Oleh: (Arfinsha Finka Perdana), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah menggunakan Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) 0,5% sejak tahun 2018, tahun 2024 adalah tahun terakhir menggunakan tarif tersebut.

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu. Tarif Pajak Penghasilan ditetapkan 0,5% dari penghasilan bruto yang diterima dalam satu bulan.

Termasuk dalam pengertian wajib pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam satu tahun pajak.

Lebih jauh, jangka waktu tertentu untuk dapat menggunakan Tarif PPh Final 0,5% diatur sebagai berikut: a) 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi; b) 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, firma, badan usaha milik desa, badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang; c) 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak Badan berbentuk perseroan terbatas.

Penghitungan jangka waktu tertentu sebagaimana di atas, berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. bagi Wajib Pajak yang terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah sebagaimana di atas berlaku ketentuan jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Wajib Pajak bersangkutan terdaftar,
  2. bagi Wajib Pajak badan usaha milik desa/ badan usaha milik desa bersama atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang yang terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Peraturan Pemerintah tersebut berlaku.

Dengan demikian, jangka waktu penggunaan tarif PPh Final 0,5% bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar sebelum tahun 2018 akan berakhir pada tahun 2024.

 

Memilih Menggunakan NPPN

Bagi Wajib Pajak UMKM yang tidak lagi menggunakan tarif PPh Final 0,5%, mulai tahun 2025 penghasilan dari usaha yang diterimanya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak Orang Badan.

Wajib Pajak Orang Pribadi dapat memilih menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Untuk dapat menggunakan NPPN, wajib pajak harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah); dan
  2. wajib menyenggarakan pencatatan; dan
  3. penghasilan yang diterima atau diperoleh tidak dikenai PPh Final; serta
  4. wajib memberitahukan mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal Tahun Pajak yang bersangkutan.

Wajib pajak dapat mengajukan pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan baik melalui saluran elektronik yang terdiri dari saluran daring www.pajak.go.id, kring pajak 1500200 atau saluran tertentu lainya, atau secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar, serta melalui pos/ekspedisi dengan bukti pengiriman surat.

Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

Selanjutnya, penghasilan neto dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam 1 (satu) Tahun Pajak. Dalam menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak orang pribadi, sebelum dilakukan penerapan tarif umum Pajak Penghasilan, terlebih dahulu dihitung Penghasilan Kena Pajak dengan mengurangkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dari penghasilan neto.

Sebagai contoh, Tuan A adalah seorang aktor di Jakarta dengan status menikah dan mempunyai tiga orang anak pada tahun 2025 menerima penghasilan bruto sebesar satu miliar rupiah. Persentase penghasilan neto untuk profesi aktor di Kota Jakarta sesuai dengan norma KLU 90002 untuk sepuluh ibu kota provinsi yaitu 50%.
Penghasilan neto sebagai aktor : Rp1.000.000.000,00 x 50% = Rp500.000.000,00
Jumlah penghasilan neto : Rp500.000.000,00
Dikurangi:
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) : Rp72.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak : Rp428.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang :
5% x Rp60.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
15% x Rp 190.000.000,00 = Rp 28.500.000,00
25% x Rp 178.000.000,00 = Rp 44.500.000,00
jumlah pajak penghasilan terutang adalah Rp 76.000.000,00

 

Melakukan Pembukuan

Dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi tidak menyampaikan pemberitahuan penggunaan NPPN maka Wajib Pajak Orang Pribadi dianggap memilih menyenggarakan pembukuan.

Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi menyelenggarkan pembukuan, maka Pajak Penghasilan dihitung dengan cara mengurangkan laba bersih dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak dan mengalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Sebagai contoh, Tuan A adalah seorang aktor di Jakarta dengan status menikah dan mempunyai tiga orang anak pada tahun 2025 menerima penghasilan bruto sebesar satu miliar rupiah. Biaya yang dapat menjadi pengurang pengasilan bruto dalam satu tahun adalah empat ratus juta rupiah.
Penghasilan neto sebagai aktor : Rp1.000.000.000,00 - Rp 400.000.000 = Rp600.000.000,00
Jumlah penghasilan neto : Rp600.000.000,00
Dikurangi:
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/3) : Rp72.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak : Rp528.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang :
5% x Rp60.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
15% x Rp 190.000.000,00 = Rp 28.500.000,00
25% x Rp 250.000.000,00 = Rp 62.500.000,00
30% x Rp 28.000.000,00 = Rp 8.400.000,00
jumlah pajak penghasilan terutang adalah Rp 84.000.000,00.

Jadi, wajib pajak tidak perlu khawatir dengan berakhirnya penggunaan Tarif PPh Final 0,5%. Wajib pajak tetap dapat berkontribusi membangun negeri dengan melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara taat.

 

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.