KP2KP, Wujud Pajak Mamayu Hayuning Bawana

Oleh: Mohammad Yogi Khoirul Amali, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Menjadi bagian dari instansi kenegaraan Indonesia dengan kepulauannya yang membentang lima ribu kilometer, harus benar-benar mengerti dan menerima keadaan bahwa, sepelosok-pelosoknya suatu wilayah masihlah bagian dari kedaulatan negara, oleh karena itu wajib bagi Pemerintah untuk menunjukkan wajah-wajahnya di wilayah-wilayah itu, bukan hanya sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan adsministrasi publik, namun juga sekaligus sebagai wakil dari pemerintah, yang menegaskankan bahwa daerah itu masih selalu terjaga dan tak pernah luput dari tangan pemerintah.
Instansi-intansi pemerintah yang berdiri di berbagai pelosok penjuru tanah air, seolah mengabarkan kepada penduduknya, “Kalian jangan khawatir, meskipun aktivitas pemerintahan di ibu kota yang begitu riuh dan menyita waktu, namun kalian yang tinggal di daerah pedalaman tidak akan pernah kami lupakan dari pelayanan, perlindungan serta jaminan kesehatan, pendidikan dan keamanan, yang mana memang sudah menjadi alasan dasar mengapa kami berdiri. Kalian yang tinggal di daerah adalah wajah indonesia yang sejati, kalian masih murni, belum tersentuh budaya-budaya lain dari arus globalisasi yang kadang lebih banyak membawa dampak buruk bagi penduduk kita, Itulah yang terjadi sekarang di Ibu Kota dan kota-kota besar lainnya di negeri ini, di sana wajah indonesia sudah mulai memudar, jati diri bangsa semakin tak tahu kemana. Tetapi di sini, kampung-kampung pedalaman, wajah indonesia masih sangat kental, jati diri bangsa masih sangat utuh, kalianlah bangsa indonesia yang sejati dan murni sekarang ini, dan tugas kami sebagai pemerintah adalah menjaga kemurnian itu. Untuk itu kami butuh dukungan dan konstribusi kalian yang masih setia untuk menjadi bangsa indonesia di sini.”
Di Direktorat Jenderal Pajak ada yang namanya KP2KP (Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi perpajakan) yang merupakan Satuan kerja terkecil dari DJP. Ada 209 Unit KP2KP yang tersebar diseluruh penjuru Nusantara, dan kebanyakan berdiri di wilayah-wilayah pedalaman, yang tidak menuntut kebutahan pelayanan publik yang besar, disesuakan dengan jumlah penduduk dan aktivitas perekonomian yang ada. Biasanya Satu Unit KP2KP hanya diisi oleh tidak lebih dari lima pegawai saja, bahkan di KP2KP Labuha yang wilayah kerjanya meliputi seluruh kepulauan Halmahera Selatan, yang terdiri dari belasan pulau dan membentang ratusan kilometer, hanya di isi oleh 4 pegawai saja. Ini tidak lain karena masih kurangnya Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh DJP.
Namun demi mewakili wajah pemerintah Indonesia yang berdaulat, KP2KP sebagai perwakilan rasa percaya dan peduli pemerintah kepada seluruh penduduknya, bahwasannya semua Warga Negara memiliki hak yang sama untuk ikut berkontribusi bagi negaranya, maka KP2KP harus tetap berdiri, tidak peduli meski harus mendatangkan pegawai yang berasal ribuan kilometer dari kampung halamannya, Seperti yang terjadi di KP2KP Labuha dan juga kebanyakan KP2KP di wilayah Timur Indonesia.
Nurbaya Talkim adalah seorang gadis remaja Maluku, yang harus menempuh sehari pelayaran dari kampung halamannya di Pulau Obi untuk sekedar membuat kartu NPWP di KP2KP Labuha yang terletak di Pulau Bacan, dia bilang harus memiliki NPWP jika mau lamarannya untuk menjadi karyawati di sebuah perusahaan pengolahan kelapa sawit diterima. Nurbaya adalah satu dari ratusan bahkan ribuan alasan mengapa kantor-kantor seperti KP2KP Labuha ini harus tetap beridiri.
Bukan lagi dihitung dari seberapa besar jumlah penerimaan pajak yang bisa dikumpulkan dari berdirinya KP2KP ini, tetapi lebih dari itu, kepercayaan masyarakat yang terbangun dengan kuat, di situlah tujuan sejati pengumpulan penerimaan, pendirian kantor-kantor, pelayanan-pelayanan yang diberikan, serta tujuan dari berbagai macam upaya dan aktivitas yang selalu mengisi kesibukan sehari-hari dari seorang abdi negara, di situlah tujuan hakiki pemerintah bereksistensi.
Prihatin, melihat Ibu Kota sebagai pusat pemerintahan dengan segala keriuhan dan kesemprawutannya terus-menerus disorot oleh media, yang otomatis membentuk pola pikir bagi penerima berita bahwa, itulah wajah Indonesia, semprawut dan tidak jelas. Padahal semua orang sebenarnya sudah sadar dan mengetahui bahwa Jakarta tidaklah lebih dari sebagian kecil dari bangsa ini.
Dengan televisi, media cetak, internet yang terus-menerus menayangkan kesemprawutan Ibu Kota, makin hari kita makin lupa dengan Aceh yang penduduknya menjujung tinggi nilai-nilai spritual, kita akan lupa dengan Jogja dan Solo yang budaya dan wajah Indonesianya masih sangat kental, dengan anak-anak polos Maluku yang melompat ke laut dari ujung dermaga dengan hati yang hanya diisi dengan keriangan, semakin hari kita semakin lupa dengan Indonesia. Yang kita kagumi hanya budaya instan, simpel, datar dan memanjakan hawa nafsu yang datang dari belahan bumi yang lain. Semakin hari kita melupakan harmoninya pola-pola kayu ukir, indah penuh keseimbangannya motif batik. Tapi malah memuja-muja meja-meja berdesain datar, gedung-gedung tanpa ukiran.
Kekayaaan budaya kita dikuliti, yang tidak tahu entah dari naluri atau bagaimana, kita lebih menyukai budaya-budaya asing itu, sehingga tanpa sadar melupakan budaya dan jati diri bangsa sendiri. Mamayu Hayuning Bawana, sifat dan ciri khas budaya-budaya nusantara, ungkapan yang melekat dalam diri bangsa kita, tentang kasih sayang kepada siapapun dan apapun, Pada Direktorat jenderal Pajak juga semestinya sudah ada, bahwasanya pajak bukanlah hanya milik dari para kontributor-kontributor terbanyak penerimaan, tapi yang lebih penting Pajak mampu membangun senyuman bagi semua warga negara, yang miskin atau yang kaya, yang tinggal di wilayah-wilayah tak tersentuh, yang berumah di lingkungan kumuh atau di apartemen mewah.
Selain menjadi sebuah instansi terbaik di satu wilayah regional, cita-cita DJP yang tak kalah penting adalah mewujudkan Pajak yang merangkul semua, yang mengantarkan warga negaranya untuk saling bergotong royong, yang kaya membayar pajak untuk membantu yang miskin, yang beromset besar membayar pajak untuk membangun fasilitas-fasilitas penunjang sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan UMKM, membayar pajak agar yang tak mampu bersekolah bisa bersekolah, agar yang tak mampu berobat mendapatkan pelayanan keshatan yang sama. Pajak yang merangkul semua. Pajak yang Rahmatan – lil Alamin, Pajak yang Mamayu Hayuning Bawana.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 42 kali dilihat