Oleh: (Sukirno Susilo), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

“Apa benar, setelah penerapan Coretax DJP nanti, istri harus lapor dan bayar sendiri SPT Tahunannya? Apa benar, SPT Tahunannya nanti akan menjadi kurang bayar?”

Seperti itulah kira-kira pertanyaan yang pernah disampaikan salah seorang wajib pajak saat kegiatan sosialisasi surat pemberitahuan (SPT) tahunan Coretax DJP 2025. Mungkin, ada banyak wajib pajak lain yang memiliki pertanyaan serupa. Mungkin benar, mungkin juga tidak, kita perlu melihat lebih dalam seperti apa ketentuannya.

Saat ini, wajib pajak orang pribadi menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP), khususnya pada sistem Coretax DJP. Dengan demikian, apakah istri yang sebelumnya tidak punya NPWP, setelah dimulainya penggunaan Coretax DJP ini akan menjadi ber-NPWP karena memiliki NIK?

NIK sebagai NPWP

Sebelumnya, NPWP menggunakan format 15 digit. Semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah, NPWP mulai menggunakan format 16 digit. Bagi wajib pajak orang pribadi, NPWP 16 digit tersebut adalah NIK atau yang lebih dikenal dengan nomor KTP.

Namun demikian, NIK tidak serta merta langsung menjadi NPWP, tetapi harus dilakukan aktivasi atau pemutakhiran/pemadanan data NIK-NPWP dahulu. Oleh karena itu, ketika seseorang telah memiliki NIK, belum tentu NIK tersebut telah berfungsi atau berubah menjadi NPWP. Begitu juga NIK seorang Istri, belum tentu telah aktif atau berfungsi sebagai NPWP. Ibaratnya, dulu kita harus daftar NPWP untuk bisa memperoleh NPWP, sekarang, kita harus aktivasi atau pemadanan NIK dulu agar NIK bisa menjadi dan berfungsi sebagai NPWP.

Konsep Status NPWP Suami-Istri

Sekarang, kita coba masuk ke dalam ketentuan terkait NPWP suami istri. Ada empat konsep status NPWP suami-istri, yaitu NPWP gabung (kepala keluarga/KK), PH (pisah harta), MT (memilih terpisah), dan HB (hidup berpisah). Pada dasarnya, sistem perpajakan di Indonesia menerapkan konsep bahwa satu keluarga merupakan satu kesatuan ekonomis. Artinya, dalam satu keluarga cukup satu orang saja yang memiliki NPWP, yaitu suami. Konsep inilah yang disebut dengan konsep NPWP gabung.

Di sisi lain, bukan larangan juga apabila istri ingin memiliki NPWP sendiri yang berbeda dengan suami. NPWP PH/MT lah yang merupakan istilah konsep NPWP suami istri yang memiliki NPWP masing-masing. PH adalah pisah harta. Artinya, terdapat perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri. Sementara itu, MT adalah memilih terpisah. Artinya, istri menghendaki atau memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, terpisah dari suami (tanpa ada perjanjian pisah harta).

Dalam kondisi tertentu, suami istri dapat saja hidup berpisah berdasarkan putusan hakim, sehingga hak dan kewajiban perpajakannya benar-benar dilakukan terpisah menggunakan NPWP masing-masing. Kondisi inilah yang disebut dengan konsep NPWP HB. Namun, dalam artikel ini, status NPWP HB tidak dibahas secara mendalam (disclaimer). Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri NPWP gabung adalah ketika suami saja yang memiliki NPWP, sedangkan PH/MT adalah ketika suami istri memiliki NPWP masing-masing.

Perbedaan NPWP Gabung vs. PH/MT Era Sebelum vs. Semenjak Coretax DJP

    1. Era Sebelum Coretax DJP

Pada era sebelum Coretax DJP, NPWP gabung ditandai dengan istri yang tidak memiliki NPWP. Apabila istri telah memiliki NPWP sendiri sebelum menikah dan memilih gabung dengan suami setelah menikah, istri mengajukan permohonan penghapusan NPWP. Namun, jika istri ingin memilih PH/MT, istri tinggal melanjutkan kepemilikan NPWP tersebut.

Sementara itu, apabila istri tidak memiliki NPWP sebelum menikah, dan setelah menikah ingin memilih PH/MT, istri perlu melakukan pendaftaran NPWP. Namun, jika istri memilih gabung, istri tidak perlu daftar NPWP.

    1. Era Coretax DJP

Pada era Coretax DJP, NPWP gabung ditandai dengan istri yang NIK-nya tidak berfungsi sebagai NPWP (tidak/belum aktivasi NIK menjadi NPWP) atau telah berfungsi sebagai NPWP (telah mengaktivasi NIK menjadi NPWP) tetapi berstatus nonaktif. Ibaratnya tidak terdaftar NPWP atau terdaftar, tetapi statusnya nonefektif (istilah di ketentuan lama).

