Membedah Pajak atas Transaksi Digital

Oleh: Ardian Mahardi Putera, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Penanganan Covid-19 menuntut pemerintah untuk menyiapkan skema penyelamatan yang ideal, baik bagi kesehatan warga negaranya dan juga perekonomian negara. Kebijakan publik yang tepat dan berimbang dalam menempatkan keduanya sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan hidup warga negara.
Penanganan pandemi Covid-19 mengakibatkan peningkatan belanja negara di bidang kesehatan yang signifikan. Hal ini diperburuk dengan penurunan penerimaan negara dari perpajakan dikarenakan lesunya perekonomian serta pemberian relaksasi dan insentif fiskal untuk para pelaku usaha. Akibatnya, defisit APBN diperkirakan melebar melebihi ambang batas yang diamanatkan undang-undang yaitu maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Untuk menyelamatkan neraca APBN tersebut, maka diperlukan adanya langkah yang diambil pemerintah dengan menerbitkan payung hukum sehubungan dengan kebijakan fiskal yang akan diambil. Pada 16 Mei 2020 lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah mengesahkan Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang tersebut memuat berbagai kebijakan yang diambil pemerintah yaitu kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan. Di dalam kebijakan keuangan negara terdapat beberapa kebijakan di bidang perpajakan antara lain penurunan tarif PPh Wajib Pajak Badan, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, fasilitas kepabeanan, hingga penegasan perlakukan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Setali tiga uang, selain insentif dan keringanan yang diberikan oleh pemerintah terhadap pelaku usaha, pemerintah juga tidak ingin kehilangan potensi penerimaan pajak yang justru berkembang pada saat pandemi Covid-19 saat ini, yaitu potensi pajak atas transaksi digital.
Kebijakan Work From Home dan Study From Home yang dikeluarkan pemerintah telah memberikan dampak positif kepada sektor usaha telekomunikasi, hiburan digital, dan e-commerce. Di saat hampir segala sektor mengalami kontraksi, ketiga sektor usaha tersebut mengalami peningkatan yang terbilang signifikan. Beberapa operator telekomunikasi seluler mencatat adanya peningkatan lalu lintas data internet sejak adanya himbauan untuk bekerja dan belajar dari rumah.
Lonjakan lalu lintas data internet terjadi pada penggunaan aplikasi media sosial, teleconference, video streaming, game online, hingga aplikasi hiburan lainnya. Peningkatan penggunaan internet ini merujuk kepada kesimpulan adanya peningkatan pendapatan pelaku usaha di bidang telekomunikasi, hiburan digital, dan e-commerce baik pelaku usaha dalam negeri maupun luar negeri yang beroperasi di Indonesia.
Untuk mengamankan basis penerimaan pajak atas transaksi digital dan menciptakan level playing field bagi seluruh pelaku usaha, baik pelaku usaha digital dan pelaku usaha konvensional, perlu adanya penegasan perlakuan perpajakan atas transaksi digital.
Bukan Pajak Baru
Pajak atas transaksi digital bukanlah suatu jenis pajak baru, melainkan suatu bentuk penegasan terhadap area abu-abu dalam ketentuan peraturan perpajakan. Hal yang menjadi perhatian pemerintah atau otoritas pajak adalah transaksi digital oleh subjek pajak luar negeri dalam hal ini perusahaan digital luar negeri yang menjalankan aktivitas digital di Indonesia dan memperoleh penghasilan di Indonesia, tetapi tidak memiliki kantor cabang atau kantor perwakilan di Indonesia.
Penentuan suatu subjek pajak luar negeri untuk dapat dikategorikan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) agar dapat diperlakukan sama dengan subjek pajak dalam negeri ialah adanya kehadiran fisik di Indonesia sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 2 ayat (5) UU PPh yaitu antara lain adanya tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, dan sejenisnya.
