Oleh: Valentina Sakia Sapta Dewi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Bea meterai merupakan salah satu jenis pajak yang secara khusus dikenakan pada dokumen-dokumen tertentu. Seperti yang telah kita ketahui, ada dua jenis tarif meterai yang berlaku hingga saat ini, yakni Rp3.000 dan Rp6.000. Namun demikian, pemerintah mengumumkan akan ada penyesuaian tarif baru bea meterai pada awal tahun 2021. Hal tersebut sejalan dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 29 September 2020. Dalam aturan yang baru, terdapat 12 bab dan 32 pasal dari yang semula sebanyak 10 bab dan 26 pasal. Perubahan UU tentang Bea Meterai diperlukan lantaran saat ini aturan mengenai pajak atas dokumen masih berlandaskan pada UU Nomor 13 Tahun 1985. Dengan demikian, usia aturan tersebut sudah mencapai 35 tahun dan dipandang perlu untuk diperbarui sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dan terjadi di masyarakat, baik dari aspek ekonomi, hukum, sosial, dan teknologi informasi. Lalu, apa saja keistimewaan dari pemberlakuan tarif baru bea meterai ini? Penulis coba bahas lebih rinci.

Tarif Baru Bea Meterai

Tarif bea meterai yang saat ini Rp3.000 dan Rp6.000 akan ditingkatkan menjadi Rp10.000. Pengimplementasian tarif tunggal tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2021. Meskipun tarif meningkat, dokumen bernilai uang yang wajib dilekati meterai adalah dokumen dengan nilai uang sebesar lima juta rupiah atau lebih tinggi. Istimewanya, di dalam UU Bea Meterai yang baru akan mengakomodasi tidak hanya dokumen fisik melainkan juga dalam bentuk dokumen digital.

Dengan adanya kewajiban pelekatan meterai ini, penaksiran penerimaan akan meningkat lima kali lipat dibandingkan dengan ketentuan bea meterai sebelumnya. Pelekatan bea meterai sebesar Rp6.000 atas dokumen bernilai uang sebesar satu juta rupiah dan pelekatan bea meterai sebesar Rp3.000 atas dokumen bernilai uang sebesar Rp250.000 hingga satu juta rupiah tidak akan berlaku lagi akibat ketentuan baru pada UU Bea Meterai.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 5 UU Bea Meterai, seluruh dokumen yang dikenakan bea meterai berlaku tarif tetap senilai Rp10.000. Namun, besarnya tarif bea meterai tersebut dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat. Hal tersebut senada dengan bunyi pasal 6 ayat (2) UU Bea Meterai. Selain itu, besar batas nilai nominal dokumen yang dikenai bea meterai juga dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Bea Meterai. Adapun kondisi yang dimaksud yakni ditentukan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat.

Dalam rangka melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan, terhadap beberapa dokumen dapat dikenai tarif tetap yang berbeda. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pada pasal 6 ayat (3) UU Bea Meterai. Sebagai contoh, untuk inklusi atau pendalaman pasar keuangan, pemerintah dapat menetapkan tarif tetap yang berbeda dari tarif yang berlaku atas dokumen surat berharga yang disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan.

Penetapan Tarif Baru Meringankan Beban Masyarakat

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan penetapan tarif bea meterai baru senilai Rp10.000,- telah mempertimbangkan produk domestik bruto (PDB) dan inflasi serta faktor sosial dan ekonomi masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan di atas, meski tarif bea meterai naik dari sebelumnya yang hanya sebesar Rp3.000,- dan Rp6.000,-, namun batas nilai dokumen yang wajib dipungut bea meterai juga ditingkatkan. Hal tersebut bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, terutama para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Pemerintah tidak hanya berfokus pada peningkatan tarif melainkan mempertimbangkan aspek mengenai banyaknya masyarakat yang terdampak oleh bea meterai ini. Dengan demikian, perihal batasan nilai dokumen yang wajib dilekati meterai juga ditentukan.

Berdasarkan pada ketentuan baru UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, dokumen yang wajib dilekati meterai adalah dokumen yang memuat nilai uang di atas lima juta. Batasan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya. Mengutip penjelasan Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dalam acara Media Briefing bersama Dirjen Pajak secara virtual (Rabu, 30/9) bahwa, UU Bea Meterai baru berlaku 1 Januari 2021. Jadi, tahun 2020 masih menggunakan UU Bea Meterai yang lama. Transisi memang diperlukan untuk menghabiskan stok meterai yang belum terpakai sehingga satu tahun penuh digunakan sebagai masa transisi dari tarif lama ke tarif baru pada tahun depan. 

