Pajak Sudah Dipotong Perusahaan, Kenapa Harus Tetap Lapor SPT?
Oleh: Rendy Brayen Latuputty, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebuah pertanyaan dari seorang wajib pajak muncul di kolom komentar media sosial Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ia bertanya, "Kenapa harus lapor SPT Tahunan? Kan gaji kita sudah dipotong pajak sama perusahaan." Sepintas, pertanyaan tersebut sangat sederhana. Namun, kalau dicermati lebih lanjut, sebetulnya tidak sesederhana itu. Beberapa wajib pajak lain mencoba memberikan jawaban pada kolom komentar tersebut. Akan tetapi, hampir semua jawaban sulit dimengerti karena terlalu teoritis dan filosofis. Inilah yang melatarbelakangi dibuatnya tulisan ini. Ada kebutuhan akan penjelasan mengapa pegawai―yang sudah dipotong pajak penghasilan (PPh)-nya oleh perusahaan―tetap harus lapor Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Tantangannya, topik ini mesti dijelaskan dengan bahasa yang membumi dan mudah dimengerti oleh seluruh kalangan, termasuk masyarakat awam tanpa harus mereduksi teori dan filosofinya.
Amanat Peraturan Perundang-undangan
Alasan paling mendasar mengapa pegawai harus lapor SPT Tahunan adalah karena peraturan perundang-undangan memerintahkan demikian. Artinya, semua orang harus mematuhi aturan ini, tanpa harus tahu alasan dan latar belakang mengapa aturan tersebut dibuat. Hal ini sejalan dengan apa yang dalam ilmu hukum disebut fiksi hukum. Fiksi hukum adalah asas yang menyatakan bahwa semua orang dianggap tahu hukum. Dengan demikian, ketika suatu aturan telah diundangkan atau ditetapkan, semua orang dianggap tahu sehingga aturan tersebut mengikat untuk dipatuhi.
Aturan tertinggi yang mengatur tentang kewajiban lapor SPT Tahunan adalah Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam beleid tersebut disebutkan bahwa setiap wajib pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, serta ditandatangani dan menyampaikannya ke kantor DJP. Jadi jelaslah, pegawai harus lapor SPT Tahunan karena undang-undang memerintahkan begitu.
Implikasi Sistem Self-Assessment
Dalam bidang perpajakan, negara kita menganut sistem self-assessment. Sistem ini memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk mendaftar, menghitung dan memperhitungkan, menyetor, serta melapor secara mandiri. Mendaftar berarti wajib pajak mendaftarkan diri secara mandiri untuk mendapatkan tanda pengenal sebagai wajib pajak berupa Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tanpa harus menunggu diterbitkan NPWP secara jabatan oleh DJP. Menghitung berarti wajib pajak menghitung sendiri pajak terutangnya dan memperhitungkan berarti wajib pajak memperhitungakan sendiri kredit pajak dengan pajak terutang sehingga didapat pajak kurang atau lebih dibayar. Menyetor berarti wajib pajak menyetor sendiri pajaknya, baik pajak kurang dibayar maupun angsuran pajak sepanjang tahun pajak tanpa harus bergantung pada ketetapan pajak yang diterbitkan oleh DJP. Melapor berarti wajib pajak melaporkan sendiri perhitungan dan penyetoran pajak yang sudah dilakukan menggunakan SPT.
Seperti yang sudah dijelaskan, salah satu kepercayaan yang diberikan kepada wajib pajak dalam sistem self-assessment adalah melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya melalui SPT. SPT Tahunan sendiri merupakan sarana untuk mempertanggungjawabkan perhitungan dan penyetoran pajak yang sudah dilakukan selama satu tahun pajak. Perhitungan di sini mencakup perhitungan penghasilan bruto, biaya-biaya, penghasilan neto, penghasilan tidak kena pajak (PTKP), penghasilan kena pajak, PPh terutang, kredit pajak (baik yang disetor sendiri maupun yang dipotong/dipungut pihak lain), dan PPh kurang atau lebih dibayar. Kemudian, penyetoran di sini mencakup penyetoran PPh kurang dibayar dan pembayaran angsuran PPh sepanjang tahun pajak. SPT Tahunan juga merupakan sarana untuk melaporkan harta, kewajiban/utang, dan daftar anggota keluarga. Jadi, pegawai harus lapor SPT Tahunan karena SPT Tahunan merupakan sarana pertanggungjawaban pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya kepada negara, dalam hal ini DJP.
