Insentif Pajak untuk Energi Hijau
Oleh: Aditya Puspaka Hernawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam beberapa kesempatan di forum internasional, pemerintah Indonesia turut serta berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil untuk menanggulangi perubahan iklim.
Berbagai kebijakan telah ditempuh pemerintah untuk melaksanakan komitmen tersebut, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 paling sedikit 23% dan 31% pada tahun 2050.
Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan bentang alam yang sangat luas, Indonesia mempunyai potensi EBT yang sangat besar sebagai sumber energi yang bersih, atau biasa juga disebut energi hijau.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, total potensi energi terbarukan yang bersumber dari tenaga air, panas bumi, bioenergi, surya, angin dan energi laut sebesar 442 GW bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Namun, pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik tahun 2018 baru sebesar 8,8 GW atau 14% dari total kapasitas pembangkit listrik (fosil dan nonfosil) yaitu sebesar 64,5 GW.
Minimnya pemanfaatan EBT untuk ketenagalistrikan disebabkan masih relatif tingginya harga produksi pembangkit berbasis EBT, sehingga sulit bersaing dengan pembangkit fosil terutama batu bara. Selain itu, kurangnya dukungan industri dalam negeri terkait komponen pembangkit energi terbarukan serta masih sulitnya mendapatkan pendanaan berbunga rendah juga menjadi penyebab terhambatnya pengembangan energi baru dan terbarukan.
Demi mewujudkan target-target tersebut, dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah telah berupaya menyediakan menyediakan energi listrik yang lebih bersih, mulai dari menyediakan pembangkit listrik yang bersumber dari EBT, mengenalkan teknologi Clean Coal Technology (CCT), hingga mengenalkan pembangkit Variable Renewable Energy (VRE) yang memiliki karakteristik intermittent, dengan beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Kebijakan Insentif Perpajakan
Pajak selain berfungsi untuk menghimpun penerimaan negara juga merupakan bagian penting dalam kebijakan fiskal. Dengan kebijakan yang tepat, pajak bisa menjadi instrumen fiskal yang efektif dalam mengarahkan perekonomian atau dalam hal ini bisa berfungsi sebagai instrumen untuk mendukung program-program pemerintah untuk mewujudkan pembangunan ekosistem energi yang lebih bersih.
Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022 yang telah diundangkan pada 13 September 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menjanjikan pemberian insentif perpajakan kepada badan usaha yang melaksanakan pengembangan pembangkit listrik. Dengan persyaratan, pembangkit listrik yang dikembangkan tersebut harus memanfaatkan energi baru dan terbarukan.
Insentif perpajakan atau insentif fiskal yang diberikan pemerintah untuk mendukung pengembangan pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan antara lain fasilitas pajak penghasilan, fasilitas impor berupa pembebasan bea masuk impor dan/atau pajak dalam rangka impor serta fasilitas pajak bumi dan bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Lebih lanjut lagi, Presiden Joko Widodo memberikan instruksi kepada Menteri Keuangan untuk memberikan dukungan pemberian insentif fiskal sesuai dengan Peraturan Presiden tersebut.
Instruksi Presiden
Untuk mendukung pelaksanaan Peraturan Presiden tersebut menteri/kepala lembaga dan pemerintah daerah terkait telah diinstruksikan untuk segera menetapkan ketentuan mengenai pemberian insentif sesuai dengan kewenangannya dimaksud paling lama satu tahun setelah Peraturan Presiden mulai berlaku.
Sejalan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat paripurna di DPR RI mengungkapkan salah satu fokus kebijakan fiskal di tahun 2023. Strategi yang ditempuh untuk memfokuskan anggaran ialah mendorong pembangunan ekonomi hijau. Di sisi pendapatan negara, Menteri Keuangan menjelaskan kebijakan pendapatan negara diarahkan untuk mendorong optimalisasi pendapatan dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha serta kelestarian lingkungan terutama di bidang penyediaan energi hijau.
Dengan adanya dukungan pemerintah melalui insentif perpajakan penyediaan EBT yang pada awalnya terkendala tingginya harga produksi pembangkit diharapkan bisa dilakukan dengan harga yang lebih kompetitif sehingga masyarakat umum tidak terbebani dengan tarif listrik.
Adanya insentif perpajakan yang akan mendorong pengembangan pembangkit listrik EBT diharapkan juga akan memberikan multipplier effect ke sektor-sektor lainnya seperti ketersediaan pasokan listrik yang lebih besar untuk daerah-daerah yang masih mengalami kekurangan pasokan listrik, mendorong pertumbuhan di sektor industri hingga penciptaan kesempatan kerja.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 519 kali dilihat