Sedangkan perusahaan digital raksasa yang memperoleh penghasilan dari Indonesia seperti Netflix, Spotify, Zoom, AirBNB, Amazon, dan sejenisnya tidak memiliki kehadiran fisik seperti dalam kriteria BUT tersebut. Hal ini menjadikan syarat adanya kehadiran fisik (physical presence) untuk mengklasifikasikan perusahaan digital raksasa tersebut ke dalam BUT menjadi tidak terpenuhi.
Akibatnya, potensi penerimaan pajak penghasilan dari perusahaan digital luar negeri tersebut belum dapat digali lebih lanjut. Isu ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya potensi pajak, tetapi juga mengakibatkan timpangnya keadilan bagi para pelaku usaha digital di dalam negeri dalam penerapan pajak penghasilan.
Selain hilangnya potensi penerimaan pajak penghasilan, terdapat pula hilangnya potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) atau Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud yang dilakukan oleh perusahaan digital luar negeri seperti layanan musik, video streaming, voucher game, jasa penyediaan akomodasi, dan sebagainya.
Isu terkait pajak atas transaksi digital ini bukanlah hal yang baru. Banyak negara di dunia mengeluhkan hilangnya potensi pajak yang cukup besar akibat ketidakmampuan mengenakan pajak terhadap perusahaan multinasional tersebut. Salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan ini ialah melakukan penyesuaian peraturan perpajakan dengan kondisi global saat ini mengingat semakin pesatnya cross border digital transaction. Untuk itu penentuan BUT perlu diperluas dengan tambahan kriteria penentuan BUT berdasarkan adanya kehadiran ekonomi secara signifikan (significant economic presence).
Setelah melewati beberapa kajian sejak beberapa tahun terakhir, akhirnya penegasan terkait pajak atas transaksi digital di Indonesia diatur di tengah pandemi Covid-19. Kebutuhan fiskal yang tinggi dan kejelian para pengambil kebijakan melihat peluang atas peningkatan aktivitas ekonomi digital berhasil memuluskan peraturan pajak atas transaksi digital ini keluar lebih cepat. Ketentuan ini sebenarnya sudah ada dan sedang dibahas di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan.
Pajak atas Transaksi Digital
Di dalam Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dijelaskan aturan mengenai perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yaitu berupa kewajiban pengenaan PPN dan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan PMSE yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.
Pihak-pihak yang memiliki kewajiban pengenaan PPN adalah subjek pajak luar negeri antara lain pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau PPMSE dalam negeri yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Contoh dari PPMSE adalah online marketplace luar negeri seperti Amazon dan Alibaba serta online marketplace dalam negeri seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan sejenisnya.
Untuk pengenaan tarif PPN mengikuti tarif yang ada di dalam UU PPN yang berlaku, yaitu 10% dari Dasar Pengenaan Pajak. Sedangkan pintu masuk untuk pengenaan pajak penghasilan kepada subjek pajak luar negeri adalah adanya kehadiran ekonomi signifikan. Kriteria penentuan kehadiran ekonomi signifikan yaitu peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu, penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu, dan/atau pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu.
Apabila setidaknya salah satu dari kriteria di atas terpenuhi, maka suatu subjek pajak luar negeri dapat dikategorikan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan dikenai pajak penghasilan sesuai dengan UU PPh. Namun, apabila subjek pajak luar negeri tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai BUT dikarenakan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pencegahan pengelakan pajak dengan negara atau yurisdiksi lain, subjek pajak tersebut akan dikenakan pajak atas transaksi elektronik. Pajak atas transaksi elektronik tentunya berbeda dengan ketentuan pengenaan PPh atas BUT.
Pemerintah tentunya sangat berhati-hati dalam menerapkan peraturan turunan terkait pajak atas transaksi elektronik ini mengingat kebijakan yang diambil harus memperhatikan siklus perekonomian digital agar tetap terjaga dengan baik. Sehingga tujuan menciptakan level playing field dan pengamanan basis penerimaan pajak tetap tercapai tanpa menganggu perekonomian yang sedang bergejolak saat ini.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 3601 kali dilihat