Hasil Perhitungan PPh untuk Satu Tahun Pajak Bisa Berbeda
Alasan lain mengapa pegawai harus lapor SPT Tahunan adalah ketika PPh untuk satu tahun pajak dihitung ulang di akhir tahun, hasilnya bisa berbeda dengan jumlah yang sudah dipotong oleh perusahaan. Perbedaan tersebut bisa berupa kurang bayar atau lebih bayar. Berikut dua kondisi yang bisa menyebabkan perbedaan tersebut:
- Pegawai bekerja pada lebih dari satu perusahaan
Perbedaan hasil perhitungan PPh dalam kondisi ini terjadi karena adanya perbedaan penggunaan lapisan tarif PPh antara perusahaan dan si pegawai. Sebab, masing-masing perusahaan dalam memotong PPh si pegawai, hanya memperhitungkan penghasilan dari perusahaan tersebut saja, sedangkan si pegawai harus menjumlahkan seluruh penghasilannya. Selain itu, terjadi perhitungan PTKP ganda. Pasalnya, PTKP diperhitungkan oleh masing-masing perusahaan dalam memotong PPh si pegawai. Padahal, hak PTKP si pegawai hanya satu kali. Berikut contoh kasusnya:
Bapak Bambang Wijono (K/2) bekerja pada dua perusahaan, yaitu pada PT Tanjung Pandan dan PT Cibinong. Selama tahun 2019, dari PT Tanjung Pandan ia menerima penghasilan neto sebesar Rp250juta. Dari PT Cibinong ia menerima penghasilan neto sebesar Rp350 juta.
Pemotongan PPh oleh PT Tanjung Pandan
Penghasilan Neto Rp250.000.000,00
PTKP (K/2) (Rp67.500.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp182.500.000,00
PPh Dipotong: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp132.500.000,00 = Rp19.875.000,00 Rp22.375.000,00
Pemotongan PPh oleh PT Cibinong
Penghasilan Neto Rp350.000.000,00
PTKP (K/2) (Rp67.500.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp282.500.000,00
PPh Dipotong: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.000.000,00
25% x Rp32.500.000,00 = Rp8.125.000,00 Rp40.625.000,00
Total PPh yang dipotong oleh PT Tanjung Pandan dan PT Cibinong sebesar Rp63.000.000,00.
Perhitungan PPh Akhir Tahun oleh Bapak Bambang Wijono
Penghasilan Neto Rp600.000.000,00
PTKP (K/2) (Rp67.500.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp532.500.000,00
PPh Terutang: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.000.000,00
25% x Rp250.000.000,00 = Rp62.500.000,00
30% x Rp32.500.000,00 = Rp9.750.000,00 Rp104.750.000,00
Kredit Pajak/PPh yang Telah Dipotong Perusahaan (Rp63.000.000,00)
PPh Kurang (Lebih) Bayar Rp41.750.000,00
- Pegawai pindah kerja, tetapi tidak memberikan bukti potong PPh dari perusahaan lama ke perusahaan baru
Perbedaan hasil perhitungan PPh dalam kondisi terjadi karena perusahaan baru tidak terinformasi adanya penghasilan si pegawai sebelumnya. Akibatnya, dalam memotong PPh si pegawai, perusahaan baru tidak memperhitungkan penghasilan si pegawai dari perusahaan lama. Dalam kondisi ini juga terjadi penggunaan PTKP ganda. Berikut contoh kasusnya:
Bapak Rudi Susanto (K/2) bekerja pada PT Tanah Abang mulai awal Januari 2019 dan berhenti pada akhir Juni 2019. Selama bekerja pada PT Tanah Abang, ia menerima penghasilan neto sebesar Rp150 juta. Kemudian pada awal Juli 2019 sampai sekarang, Bapak Rudi Susanto bekerja pada PT Cileungsi. Selama bulan Juli s.d. Desember 2019, ia menerima penghasilan neto sebesar Rp250 juta dari PT Cileungsi. Namun, Bapak Rudi Susanto tidak memberikan bukti potong PPh dari PT Tanah Abang kepada PT Cileungsi.
Pemotongan PPh oleh PT Tanah Abang
Penghasilan Neto Rp150.000.000,00
PTKP (K/2) (Rp67.500.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp82.500.000,00
PPh Dipotong: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp32.500.000,00 = Rp4.875.000,00 Rp7.375.000,00
Pemotongan PPh oleh PT Cileungsi
Penghasilan Neto Rp250.000.000,00
PTKP (K/2) (Rp67.500.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp182.500.000,00
PPh Dipotong: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp132.500.000,00 = Rp19.875.000,00 Rp22.375.000,00
Total PPh yang dipotong oleh PT Tanah Abang dan PT Cileungsi sebesar Rp29.750.000,00.
Perhitungan PPh Akhir Tahun oleh Bapak Rudi Susanto
Penghasilan Neto Rp400.000.000,00
PTKP (K/2) (Rp67.500.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp332.500.000,00
PPh Terutang: 5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00
15% x Rp200.000.000,00 = Rp30.000.000,00
25% x Rp82.500.000,00 = Rp20.625.000,00 Rp53.125.000,00
Kredit Pajak/PPh yang Telah Dipotong Perusahaan (Rp29.750.000,00)
PPh Kurang (Lebih) Bayar Rp23.375.000,00
Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan sederhana―yang sesungguhnya tidak sederhana―dari seorang wajib pajak di kolom komentar media sosial DJP. Sekarang lapor SPT Tahunan semakin mudah karena bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, asalkan ada koneksi internet. Melalui laman pajak.go.id, lapor SPT Tahunan bisa dilakukan menggunakan smartphone bahkan sambil menyeruput kopi!
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 27255 kali dilihat