajib pajak dalam surat keberatan termasuk surat keberatannya dalam kasus di atas, merupakan dokumen kertas yang ditandatangani lalu dipindai, dikirimkan lewat surat elektronik, dan dicetak. Tidak melalui proses pembuatan tanda tangan elektronik tersertifikasi yaitu dibuat dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik dan dibuktikan dengan sertifikat elektronik sesuai Pasal 54 ayat (2) UU ITE, sehingga tidak memiliki nilai pembuktian yang kuat.
Sesuai penjelasan Pasal 54 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 dinyatakan bahwa tanda tangan manual yang dipindai (scanned) termasuk Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang mempunyai kekuatan nilai pembuktian relatif lemah karena masih dapat ditampik oleh yang bersangkutan atau relatif dapat dengan mudah diubah oleh pihak lain. Bahwa tanda tangan manual yang dipindai (scanned) sebagaimana dalam surat Keberatan wajib pajak tidak memenuhi persyaratan kumulatif sesuai Pasal 11 ayat 1 UU ITE sehingga meskipun termasuk dalam Tanda Tangan Elektronik tetapi tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah.
Terkait surat keberatan wajib pajak yang diterbitkan dan ditandatangani di luar negeri oleh direktur selaku wakil wajib pajak. Bab VI huruf B Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, mengatur antara lain:
(70) Dokumen-dokumen asing yang diterbitkan di luar negeri dan ingin dipergunakan di wilayah Indonesia, harus pula melalui prosedur yang sama, yaitu dilegalisasi oleh Kementerian Kehakiman dan/atau Kementerian Luar Negeri negara dimaksud dan Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat.
(71) Atas dasar itu, semua pihak yang berkepentingan di Indonesia khususnya di Daerah harus menolak dokumen-dokumen yang tidak atau belum dilegalisasi sesuai dengan ketentuan yang dimaksud di atas.
Walaupun ketentuan tersebut terkait dengan pemerintah daerah, namun sesuai Bab VI huruf B angka 70 dan 71 diatur bahwa dokumen-dokumen asing yang diterbitkan di luar negeri dan ingin dipergunakan di wilayah Indonesia, harus dilegalisasi oleh Kementerian Kehakiman dan/atau Kementerian Luar Negeri negara dimaksud dan Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Atas dasar itu, semua pihak yang berkepentingan di Indonesia khususnya di daerah harus menolak dokumen-dokumen yang tidak atau belum dilegalisasi sesuai dengan ketentuan yang dimaksud. Secara substansi ketentuan dimaksud dapat diterapkan, termasuk untuk surat keberatan wajib pajak yang dibuat dan ditandatangani di luar negeri harus dilegalisasi oleh Kementerian Kehakiman dan/atau Kementerian Luar Negeri negara dimaksud dan Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka untuk memberikan kepastian hukum sebaiknya ada pengaturan yang lebih jelas mengenai tata cara penandatanganan surat keberatan yang memiliki kekuatan hukum dan memenuhi persyaratan formal pengajuan keberatan. Selain itu perlu diatur juga mengenai kedudukan dokumen termasuk surat keberatan dan dokumen lainnya yang diterbitkan dan ditandatangani oleh wakil wajib pajak di luar negeri. Perkembangan teknologi memang memudahkan di satu sisi. Tetapi harus disikapi dengan hati hati berkaitan dengan sisi hukum dan keabsahan dokumen.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja
- 1974 kali dilihat