Dapat diartikan juga bahwa NPWP gabung pada era Coretax DJP ditandai dengan hanya NIK suami saja yang aktif sebagai NPWP. Apabila istri telah memiliki NIK yang aktif sebagai NPWP tetapi ingin digabung dengan suami, maka dapat menonaktifkan statusnya. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Sebaliknya, apabila istri ingin PH/MT, pastikan bahwa NIK istri berstatus aktif sebagai NPWP.

NPWP Gabung vs. PH/MT pada SPT Tahunan

Dalam sudut pandang pengisian SPT tahunan, sebenarnya konsepnya tetap sama, baik sebelum maupun semenjak penerapan Coretax DJP. Apabila konsep yang digunakan adalah NPWP gabung di mana yang menyampaikan SPT hanya suami, penghasilan dan pajak penghasilan (PPh) istri dilaporkan di SPT suami.

Sementara itu, apabila konsepnya PH/MT, suami istri masing-masing menyampaikan SPT dengan terlebih dahulu menggabungkan penghasilan keduanya dan menghitung PPh terutang masing-masing secara proporsional sesuai persentase penghasilan masing-masing.

Saat ini (era coretax), secara teknis, pengisian SPT Tahunan bagi orang pribadi diatur dalam lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Pertanyaannya, bagaimana perpajakan atas penghasilan istri atas beberapa kemungkinan kondisi tersebut?

Jenis Penghasilan dan PPh berdasarkan Sifatnya

Ada dua jenis sifat penghasilan dan PPh, yaitu final dan nonfinal. Final artinya perpajakannya selesai pada saat dibayarkannya PPh, baik dengan disetor sendiri maupun dipotong. Nonfinal artinya perpajakannya belum selesai saat dibayarkannya PPh, melainkan akan diperhitungkan lagi di SPT tahunan baik penghasilannya maupun PPhnya sebagai kredit (pengurang) pajak di SPT Tahunan. Salah satu yang bersifat final adalah penghasilan istri dari satu pemberi kerja yang hak dan kewajiban perpajakannya dilaksanakan oleh kepala keluarga (NPWP gabung).

Penghasilan dan PPh bagi Istri

Kembali ke pertanyaan awal, “Apa benar, setelah penerapan Coretax DJP nanti, istri harus lapor dan bayar sendiri SPT Tahunannya? Apa benar SPT Tahunannya nanti akan menjadi kurang bayar?”.

Jawabannya adalah tidak apabila status NPWP suami istri adalah kepala keluarga (NPWP gabung) dan penghasilan istri semata-mata hanya dari satu pemberi kerja (karyawati) yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Kenapa jawabannya tidak? Apabila kondisi tersebut terpenuhi, istri hanya memiliki satu bukti pemotongan pajak (PPh Pasal 21) dan itu dilaporkan dalam SPT Tahunan suami di bagian penghasilan dan PPh yang bersifat final. Hal ini sesuai dengan petunjuk pengisian SPT Tahunan pada Lampiran PER-11/PJ/2025 halaman 556. Selebihnya, apakah dari penghasilannya ada kurang bayar lagi atau nihil, atau mungkin lebih bayar menjadi urusan suami.

Lain halnya apabila kondisi di atas tidak terpenuhi. Jawaban atas pertanyaan awal tadi akan menjadi “iya”. Misalnya karena status NPWP suami istri adalah PH/MT, atau NPWP gabung tetapi penghasilan istri berasal dari dua atau lebih pemberi kerja, atau mungkin istri memiliki kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

Jika statusnya PH/MT, suami istri menyampaikan SPT Tahunannya masing-masing dengan mengisi salah satu bagian khusus, yaitu “Penghitungan PPh Terutang Wajib Pajak dan Suami/Istri” (Lampiran PER-11/PJ/2025 halaman 599). Dalam bagian tersebut, suami istri menggabungkan terlebih dahulu penghasilan neto mereka, mengurangkannya dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP), lalu menghitung PPh gabungan. Kemudian, di SPT Tahunan masing-masing, besarnya PPh yang terutang suami istri dihitung berdasarkan proporsi besarnya penghasilan neto masing-masing terhadap gabungan penghasilan neto keduanya.

Jika statusnya NPWP gabung, tetapi penghasilan istri berasal dari dua atau lebih pemberi kerja, atau mungkin istri memiliki kegiatan usaha/pekerjaan bebas, atau memang hanya dari satu pemberi kerja tetapi berhubungan dengan kegiatan usaha/pekerjaan bebas suami/anggota keluarga lainnya, meskipun yang menyampaikan SPT Tahunan hanya suami, penghasilan dan PPh yang telah dibayar/dipotong bagi istri ikut diperhitungkan dengan penghasilan dan PPh suami. Dalam hal ini, akan ada kemungkinan SPT Tahunan suami menjadi kurang bayar, nihil, atau mungkin lebih bayar.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.