IPO dan Insentif Pajak: Pendorong Akumulasi Modal dan Pertumbuhan Ekonomi

Oleh: Nifail Al Ahza, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pernah memakan permen Yupi? Ya benar, permen manis dengan tekstur jelly yang kenyal dan menggugah selera itu sudah bersiap memasuki skala bisnis yang baru. Di bulan Ramadan tahun ini, Yupi siap naik kelas dengan melantai di bursa efek dan membawa slogan "kenyalnya bikin hepi" ke dunia investasi. Dilansir dari e-ipo.co.id, Yupi—kode emiten YUPI— diperkirakan melakukan penawaran umum di tanggal 17 s.d. 19 Maret 2025 dengan 854,44 juta lembar saham dan target dana sebesar 2,13 triliun rupiah. Dengan masuknya Yupi, maka di kuartal pertama tahun ini, sudah ada 10 saham yang melakukan Initial Public Offering (IPO) sehingga jumlah saham listing di bursa efek sampai dengan tulisan ini dimuat adalah 953 saham.
Banyaknya IPO yang dilakukan perusahaan merupakan simbiosis mutualisme bagi investor dan perusahaan. Di satu sisi, investor akan semakin memiliki pilihan dalam diversifikasi portofolio investasi dan di sisi lain perusahaan akan memiliki dana untuk likuiditas operasional. Berdasarkan Bursa Efek Indonesia, rekor tertinggi IPO terjadi pada tahun 2023, di mana sebanyak 79 perusahaan melantai di pasar saham. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah keseriusan pemerintah dalam memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang melakukan IPO dan melantai di bursa.
Insentif dan Aspek Perpajakan
Secara tidak langsung, insentif pajak berperan dalam dinamika pertumbuhan pasar modal. Insentif pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) kemudian dilaksanakan dengan peraturan turunan berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Insentif yang pertama berkaitan dengan pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Insentif ini dijalankan melalui PP Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif PPh Bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berbentuk Perusahaan Terbuka. Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa perusahaan yang menyetorkan sahamnya di bursa efek dengan persentase minimal 40% dan dimiliki oleh minimal 300 pihak maka berhak pengurangan tarif sebesar 3%. Adapun syarat tambahan yang harus dipenuhi juga adalah bahwa masing-masing pihak tersebut mengusai saham maksimal sejumlah 5% dalam kurun waktu minimal selama 183 hari kalender. Bagi perusahaan terbuka yang memenuhi ketentuan di atas, tarif PPh badan yang berlaku adalah 19%—dari tarif normal 22%.
Kedua, tarif PPh Final 0,1% dan angsuran PPh 25 yang lebih reliabel. Tarif PPh Final 0,1% di dasarkan pada penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas penjualan saham yang ada di bursa. Ketentuan ini merupakan keuntungan bagi WPDN, karena keuntungan atas penjualan saham yang non-listing di bursa dikenakan tarif progresif yang sesuai dengan tarif umum Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh jo. UU HPP).
Pada perusahaan listing, penyetoran PPh 25 lebih reliabel. Berbeda dengan perusahaan non-listing yang menggunakan PPh terutang dibagi dengan 12 bulan, angsuran PPh 25 perusahaan listing di dasarkan pada laporan keuangan yang disampaikan setiap triwulanan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adapun laporan itu terdiri atas laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal tahun pajak sampai dengan periode yang dilaporkan. Hal ini sangat menguntungkan pada perusahaan karena artinya PPh 25 disesuaikan dengan dinamisasi cash flow perusahaan.
Di sisi pemilik saham, insentif diberikan pada penerimaan dividen. Ketentuan ini diatur dalam PMK Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja 9UU Ciptaker). Dividen dari perusahaan go public yang diterima orang pribadi, dikecualikan dari objek PPh. Insentif ini bisa diberikan dengan syarat dividen tersebut diinvestasikan kembali selama 3 tahun dalam instrumen investasi yang telah ditentukan oleh pemerintah, misalnya Surat Berharga Negara (SBN).
Akumulasi Modal dan Pertumbuhan Ekonomi
Insentif pajak yang diberikan kepada perusahaan yang melakukan IPO dan melantai di bursa tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada perekonomian makro Indonesia secara keseluruhan. Dalam konteks teori pertumbuhan ekonomi Solow dalam bukunya Growth Theory: An Exposition (1988), kebijakan yang ramah investor seperti pemberian insentif dapat mempercepat perputaran modal dan meningkatkan investasi—dua komponen kunci dalam model pertumbuhan ekonomi Solow.
Pasar modal yang berkembang pesat dan difasilitasi oleh insentif pajak, berperan sebagai buffer utama pertumbuhan ekonomi. Ini tidak hanya meningkatkan likuiditas pasar tetapi juga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, menciptakan lapangan pekerjaan, serta meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi memperkuat stabilitas ekonomi karena dapat menghasilkan pendapatan fiskal yang lebih besar dari pajak dan keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan yang terdaftar. Meningkatnya investasi di pasar saham memungkinkan perekonomian Indonesia untuk lebih terintegrasi dengan ekonomi global, yang sesuai dengan konsep Solow tentang peningkatan produktivitas yang dapat dihasilkan dari integrasi pasar internasional dan teknologi baru.
Potensi Pengembangan Kebijakan Di Masa Depan
Penyempurnaan atas kebijakan adalah keniscayaan. Insentif pajak yang ada saat ini telah memberikan sentimen positif. Namun demikian, dalam pasar modal yang dinamis, penyempurnaan dan penyesuaian akan selalu berpotensi untuk dilaksanakan.
Salah satu langkah yang berkemungkinan diambil adalah perluasan insentif tambahan untuk sektor-sektor yang kurang terwakili di pasar modal—seperti sektor teknologi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Praktik seperti ini sudah dilaksanakan di Amerika Serikat sejak 1993 melalui ketentuan Qualified Small Business (QSBs). Dalam QSBs, intinya investor dapat menghindari pajak keuntungan modal hingga $10 juta atau 10 kali lipat jumlah investasi mereka yang lebih kecil. Ini adalah insentif yang sangat menarik untuk mendorong investasi di perusahaan kecil yang melantai di bursa.
Selain itu, kebijakan insentif bersifat regulerend juga bisa menjadi pertimbangan. Di Amerika Serikat, telah diterapkan banyak insentif pajak untuk perusahaan yang melakukan IPO dengan komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. Salah satu diantaranya adalah program NASDAQ Green Economy Index. Program ini mengidentifikasi dan mendukung perusahaan yang berfokus pada energi terbarukan, teknologi hijau, dan inovasi ramah lingkungan. Indonesia bisa mengadopsi kebijakan serupa dengan memberikan insentif pajak atau pembebasan biaya listing bagi perusahaan yang berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan atau teknologi hijau. Kebijakan ini dapat mempercepat proses IPO dan mendorong lebih banyak perusahaan yang berfokus pada keberlanjutan untuk melantai di Bursa Efek Indonesia, sehingga meningkatkan jumlah perusahaan yang berkomitmen pada ekonomi hijau dan memperkuat daya saing pasar modal Indonesia.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 234 kali dilihat