Oleh: Didik Yandiawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kementerian Keuangan telah menerbitkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (UU BM). Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4 Tahun 2021 tentang Pembayaran Bea Meterai, Ciri Umum dan Ciri Khusus Meterai Tempel, Meterai dalam Bentuk Lain, dan Penentuan Keabsahan Meterai, Serta Pemeteraian Kemudian (PMK-4/2021), babak baru pemungutan bea meterai Indonesia resmi dimulai tahun ini. Sebagai bagian dari amanat UU BM, Kementerian Keuangan memperkenalkan wujud baru meterai tempel berwarna merah muda dengan tarif tunggal senilai Rp10.000,00. Meterai ini resmi menggantikan meterai desain tahun 2014.

Dengan sejumlah ciri umum dan ciri khususnya, meterai tempel terbaru mengusung tema ornamen nusantara yang mewakili kebanggan atas kekayaan yang dimiliki Indonesia dan semangat nasionalisme. Ciri umum meterai tempel terbaru dengan efek raba ini adalah tampilan gambar lambang negara Garuda Pancasila, angka “10000” dan tulisan “SEPULUH RIBU RUPIAH” yang menunjukkan tarif bea meterai, teks mikro modulasi “INDONESIA”, blok ornamen khas Indonesia, dan tulisan "TGL.  20 ".

Sedangkan ciri khususnya adalah berbentuk persegi empat dengan warna dominan merah muda berperekat di sisi belakang. Serat berwarna merah dan kuning tampak pada kertas beserta efek perubahan warna dari magenta menjadi hijau pada blok ornamen khas Indonesia. Ciri khusus lainnya adalah garis hologram pengaman berbentuk persegi panjang yang memuat gambar lambang negara Garuda Pancasila, gambar bintang, dan gambar raster berupa logo Kementerian Keuangan, serta tulisan “djp”. Pada bagian bawah meterai tempel keluaran 2021 terdapat 17 digit nomor seri. Sebagian cetakan berpendar kuning di bawah sinar ultraviolet dan terdapat perforasi berbentuk bintang pada bagian tengah di sebelah kanan, bentuk oval di sisi kanan dan kiri, serta bentuk bulat pada setiap sisinya.

Bea Meterai Indonesia Murah dan Sederhana

UU BM telah menggantikan UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang telah eksis selama 35 tahun lamanya. Kendati objek dan saat terutang bea meterai tidak mengalami perubahan signifikan, UU BM kali ini memperkenalkan tarif tunggal. Sebelumnya, Indonesia mengenal dua jenis tarif bea meterai, yaitu Rp3.000,00 dan Rp6.000,00. Pemerintah mengambil kebijakan tarif tunggal setelah mempertimbangkan berbagai dinamika ekonomi, hukum, sosial, teknologi informasi, dan kebutuhan tata kelola bea meterai yang berkeadilan. Penyesuaian tarif tersebut diikuti dengan kenaikan batas nilai dokumen yang dikenai tarif bea meterai, yakni menjadi Rp5 juta. Sehingga, dokumen yang memuat nilai nominal di bawah Rp5 juta tidak lagi dikenai bea meterai. Adapun dokumen tertentu yang bersifat perdata, dokumen lelang, maupun dokumen yang menjadi alat bukti pengadilan tetap terutang bea meterai.

Tarif bea meterai Indonesia terbilang murah dan sederhana. Berbicara soal murah, beberapa negara menerapkan bea meterai dengan tarif yang relatif tinggi, misalnya Singapura, Australia, dan Korea Selatan. Korea Selatan bahkan diketahui menerapkan tarif bea meterai berkisar antara 100.000 hingga 350.000 won, atau senilai maksimal Rp4,5 juta. Sementara itu, kesederhanaan struktur tarif bea meterai Indonesia tercermin melalui penerapan tarif tunggalnya. Satu dokumen terutang bea meterai hanya terutang senilai Rp10.000,00.

Selain tata cara pembayaran dengan menggunakan meterai tempel, PMK-41/2021 juga mengatur izin penggunaan dan pembayaran meterai dalam bentuk lain. Bentuk lain meterai meliputi meterai teraan, meterai komputerisasi, dan meterai percetakan. PMK ini juga mengatur perihal keabsahan meterai dan pemeteraian kemudian. Dalam ketentuan peralihan, masyarakat diperkenankan membubuhkan meterai pada dokumen dengan kombinasi meterai tempel senilai Rp3.000,00 dan/atau Rp6.000,00 dengan nilai meterai minimal sebesar Rp9.000,00. Namun demikian, meterai tempel ini harus segera digunakan sampai dengan 31 Desember 2021, karena meterai tersebut tidak dapat ditukarkan dengan uang dan dalam bentuk apapun.

Agar Isu Lama Tak Bersemi Kembali

Menjaring kepatuhan pemungutan bea meterai memang bukan hal mudah. Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir terdapat dua permasalahan yang dihadapi pemerintah. Pertama, kerugian negara yang diakibatkan pemalsuan meterai tempel. Kedua, kepatuhan masyarakat dalam disiplin melaksanakan ketentuan UU BM.

Mengenai pemalsuan meterai tempel, pada tahun 2019 Polda Metro Jaya berhasil meringkus pemalsu meterai tempel yang merugikan negara hingga Rp30 miliar. Namun demikian, harus diakui bahwa peredaran meterai palsu masih sulit dibasmi. Agar tak terjerat, masyarakat pengguna diimbau untuk meneliti kualitas meterai agar tak terjerat meterai palsu maupun rekondisi. Caranya, masyarakat dapat memperoleh meterai tempel melalui Kantor PT Pos Indonesia (kantor pos). Di masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), kantor pos juga menyediakan layanan pembelian meterai tempel secara daring melalui laman www.meterai.posindonesia.co.id.

Agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya, UU BM menerapkan ancaman pidana penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. Sanksi pidana tersebut diberikan kepada setiap orang yang memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, dan mempunyai persediaan meterai palsu untuk dijual. Ancaman pidana juga menanti bagi setiap orang yang menghilangkan tanda yang berguna untuk menunjukkan suatu meterai tidak dapat dipakai lagi.

Mengenai peningkatan kepatuhan dan kedisplinan masyarakat dalam pengenaan bea meterai, baik perorangan maupun badan, Pemerintah melalui DJP dapat meningkatkan edukasi masyarakat melalui imbauan untuk membubuhkan meterai dalam setiap peristiwa maupun objek yang terutang bea meterai. Kerja sama dengan pihak ketiga dalam berbagai bentuk, khususnya dalam menjaring potensi bea meterai melalui pemeteraian digital juga diupayakan agar potensi penerimaan negara dari bea meterai dapat terjaring dengan efektif dan masif. Tuntutan zaman berupa transaksi dan transmisi dokumen digital memastikan DJP turut ambil bagian dalam memasyarakatkan penerapan UU BM ini.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.