Menyoal Pokok Perubahan Perpajakan Barang Kiriman Dalam PMK 4/2025

Oleh: Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Barang kiriman, sebagai salah satu tulang punggung perdagangan global, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika perekonomian modern. Dalam era digitalisasi dan globalisasi, arus barang kiriman tidak hanya mencerminkan pertukaran komoditas, tetapi juga menjadi cerminan integrasi ekonomi suatu bangsa dengan pasar dunia. Berdasarkan publikasi yang berjudul Strengthening E-commerce cooperation to promote business to business and business to consumers under AHKFTA: a case study of ASEAN countries and Hong Kong Special Administrative Region of the People's Republic of China pada April 2023 lalu, perdagangan lintas batas di ASEAN melalui e-commerce diproyeksikan tumbuh pesat. Angka proyeksi ini adalah sebesar 52% dari tahun 2022-2025 dengan perubahan kapitalisasi adalah 142 juta dollar AS di tahun 2022 dan menjadi 216 juta dollar AS di tahun 2025.
Indonesia, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tidak bisa mengabaikan urgensi ini. Barang kiriman tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga menjadi instrumen strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menarik investasi, dan memperkuat daya saing nasional. Namun, di balik potensinya yang besar, tantangan seperti penghindaran pajak, kompleksitas administrasi, dan ketidakpastian regulasi seringkali menghambat optimalisasi manfaat ekonomi dari sektor ini.
Dalam upaya meningkatkan transparansi, kepastian hukum, dan efisiensi administrasi perpajakan, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman (PMK 4/2025) yang berlaku mulai tanggal 5 Maret 2025. PMK 4/2025 tidak hanya bertujuan untuk memperkuat pengawasan terhadap transaksi internasional, tetapi juga memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Artikel ini mengulas pokok-pokok perubahan penting dalam PMK 4/2025 yang akan berdampak signifikan terhadap perdagangan barang kiriman, mulai dari e-commerce internasional hingga barang kiriman jemaah haji.
Pokok Penyesuaian Aspek Perpajakan
Pertama, perubahan ketentuan atas barang kiriman dari Platform Penjualan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
Salah satu perubahan signifikan dalam PMK 4/2025 adalah pengaturan yang lebih rinci mengenai pajak atas barang kiriman yang berasal dari transaksi melalui PPMSE. Sebelumnya, dalam PMK 96 Tahun 2023, tidak ada ketentuan yang mengatur secara spesifik mengenai kewajiban pajak untuk barang kiriman dari PPMSE yang berbasis di luar negeri. Kini, dalam Pasal 2 ayat (7) dijelaskan bahwa PPMSE yang berkedudukan di luar Daerah Pabean yang telah memenuhi kriteria tertentu harus menunjuk perwakilan yang berkedudukan di dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perdagangan melalui sistem elektronik. Lebih lanjut, dalam Pasal 3 ayat (3) perwakilan bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban membayar bea masuk, cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau pajak dalam rangka impor. Apabila PPMSE tidak menunjuk perwakilan di Indonesia, penerima barang yang bersangkutan akan diperlakukan sebagai importir dan bertanggung jawab atas kewajiban pajak tersebut.
Kebijakan ini sejalan dengan rekomendasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD, 2021) dalam kerangka Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), yang menekankan pentingnya pengawasan terhadap transaksi digital lintas batas. Dengan regulasi ini, Indonesia berharap dapat meminimalkan praktik penghindaran pajak sekaligus menciptakan level playing field bagi pelaku usaha lokal.
Kedua, pembebasan bea masuk dan pajak untuk hadiah perlombaan atau penghargaan.
Perubahan lainnya yang signifikan adalah ketentuan mengenai pembebasan bea masuk dan pajak untuk barang kiriman yang berupa hadiah dari perlombaan internasional atau penghargaan. Sebelumnya, ketentuan ini tidak secara eksplisit dijelaskan dalam PMK 96 Tahun 2023. Namun, PMK 4/2025 dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c memperkenalkan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penghasilan (PPh) untuk hadiah yang diterima dalam perlombaan internasional, yang meliputi berbagai bidang seperti olahraga, ilmu pengetahuan, kesenian, kebudayaan, dan keagamaan. Untuk memenuhi syarat pembebasan pajak ini, hadiah yang dikirimkan harus disertai bukti keikutsertaan dalam perlombaan atau penghargaan internasional yang berasal dari lembaga resmi seperti kementerian, penyelenggara lomba, atau media massa.
