Pajak dan Hujan di Bulan November

Oleh: Putu Panji Bang Kusuma Jayamahe, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain
Kurang lebih begitulah penggalan lirik dari salah satu grup musik legendaris asal Amerika Serikat, Guns n Roses. Lagu yang dirilis pada tahun 1991 tersebut menceritakan soal rasa kehilangan dan kerapuhan hati di tengah dinginnya hujan di bulan November. Memasuki bulan November atau musim penghujan di setiap tahunnya, “November Rain” biasanya akan menjadi lagu wajib dalam daftar musik yang diputar oleh radio maupun layanan penyiarin musik lainnya di Indonesia.
Di Indonesia sendiri musim penghujan biasanya terjadi pada bulan Oktober dan November hingga berganti kembali di bulan April. Musim penghujan di Indonesia bisa memberikan dampak positif terhadap kehidupan. Tumbuhan seakan tersenyum karena tanah menjadi lebih segar dan subur.
Terlebih di beberapa wilayah yang biasanya mengalami kekeringan dan sulit mendapatkan suplai air karena di musim hujan wilayah tersebut dapat memiliki stok air yang berlimpah. Beberapa kalangan masyarakat pun menganggap hujan adalah berkah.
Namun, terkadang musim hujan juga dapat membuat kepedihan layaknya lirik lagu di atas. Hujan dapat menghambat mobilitas masyarakat. Masyarakat menjadi enggan ke luar rumah. Flu, batuk, dan pilek pun mulai menggerogoti kesehatan akibat rendahnya suhu di musim hujan. Belum lagi badai yang mungkin terjadi sewaktu-waktu.
Pada fase yang lebih parah, karena keseimbangan alam yang tak terjaga yang dimulai dari daerah resapan air yang kian sempit serta penggundulan hutan untuk kebutuhan manusia, curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan bencana yang lebih fatal seperti banjir dan juga tanah longsor. Banjir dan tanah longsor bermunculan layaknya jamur di musim hujan. Seperti halnya yang terjadi baru-baru ini di berbagai daerah di Indonesia.
Lalu bagaimana peran pajak dalam rangka menghadapi “November Rain”?
Peran Pajak Melalui Kebijakan Anggaran
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, musim hujan dapat berdampak positif maupun negatif. Musim hujan tidak bisa kita hindari atau hentikan begitu saja. Yang paling penting adalah bagaimana cara kita dalam memaksimalkan manfaat atau dampak positif dan mengantisipasi risiko atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh musim hujan.
Sebagai individu, kita dapat menjaga keseimbangan alam dengan cara mempertahankan daerah resapan air, mengurangi alih fungsi lahan dan melakukan penghijauan, serta tidak membuang sampah sembarangan. Hal tersebut akan membantu menormalisasi genangan air yang terjadi ketika musim hujan untuk mencegah banjir dan tanah longsor.
Selain itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara juga turut berperan dalam menghadapi musim hujan. Kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan negara setiap tahunnya secara terstruktur tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam APBN dijabarkan seluruh anggaran pendapatan dan belanja yang dilakukan pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhan negara termasuk dalam rangka menghadapi musim hujan, memaksimalkan maanfaatnya, dan mengantisipasi risiko yang dapat ditimbulkan.
Pajak sendiri memiliki peran krusial dalam kebijakan anggaran yakni menjadi tulang punggung penerimaan negara sebagai pendapatan yang kemudian akan digunakan pemerintah untuk melakukan belanja negara. Setiap tahunnya, lebih dari 70% pendapatan negara bersumber dari penerimaan pajak.
Salah satu kebijakan strategis yang diambil pemerintah di era Presiden Jokowi adalah percepatan pembangunan infrastruktur. Anggaran pembangunan infrastruktur tercatat memiliki porsi belanja yang besar dalam APBN.
Di Tahun 2021, anggaran belanja infrastruktur mencapai Rp417,4 triliun. Anggaran belanja tersebut tentunya tidak akan terealisasi apabila penerimaan pajak tidak tercapai. Oleh karena itu, pajak secara tidak langsung memiliki peran sangat besar dalam pembangunan infrastruktur yang ada.
Dalam menghadapi musim hujan, pembangunan infrastruktur bendungan atau dam menjadi pilihan alternatif. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI mendefinisikan bendungan sebagai bangunan yang berupa tanah, batu, beton, atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat juga dibangun untuk menampung limbah tambang atau lumpur.
Secara umum bendungan memiliki banyak manfaat di antaranya adalah sebagai tempat penampungan air saat musim hujan, sumber air irigasi, pembangkit listrik hingga tempat rekreasi.
Presiden Jokowi sendiri menyebutkan telah membangun puluhan bendungan di seluruh Indonesia. "Ada 65 bendungan di seluruh Tanah Air yang telah kita mulai bangun enam tahun lalu dan beberapa sudah bisa diresmikan," ujar Jokowi pada suatu acara peresmian proyek bendungan di awal tahun ini.
