"Oeang", Bukti Eksistensi Peradaban

Oleh: Mohammad Yogi Khoirul Amali, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Selamat hari Oeang! Ingat, uang bukan hanya sekedar alat tukar, melainkan juga sebagai identitas bangsa, bukti eksistensi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang digunakan dari ujung barat Sumatra hingga ufuk timur bumi Papua, dalam satu keterikatan sebagai satu nusa dan satu bangsa. Nilai Rupiah terhadap dollar Amerika bukan hanya "tiga belas ribu", melainkan juga pemersatu identitas, pengikat keberagaman dan bukti eksistensi peradaban.
Kita kenang bersama delapan ratus tahun yang lalu, di tanah kita indonesia pada abad ke-12 masehi, Sri Maharaja Jayabhaya memerintah rakyatnya, membawa nusantara menjadi salah satu negeri terkaya di seluruh penjuru dunia, sebutir koin emas atau perak berukiran seperti huruf “T”, atau lebih dikenal dengan linggam dan di sisi lain bertuliskan Dja (Dewa Nagari). Koin emas tersebut dikenal juga sebagai Uang Khrisnala pada masa itu, menjadi lebih dari sekedar alat tukar dan simbol nilai harta saja.
Para pedagang dari negeri Cina, India dan beberapa dari tanah Arabia akan bercerita kepada sanak-saudara saat kembali ke kampung halamannya. "Inilah koin emas bernilai dewa, dipergunakan oleh rakyat di kerajaan bertanah surga, rempah-rempahnya tumbuh subur, hewan-hewan ternak beranak-pinak setiap masa, sutra jadi pakaian jelata, istana rajanya berlantai logam mulia, mereka menyebut wilayahnya sebagai Kerajaan Kediri, penguasa Nusantara".
Atau dua ratus tahun setelahnya, dikisahkan dalam Kitab Negarakertagama saat Raja Hayam wuruk memerintah rakyat Majapahit, yang daerah kekuasaannya melang-lang ribuan kilometer menyusuri katulistiwa dari wilayah Lamuri dan Samudra (sekarang masuk Aceh), Kelantan (Malaysia) di semenanjung Malaka, terus ke timur melingkupi Berune (sekarang Brunei Darussalam), mencakup seluruh kepulauan Banggawi (Sekarang wilayah banggai Sulawesi Tengah), Maluku hingga daerah Wanin (Papua Barat sekarang) berbalik ke barat melalui jalur selatan, melingkupi Timor, Lombok dan pulau Bedahulu (Sekarang Bali) hingga menyentuh Ibu kota kerajaan di kota majapahit (Sekarang daerah Trowulan, Mojokerto) di tanah Jawa.
Masih berbentuk koin berbentuk segi empat, segitiga, bahkan tak beraturan, terbuat dari emas bercap jambangan dan tiga tangkai bunga (teratai ?). Dengan itu, di masa itu, sebagian besar leluhur bangsa kita, sudah memiliki mata uangnya sendiri. Mewariskan cerita kejayaan di masanya dalam sebutir koin emas dan perak, memberi bukti maju peradabannya dalam bentuk mata uang. Sampailah di mana saat Kerajaan-kerajaan Islam mulai bermunculan di wilayah kita, dari Kesultanan Samudra Pasai di Aceh, Kesultanan Demak di Jawa, Kesultanan Ternate di Maluku, masing – masing memiliki mata uang sendiri, dari uang Dirham yang digunakan di Samudra Pasai hingga Uang Kasha di Kesultanan Banten. Semuanya mewariskan cerita tentang peradaban mereka.
Masa telah berlalu, sekarang bangsa kita memiliki sistem ketatanegaraan yang modern dengan Pancasila yang luar biasa menjadi dasar kehidupan berbangsa. "Jangan sekali – kali melupakan sejarah!" adalah pesan melegenda dan mendalam dari Founding Father kita, Ir Soekarno. Maka kita ingat bersama pidato sang Plokamator, Mohammad Hatta 29 Oktober 1946. "Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru. Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu ikut pula tidak berlaku uang De Javasche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita."
Dengan pidato Bung Hatta ini, generasi itu mulai menggoreskan cerita peradaban untuk diwariskan kepada anak cucu nanti. Sekarang bayangkanlah anda sambil duduk minum teh di ruang TV pada tahun 4000 Masehi di masa depan, dari atas sofa anda mengontrol televisi hologram tiga dimensi yang dengan kecanggihan teknologinya pada masa itu anda bisa mengatur channel dan volume-nya dengan pikiran.
Bayangkanlah di televisi anda mendapati berita seperti ini. "Selamat Sore pemirsa, sekelempok arkeolog telah menemukan benda peninggalan kuno berupa seikat kertas, berisi gambar dua orang berpeci dan bertuliskan sejumlah angka, para arkeolog memastikan bahwa peninggalan ini adalah sesuatu yang dinamakan "Uang kertas", dan telah dilakukan uji penanggalan radiokarbon, diketahui usia benda itu sekitar 2000 tahun. "Uang kertas" adalah semacam alat tukar pada waktu itu, dimana penduduk menggunakan “Uang Kertas” untuk menukar barang yang diinginkan secara fisik, sebuah metode tradisional tukar – menukar barang yang tidak lagi kita temui di masa sekarang.
Selain itu Arkeolog juga menemukan sesuatu yang diperkirakan merupakan alat penghitung, beberapa data binari berhasil diselamatkan dari alat itu, salah satunya berupa semacam statistik perbandingan, dimana dari pengolahan data yang masih bisa diselamatkan diperoleh informasi bahwa “Rupiah”, sejenis mata uang nenek moyang bangsa kita, bernilai hanya seper tiga belas ribu dari mata uang milik peradaban dengan perekonomian dan pertahanan terkuat di masa itu yakni sebuah negeri bernama Amerika, menunjukkan nenek moyang kita pada masa itu belum termasuk peradaban paling berjaya seperti bangsa kita sekarang ini". Mungkinkah akan seperti itu mata uang kita mewariskan cerita peradaban generasi ini? ataukah seharusnya jauh lebih baik?.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 505 kali dilihat