Memahami Pasal 31E, Insentif UMKM yang Urung Dihapus dalam UU HPP

Oleh: Sri Lestari Pujiastuti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Wacana penghapusan insentif pajak untuk Wajib Pajak UMKM sesuai Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) sempat mencuat saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Saat itu, keadilan menjadi alasan utama usul penghapusan. Namun, usulan tersebut akhirnya dibatalkan. UU HPP yang disahkan pada Rapat Paripurna DPR urung menghapus insentif sesuai Pasal 31E tersebut.
Mengemukanya usulan penghapusan insentif Pasal 31E bermula dari keinginan pemerintah untuk membenahi pemberian insentif agar tidak terjadi duplikasi. Pemberian insentif di masa yang akan datang diharapkan dapat tepat sasaran. Pembenahan pemberian insentif pajak di saat ini menjadi penting mengingat kita bercita-cita mewujudkan sistem perpajakan yang sehat, adil, dan kompetitif guna mendorong APBN yang berkesinambungan.
Berdasarkan Pasal 31E UU PPh, Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar.
Sementara di sisi lain, kepada Wajib Pajak UMKM telah berlaku penghitungan pajak secara khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23/2018). Wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu atau yang populer disebut Wajib Pajak UMKM, yakni Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan (berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas) yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu Tahun Pajak. Terhadap wajib pajak dimaksud dikenai Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu dengan tarif sebesar 0,5%.
Dukungan untuk UMKM
UMKM memiliki peran penting dalam perekonomian nasional mengingat sumbangsihnya sebagai penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB). Di samping itu, jumlah UMKM di Indonesia mencakup jumlah yang cukup besar, yakni 64,19 juta dengan komposisi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) sangat dominan yakni 64,13 juta (99,92%) dari keseluruhan sektor usaha. Secara umum, UMKM juga bergerak dalam sektor padat karya yang merupakan andalan dalam menyerap tenaga kerja.
Namun sayangnya, kelompok ini pula yang paling merasakan imbas negatif dari pandemi Covid-19. Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) yang dilakukan terhadap 206 pelaku UMKM di Jabodetabek menunjukkan bahwa mayoritas UMKM sebesar 82,9% merasakan dampak pandemi dan hanya 5,9% yang mengalami pertumbuhan positif. Kondisi pendemi bahkan menyebabkan 63,9% dari UMKM yang terdampak mengalami penurunan omzet lebih dari 30%. Dan hanya 3,8% UMKM yang mengalami peningkatan omzet.
Menurut Blanchard (2020) sebagaimana dikutip Darussalam (2020), kebijakan fiskal pemerintah di saat pandemi Covid-19 harus fokus pada tiga hal. Pertama, fokus pada upaya menanggulangi aspek kesehatan masyarakat. Instrumen fiskal bagi sektor kesehatan harus jadi perhatian dalam rangka mencegah penularan, memonitor, perawatan, ketersediaan fasilitas, hingga riset pengobatan.
Kedua, instrumen fiskal haruslah berperan sebagai aid atau membantu pihak-pihak yang terdampak pelemahan ekonomi. Setiap sektor atau kelompok masyarakat kegiatan ekonominya terpengaruh pandemi harus segera ‘diselamatkan’. Ketiga, perlunya untuk mendorong permintaan total (aggregate demand). Ketersediaan permintaan dalam masyarakat akan tetap menjamin berputarnya roda perekonomian.
Karenanya, tidak heran sejak tahun 2020 pemerintah mengeluarkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program PEN dirancang untuk memulihkan ekonomi Indonesia dengan melindungi masyarakat miskin dan rentan miskin serta mendukung dunia usaha agar tidak makin terpuruk. Meningkatnya aktivitas bisnis akibat Covid-19 yang terkendali dan program PEN mengakibatkan prospek pertumbuhan sektor UMKM cenderung membaik di kuartal I tahun 2021.
