Insentif Pajak Rumah Sangat Sederhana sampai Mewah
Oleh: Anang Purnadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Rumah menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia. Pertumbuhan jumlah manusia harus diikuti dengan pertumbuhan ketersediaan rumah secara seimbang. Hal ini berbanding terbalik dengan tanah yang jumlahnya tetap dan ketersediaannya semakin berkurang. Secara ilmu ekonomi kondisi ini membuat harga properti meningkat secara signifikan tiap tahun.
Sesuai data dari Housing Finance Center (HFC) bagian unit riset PT Bank Tabungan Negara (Persero), kenaikan harga rumah triwulan I-2019 sebesar 7,34% dibandingkan triwulan I-2018 sebesar 6,44%. Sejak tahun 2015 sampai dengan 2018, sesuai dengan BTN House Price Index (BTN HPI) pertumbuhannya melambat.
Kenaikan harga rumah dari 2015 sampai dengan 2018 yang tidak kurang dari 6%, bahkan mencapai 14,3%. Sangat tinggi jika dibanding dengan inflasi yang rata-rata sebesar 5% pertahun, kondisi ini menjadi problem tersendiri. Harga rumah akan semakin mahal dibanding dengan kenaikan penghasilan. Tabungan generasi millenial hanya cukup untuk menyewa rumah. Suku bunga tabungan tak akan mampu bersaing dengan kenaikan harga rumah.
Pemerintah harus turun tangan untuk memecahkan problem hunian ini. Kempemilikan Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) salah satu urgensi yang harus didahulukan. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.010/2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PMK yang berlaku 15 sejak tanggal diundangkan, atau per 6 Juni 2019.
Batasan RSS dan RS Bebas PPN
Selain dibatasi oleh harga, kriteria RSS dan RS yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah :
- Luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi)
- Luas tanah tidak kurang dari 60 m2 (enam puluh meter persegi)
- Merupakan rumah pertama yang dimiliki oleh orang pribadi yang termasuk dalam kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
- Digunakan sendiri sebagai tempat tinggal
- Tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 4 tahun sejak dimiliki
- Perolehan secara tunai atau kredit (bersubsidi maupun tidak bersubsidi), atau pembiayaan berdasar prinsip syariah.
- Harga jual tidak melebihi batasan sesuai dengan harga dalam Lampiran PMK Nomor 81/PMK.010/2019
Adapun batasan harga sesuai PMK terbaru ini berdasar kombinasi zona dan tahun, dengan pembagian sebagai berikut :
- Jawa (kecuali Jabodetabek) dan Sumatera (kecuali Kep. Riau, Bangka Belitung, Kep. Mentawai) sebesar Rp140.000.000 (2019), Rp150.500.000 (2020)
- Kalimantan (Kecuali Kab. Murung Raya dan Kab. Mahakam Ulu) sebesar Rp153.000.000 (2019), Rp164.500.000 (2020)
- Sulawesi, Bangka Belitung, Kep. Mentawai dan Kep. Riau (kecuali Kep. Anambas) sebesar Rp146.000.000 (2019), R.156.500.000 (2020)
- Maluku, Maluku Utara, Bali dan Nusa Tenggara, Jabodetabek, dan Kep. Anambas, Kab. Murung Jaya, Kab. Mahakam Ulu sebesar Rp158.000.000 (2019), Rp168.000.000 (2020)
- Papua dan Papua Barat sebesar Rp212.000.000 (2019), Rp219.000.000 (2020)
Perubahan signifikan dalam beleid terbaru ini tentang jangka waktu tidak diperbolehkan untuk dipindahtangankan. Jika dalam aturan sebelumnya tidak diperbolehkan dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki, saat ini menjadi 4 tahun.
Hal ini tentu memberi keleluasan bagi pemilik untuk bisa melepas kepemilikan dalam situasi tertentu. Misalkan mengalami perpindahan lokasi bekerja, atau untuk membeli rumah baru yang lebih besar.
Insentif Untuk Hunian Mewah
Insentif untuk properti level mewah tidak ketinggalan mendapatkan insentif, hal ini dimaksudkan agar hunian mewah dapat terjangkau untuk kalangan menengah, meningkatkan kinerja sektor properti serta menarik masyarakat berinvestasi disektor properti.
Batasan pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) sektor hunian mewah mengalami kenaikan secara signifikan. Dalam ketentuan sebelumnya, rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga Rp 20 miliar keatas serta apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya dengan harga Rp10 miliar atau lebih akan dikenakan PPnBM sebesar 20%.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.010/2019 yang berlaku mulai 11 Juni 2019 merubah batasan dari semua jenis kelompok hunian mewah, menjadi Rp30 miliar atau lebih. Hal ini tentu akan meningkatkan daya beli golongan menengah. Dengan dinaikkan batasan ini, bagi calon pembeli bisa dianggap diskon sebesar 20% dari harga sebelum 11 Juni 2019.
Pemerintah juga memberikan intensif berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 atas hunian mewah, dari 5 persen menjadi 1 persen. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.010/2019 yang berlaku mulai tanggal 19 Juni 2019. Bagi pengembang, hal ini merupakan kabar gembira selaku pemungut Pajak Penghasilan.
Beleid ini menetapkan, rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihan lebih dari Rp30 miliar atau luas bangunan lebih dari 400 meter persegi (m²), serta apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihan di atas Rp30 miliar dengan luas lebih dari 150 m² dikenai PPh sebesar 1% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Tarif PPh pasal 22 yang diturunkan akan menarik calon pembeli untuk menginvestasikan uangnya dalam sektor hunian mewah. Mereka secara tidak langsung menghemat sebesar 4% dari harga jual untuk dipergunakan kegiatan bisnis yang lain. Dari sisi pengembang, penurunan PPh yang harus dipungut ini bisa memangkas harga jual properti mewah yang ia pasarkan.
Sektor properti dipandang sebagai salah satu sektor yang erat dengan perekonomian secara luas. Properti memiliki dampak berganda bagis sektor penopang pertumbuhan ekonomi, antara lain konstruksi, perdagangan, dan jasa keuangan.
Dilihat dari sisi kredit, data Bank Indonesia menunjukkan bahwa kredit konsumsi per April 2019 tumbuh sebesar 9 persen pertahun. Sedangkan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) tumbuh sebesar 13,8 persen pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan properti tinggi jika dibanding kebutuhan barang lain.
Kebijakan-kebijakan pajak dalam sektor properti diharapkan mampu mendorong pertumbuhan bisnis properti secara umum, dan dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal untuk masyarakat baik dikalangan MBR maupun kalangan kelas menengah ke atas. (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 3272 kali dilihat