Oleh: Muchamad Irham Fathoni, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan pada 7 Oktober 2021 menjadi babak baru dalam upaya menurunkan emisi karbon Indonesia. Selain melalui UU HPP, Presiden Joko Widodo juga telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang mengatur tentang pasar karbon. Pengesahan peraturan ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow.

 

Pada prinsipnya pengenaan pajak karbon mirip dengan pengenaan cukai, yakni dikenakan atas barang-barang yang pemakaiannya dapat menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Pengenaan pungutan atas karbon, kedepannya akan menjadi semakin umum dilakukan di berbagai negara sebagai komitmen untuk menekan  perubahan  iklim  akibat  bertambahnya emisi karbondioksida (CO2).

 

Pemerintah akan menerapkan pajak karbon secara bertahap sesuai dengan roadmap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Mekanisme yang digunakan adalah melalui cap and tax. Dengan skema ini, jika entitas tidak dapat membeli izin emisi (SIE) atau sertifikat penurunan emisi (SPE) atas emisi di atas batasan (cap) seluruhnya maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon.

 

Selain skema pajak karbon (cap and tax), pemerintah juga menyiapkan skema perdagangan karbon (cap and trade) dalam upaya menurunkan emisi karbon. Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap (batasan) diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli seritifikat penurunan emisi (SPE). Namun, jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.

 

Uji coba awal terkait dengan perdagangan karbon antar 80 unit PLTU batu bara telah dilaksanakan oleh   Kementerian   ESDM.   Pada tahap awal pengenaan pajak karbon akan dilakukan secara terbatas pada PLTU batu bara mulai  1 April 2022 dengan skema cap and tax dengan tarif   Rp30.000,-/ton   CO2-e,   sedangkan   pajak   karbon   untuk   sektor   lainnya   akan dilaksanakan pada tahun 2025.

 

Untuk mencapai net zero emission, penerapan pajak karbon di Indonesia untuk sektor energi dan transportasi  merupakan  salah  satu  cara  yang  efektif.  Penerapan  pajak  karbon  untuk  sektor transportasi  maupun  beberapa  industri  tidak  dapat  dilakukan  dengan  Pendekatan  Emisi Langsung,  sehingga  apabila  nantinya  pemberlakuan  pajak  karbon  akan dilaksanakan  secara menyeluruh,  Pemerintah  perlu  mempertimbangkan  juga  pemungutan  pajak  karbon  dengan Pendekatan Bahan Bakar untuk sektor transportasi dan sektor-sektor tertentu lainnya.

 

Selain itu, penetapan kebijakan pajak karbon perlu dibarengi dengan langkah berikutnya, yakni penyusunan regulasi yang bisa meningkatkan daya tarik untuk investasi di energi terbarukan. Hasil pungutan pajak karbon harus dikembalikan untuk pengembangan energi terbarukan, sehingga dalam jang ka panjang energi terbarukan dapat mencapai harga yang kompetitif dibandingkan energi fosil.*

 

 *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.