Harapannya tentu dengan memperbanyak bendungan, kelebihan air di musim hujan dapat ditampung dan kemudian dimanfaatkan untuk berbagai hal seperti mengairi persawahan melalui saluran irigrasi. Selain itu, bendungan juga memungkinkan pemerintah untuk memanfaatkan air sebagai sarana pembangkit listri tenaga air (PLTA) yang ramah lingkungan.
Yang tak kalah penting, pembangunan infrastruktur bendungan juga digunakan untuk pengendalian banjir. Bendungan berfungsi untuk mengurangi debit air yang mengalir ke suatu wilayah. Tujuannya agar kemungkinan banjir di wilayah tersebut dapat diantisipasi sedini mungkin.
Seperti Bendungan Kering di Ciawi dan Sukamahi merupakan bendungan kering yang pertama kalinya dibangun di Indonesia. Kedua bendungan ini bukan untuk keperluan irigasi atau air baku, tetapi untuk meningkatkan kapasitas pengendalian banjir.
Bendungan ini didesain untuk mengurangi debit banjir yang masuk ke Jakarta dengan menahan aliran air dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango sebelum sampai ke Bendungan Katulampa yang kemudian mengalir ke Sungai Ciliwung.
Rampungnya pembangunan Bendungan Ciawi akan mereduksi banjir sebesar 111,75 meter kubik per detik. Dengan dibangunnya Bendungan Ciawi dan Sukamahi juga diklaim dapat mengurangi debit banjir di Pintu Air Manggarai sebesar 577,05 meter kubik per detik.
Peran Pajak Melalui Aktivitas Sehari-Hari
Ada yang menarik dari perkembangan kondisi perpajakan di Indonesia. Meskipun setiap tahunnya besar target penerimaan dan wajib pajak meningkat, tetapi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP) justru mulai menerapkan kebijakan sumber daya manusia negative-growth.
Negative-growth artinya Kemenkeu termasuk DJP tidak akan menambah jumlah pegawai dalam lima tahun ke depan. Hal tersebut merupakan bagian dari reformasi Sumber Daya Manusia (SDM) Kemenkeu.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Ditargetkan setidaknya terdapat penurunan pegawai sebanyak 800 hingga 1800 orang per tahun dalam lima tahun ke depan.
Kebijakan negative-growth secara konsisten diharapkan membuat Kemenkeu termasuk DJP lebih ramping dan efisien dalam melaksanakan proses bisnisnya. Pemanfaatan teknologi informasi yang ada akan menjadi kunci kesuksesan kebijakan ini.
Saat ini dengan pemanfaatan teknologi dan informasi yang ada, seluruh kewajiban perpajakan dapat terselesaikan tanpa harus berkunjung ke kantor pelayanan pajak (KPP). Dalam hal pendaftaran, calon wajib pajak cukup mengunjungi situs pajak.go.id. Begitu pula dalam hal pembayaran dan pelaporan pajak termasuk permohonan lainnya.
Dalam hal konsultasi perpajakan, kini seluruh KPP di Indonesia telah menyelenggarakan layanan konsultasi daring termasuk melalui berbagai media sosial yang dapat dimanfaatkan wajib pajak.
Dengan berbagai perkembangan proses bisnis tersebut, formulir dalam bentuk kertas hampir tidak dibutuhkan kembali. Permohonan wajib pajak dalam bentuk kertas mulai berkurang. Selain itu komunikasi antar instansi di Kemenkeu saat ini telah menggunakan Naskah Dinas Elektronik atau yang akrab disebut Nadine. Nadine dapat menghemat anggaran melalui pengurangan penggunaan kertas dan jasa pengiriman kurir.
Berbagai kebiasaan tersebut tentu sangat ramah lingkungan dan jika dilakukan dalam skala besar dapat turut menjaga keseimbangan alam. Sebagaimana kita ketahui kertas bersumber dari olahan kayu yang dilakukan dengan menebang pepohonan sehingga penggunaan kertas secara besar-besaran menjadi salah satu penyebab bencana alam yang ada seperti banjir dan tanah longsor.
Apabila kebiasaan, aktivitas, dan proses bisnis dengan basis teknologi dan informasi seperti yang saat ini dikembangkan oleh Kemenkeu dapat dijadikan contoh oleh instansi dan perkantoran yang ada di Indonesia. Bukan tidak mungkin juga birokrasi di Indonesia dapat berjalan tanpa menggunakan kertas. Dengan demikian penebangan hutan untuk keperluan penggunaan kertas dapat dihentikan, keseimbangan alam dapat terjaga, banjir dan tanah longsor pun dapat dihindari.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 174 kali dilihat