BRI Micro & SME Index (BMSI) terbaru mencatat adanya kenaikan signifikan dalam Indeks Aktivitas Bisnis (IAB), Indeks Ekspektasi Aktivitas Bisnis (IEAB), dan Indeks Sentimen Bisnis (ISB) per kuartal I tahun ini dibandingkan dengan kuartal IV tahun 2020.
Riset tersebut menunjukkan peningkatan BMSI menjadi 93,0 dari sebelumnya 81,5 pada kuartal IV tahun 2020. Selain itu, pelaku UMKM juga makin optimistis terhadap prospek usahanya yang ditunjukkan dengan meningkatnya indeks ekspektasi BMSI menjadi 128,0 dari sebelumnya 105,4 pada kuartal IV tahun 2020. Sejalan kenaikan BMSI dan ekspektasinya, persepsi pelaku UMKM juga meningkat terhadap perekonomian secara umum.
ISB pelaku UMKM meningkat signifikan menjadi 115,5 dari sebelum nya 90,2 pada kuartal IV tahun 2020. Kenaikan IAB, IEAB, dan ISB menunjukkan mulai berputarnya aktivitas UMKM di lapangan, tingginya optimisme mereka atas kondisi yang lebih baik (Bisnis Indonesia, 17 Mei 2021).
Oleh karena itu, program PEN yang tetap berlanjut di 2021 disokong dengan pagu anggaran yang lebih besar yakni sebesar Rp744,77 triliun. Adapun rinciannya untuk klaster kesehatan Rp214,96 triliun, klaster perlindungan sosial Rp186,64 triliun, untuk UMKM dan korporasi Rp162,40 triliun, program prioritas Rp117,94 triliun, dan insentif usaha Rp62,83 triliun.
Pada Pembukaan Sarasehan 100 Ekonom Indonesia secara virtual, Presiden Joko Widodo telah mengemukakan tiga strategi untuk memulihkan ekonomi Indonesia. Adapun ketiga strategi yang dimaksud adalah digitalisasi UMKM, hilirisasi industry, dan mulai masuk ke ekonomi hijau. Agar mampu bertahan, dengan pasar makin berkembang UMKM didorong untuk masuk dalam platform digital.
Selaras dengan besarnya dana yang disediakan dan mulai meningkatnya aktivitas ekonomi sudah sepatutnya dukungan untuk UMKM terus berlanjut. Jangan sampai harapan yang kadung muncul, layu sebelum berkembang. Karenanya penerbitan regulasi yang selaras dengan kebijakan untuk UMKM khususnya terkait perpajakan layak untuk didukung. Regulasi dimaksud antara lain adanya aturan baru dalam UU HPP yang mengatur Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi UMKM yang menghitung PPh berdasarkan PP 23/2018, serta tetap dipertahankannya insentif pajak sesuai Pasal 31E UU PPh.
Implementasi Insentif Pasal 31E
Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh dilaksanakan dengan cara self assessment pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, sehingga Wajib Pajak Badan Dalam Negeri tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh fasilitas tersebut. Yang patut diingat adalah bentuk usaha tetap yang merupakan subjek pajak luar negeri tidak mendapat fasilitas ini.
Batasan peredaran bruto sampai dengan Rp50 miliar adalah sebagai batasan maksimal peredaran bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan tarif.
Peredaran bruto sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31E ayat (1) UU PPh merupakan semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, meliputi:
- penghasilan yang dikenai PPh bersifat final;
- penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final; dan
- penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak.
Fasilitas pengurangan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E UU PPh ini berlaku untuk penghitungan PPh Terutang atas Penghasilan Kena Pajak yang berasal dari penghasilan yang dikenai PPh tidak bersifat final.
Untuk menghitung besarnya angsuran PPh Pasal 25 tahun berjalan, Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang telah memenuhi persyaratan fasilitas pengurangan tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E UU PPh, wajib menggunakan tarif PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31E UU PPh.
Dengan urung dihapusnya insentif UMKM sesuai Pasal 31E UU PPh, tentu besar harapan kita dunia usaha dapat memanfaatkan momentum dan ekonomi Indonesia akan segera bangkit.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 2070 kali dilihat