Ketentuan ini akan mendorong lebih banyak partisipasi Indonesia dalam ajang internasional serta mendukung perkembangan sektor-sektor tertentu, seperti olahraga dan kesenian. Selain itu, pembebasan pajak ini juga akan meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap prestasi internasional yang dicapai oleh warga negara Indonesia.
Ketiga, pajak atas barang kiriman jemaah haji.
Dalam PMK terbaru ini, aturan mengenai barang kiriman yang dikirim oleh jemaah haji juga mengalami perubahan penting. Dalam Pasal 21 ayat 4, barang kiriman yang dikirim oleh jemaah haji yang memenuhi ketentuan tertentu, seperti batas ukuran dan jumlah kemasan, bisa mendapatkan pembebasan pajak. Aturan baru ini memberikan kemudahan bagi jemaah haji yang membawa barang dalam jumlah terbatas untuk keperluan pribadi atau oleh-oleh dari tanah suci. Sebelumnya, aturan tentang pembebasan pajak atas barang kiriman jemaah haji tidak cukup jelas, dan hal ini kerap menimbulkan kebingungan dalam pengelolaan barang kiriman tersebut.
Dengan adanya kebijakan yang lebih transparan ini, diharapkan akan memperlancar proses administrasi dan meminimalkan hambatan bagi jemaah haji yang ingin membawa pulang barang dari ibadah haji mereka.
Keempat, mekanisme pembayaran pajak untuk barang kiriman dengan nilai tertentu.
Pasal 21 ayat (6) memperkenalkan self-assessment, yaitu kewajiban untuk menghitung sendiri pajak yang terutang atas barang kiriman yang nilai pabeannya tidak melebihi ASD1.500. Dalam hal ini, penerima barang atau importir diminta untuk menghitung bea masuk dan pajak yang terutang tanpa melibatkan pejabat bea dan cukai secara langsung. Proses ini bertujuan untuk menyederhanakan administrasi perpajakan dan mempercepat alur kepabeanan, sehingga barang dapat diproses lebih cepat dan efisien. Jika nilai barang melebihi ASD1.500, maka pajak dan bea masuk akan dihitung dan diproses oleh pejabat bea dan cukai sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sistem ini akan meningkatkan kemudahan bagi pelaku usaha dan individu yang melakukan transaksi internasional dalam jumlah kecil, sembari memastikan bahwa pajak yang terutang tetap dipenuhi dengan tepat.
Kelima, penyederhanaan proses administrasi pajak.
Dengan diberlakukannya PMK 4/2025, proses administrasi pajak untuk barang kiriman kini lebih sederhana dan transparan. Seluruh proses, mulai dari pengajuan hingga pembayaran pajak, kini dapat dilakukan secara elektronik. Hal ini memungkinkan Penyelenggara Pos dan Platform Penjualan untuk lebih cepat mengurus kewajiban pajak atas barang yang dikirim. Selain itu, administrasi yang lebih efisien ini diharapkan dapat mengurangi birokrasi yang rumit dan meningkatkan tingkat kepatuhan pajak di kalangan masyarakat dan pelaku bisnis.
Harapan Masa Depan
Dengan diberlakukannya PMK 4/2025, diharapkan sistem perpajakan atas barang kiriman akan menjadi lebih efisien, transparan, dan mudah diakses. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak pelaku usaha, baik domestik maupun internasional, untuk berpartisipasi dalam perdagangan internasional dengan Indonesia. Pembebasan pajak untuk hadiah perlombaan dan penghargaan juga akan meningkatkan reputasi Indonesia di tingkat internasional. Selain itu, implementasi sistem self-assessment diharapkan dapat mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan lebih cepat dan tanpa hambatan yang berarti.
Selain itu, PMK 4/2025 juga memberikan peluang untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak atas barang kiriman dan memperkuat pengawasan terhadap kepatuhan pajak, terutama dalam sektor e-commerce yang terus berkembang. Dengan peraturan yang lebih jelas dan sistem yang lebih efisien, Indonesia dapat menciptakan iklim perdagangan yang lebih sehat, terbuka, dan berkelanjutan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 162 kali dilihat