Sebelumnya, dokumen dengan nilai kurang dari atau sama dengan Rp250.000,- dikenai bea meterai, namun dengan kenaikan tarif ini, batas nilai dokumen yang dikenai bea meterai pun dinaikkan, yakni menjadi lima juta rupiah. Misalnya, transaksi di bawah lima juta yang dilakukan oleh UMKM, maka dokumen dalam transaksi tersebut tidak akan dikenai bea meterai baik kertas maupun digital. Sebagai tambahan informasi, selain dokumen dengan nilai di bawah lima juta rupiah, dokumen yang bersifat untuk penanganan bencana alam dan untuk kegiatan yang bersifat non-komersial juga tidak dikenai bea meterai.

Di samping kebijakan baru terkait bea meterai ini meringankan para pelaku UMKM, kenaikan batasan pengenaan bea meterai ini akan semakin meringankan masyarakat dalam pembayaran langganan listrik PLN hingga pembayaran tagihan kartu kredit. Mengutip penjelasan Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Bonarsius Sipayung dalam webinar bertajuk Bea Meterai di Era Digital, Apa dan Bagaimana? (Senin, 30/11), terpantau hanya 10% bukti pembayaran PLN yang memiliki nilai di atas lima juta. Sedangkan, 90% bukti pembayaran PLN tidak lagi dikenai bea meterai. Hal senada terjadi pada tagihan kartu kredit. Secara rata-rata, hanya 11% tagihan kartu kredit yang nominalnya di atas lima juta. Dengan demikian, sekitar 89% tagihan kartu kredit tidak akan terutang bea meterai.

Bea Meterai Tingkatkan Penerimaan Pajak

DJP memperkirakan potensi penerimaan pajak dari bea meterai pada 2021 meningkat hingga mencapai 15 triliun rupiah, yakni lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 5 triliun hingga 6 triliun rupiah. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP, Bonarsius Sipayung, yang mengatakan peningkatan potensi penerimaan tersebut disokong oleh ditetapkannya objek bea meterai yakni dokumen digital pada UU Bea Meterai.

Produksi dan Distribusi Meterai Tempel Baru

DJP menyatakan bahwa Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) dan PT Pos Indonesia siap menyelesaikan proses produksi dan distribusi meterai tempel Rp10.000,- sebelum 1 Januari 2021. Perum Peruri telah berkomitmen untuk menyelesaikan pencetakan meterai baru paling lambat pada pekan kedua Desember 2020. Sedangkan, PT Pos Indonesia membutuhkan sepuluh hari untuk mendistribusikan meterai tempel ke wilayah terjauh di Indonesia.

Keistimewaan Meterai Elektronik

Selain terkait dengan produksi meterai tempel, Perum Peruri juga berupaya untuk meterai elektronik sudah siap sebelum 1 Januari 2021. Perum Peruri akan bekerja sama secara business-to-business (B2B) dengan beberapa instansi penerbit dokumen elektronik, baik marketplace maupun peer-to-peer lending. Perum Peruri nantinya akan terhubung secara sistem dengan marketplace. Misalnya, ketika marketplace melakukan transaksi dengan klien dan ada dokumen terutang, maka secara sistem dokumen tersebut akan langsung dilekati meterai. Salah satu keistimewaan meterai elektronik ini adalah meterai akan diterbitkan dengan nomor seri khusus dan dapat dipindai (scan) untuk memastikan keaslian meterai elektronik yang dilekatkan. Hal tersebut dilakukan guna mencegah pemalsuan meterai elektronik.

Ketentuan Peralihan Tarif Lama

Ketentuan peralihan telah disiapkan pada UU No. 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai guna mendukung kemudahan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran bea meterai sesuai dengan tarif yang baru. Pada UU tersebut dijelaskan bahwa meterai tempel sebesar Rp6.000,- dan Rp3.000,- masih dapat digunakan untuk melunasi bea meterai terutang hingga akhir 2021.

Selain itu, dokumen terutang bea meterai dapat dilekati dua meterai Rp6.000,-, tiga meterai Rp3.000,-, ataupun meterai Rp6.000,- dan Rp3.000,-. Meski nilai total dari meterai tempel yang melekat tersebut senilai Rp9.000,- hingga Rp12.000,-, bea meterai terutang dianggap lunas sesuai dengan ketentuan peralihan.

Melalui ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan tarif tunggal bea meterai ini bertujuan untuk memberikan kesetaraan antara dokumen kertas dan elektronik. Di samping itu, tarif tunggal akan menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat dan UMKM dengan tarif yang relatif terjangkau. Di satu sisi memang ada kenaikan tarif, namun di sisi lain ada dokumen-dokumen tertentu yang bernilai uang tidak sampai dengan lima juta rupiah tidak akan dikenai bea meterai. Selain itu, bertujuan untuk penyederhanaan dan efektivitas melalui tarif tunggal dan meterai elektronik.

Lalu, sudah siapkah menyambut Bea Meterai "Sapu Jagat"?

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.