Oleh: J.S.A. Putra, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam Bahasa Inggris kita mengenal suatu kata yaitu “Cooperation” yang berarti bekerja atau berusaha bersama-sama untuk mencapai kepentingan bersama. Dalam sejarahnya, koperasi berdiri di Indonesia untuk memberikan solusi kepada pegawai negeri terhadap bunga pinjaman yang tinggi dari para rentenir. Perkembangan dalam pendirian koperasi telah resmi diatur. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian menyebutkan bahwa koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat yang berperan untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Bentukan koperasi terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi Primer merupakan koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang. Namun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, kriteria pembentukan ini diubah menjadi oleh sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang. Berbeda dengan Koperasi Primer, Koperasi Sekunder didirikan dan beranggotakan koperasi serta dibentuk oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) koperasi. Lantas bagaimanakah sebuah koperasi beroperasi?

Kegiatan utama koperasi adalah penghimpunan dana dan penyaluran dana tersebut kepada anggota.  Penghimpunan dana dari anggota dapat berupa dana dalam bentuk simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan berjangka, sedangkan penyaluran dana dapat berupa penyaluran pinjaman, dagang atau jual beli barang, investasi ataupun penyaluran dana dalam bentuk jasa untuk memperoleh fee. Melalui penyaluran dana ini, koperasi kemudian memperoleh penghasilan. Dalam penyaluran dana berupa pinjaman, penghasilan yang diperoleh koperasi adalah berupa keuntungan bunga, penyaluran dana untuk jual beli, koperasi memperoleh margin, untuk jasa koperasi memperoleh fee dan untuk investasi, koperasi memperoleh keuntungan atas investasi.

Dalam sisi perpajakan, koperasi dikategorikan sebagai Wajib Pajak Badan. Undang-Undang Perkoperasian juga menegaskan mengenai status koperasi sebagai badan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), disebutkan bahwa koperasi termasuk dalam kategori wajib pajak badan.  Sebagai wajib pajak, melekat kewajiban perpajakan terhadap koperasi. Kewajiban tersebut adalah untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang. Pajak yang terutang dapat berupa Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila koperasi telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PPN).

Artikel ini sendiri akan fokus dalam membahas kewajiban PPh dari wajib pajak koperasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018), mengatur tentang besaran PPh yang dikenakan atas Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Tarif PPh sesuai PP 23/2018 adalah sebesar 0.5% dari peredaran bruto dan bersifat final. Koperasi termasuk dalam kategori wajib pajak yang dapat memanfaatkan tarif tersebut, namun sebagaimana PP 23/2018. Dalam Pasal 5 diatur bahwa penggunaan tarif ini adalah paling lama 4 (empat) tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, atau firma dan dalam periode 4 (empat) tahun pajak tersebut peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak. Penghitungan PPh dengan menggunakan tarif ini sangat memudahkan wajib pajak berbentuk koperasi dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Bagaimana jika penggunaan tarif 0,5% tersebut telah digunakan selama 4 (empat) tahun pajak ataupun peredaran bruto telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak? Jawabannya koperasi harus beralih dari tarif final 0,5% menjadi tarif sesuai Pasal 17 dan Pasal 31E Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana diubah terakhir dengan UU HPP, yang mana dasar penghitungan tarif ini adalah berasal dari Sisa Hasil Usaha (SHU) yang diperoleh dari kegiatan penyaluran dana. SHU diperoleh dari jumlah pendapatan koperasi dari penyaluran dana dikurangi biaya modal yang kemudian dikurangi dengan biaya yang timbul dari kegiatan penyaluran dana tersebut.

SHU bukan Objek Pajak

Dari satu kasus yang ditemui, SHU dijadikan biaya dalam pelaporannya oleh koperasi. Perlu ditegaskan bahwa SHU bukan merupakan bagian dari biaya sehingga adalah sebuah kekeliruan jika pembagian SHU dijadikan sebagai biaya, karena SHU merupakan laba bersih koperasi itu sendiri. Pengertian SHU menurut UU Perkoperasian, dalam Bab IX, Pasal 45 disebutkan bahwa “Sisa Hasil Usaha Koperasi merupakan pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan”. Jadi berdasarkan pengertian SHU tersebut, SHU bukan merupakan biaya karena SHU merupakan hasil akhir setelah pengurangan biaya serta kewajiban lain termasuk pajak. Hal ini juga ditegaskan dalam UU HPP pada Bab III Cluster Pajak Penghasilan, Pasal 9 huruf a menyatakan bahwa, “Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak (penghasilan netto) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi”.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, SHU yang diterima oleh anggota koperasi resmi dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Sebelum UU Cipta Kerja berlaku, SHU koperasi yang dibagi kepada anggota merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh. Walaupun SHU dibagikan kepada para anggota, pemajakan atas SHU dilakukan pada sisi koperasi. Alasan tidak dikenakannya PPh atas SHU sesuai dengan UU Cipta Kerja adalah karena PPh telah dibayarkan atas penghasilan netto koperasi sehingga pada saat dibagikan kepada anggota, PPh tidak lagi dikenakan. Pada prinsipnya penghasilan SHU yang diterima oleh anggota seharusnya dikenakan pajak, namun karena telah dibayar dengan dasar penghitungan PPh dari penghasilan neto Wajib Pajak koperasi, maka bagian laba atau SHU yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.