Oleh: Zidni Amaliah Mardlo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Belakangan ini ramai pemberitaan mengenai gaji Rp5 juta yang dikenakan pajak 5 persen. Warganet ramai membahas soal ini. Kebanyakan berkomentar mengenai gaji Rp5 juta yang dikenai tarif pajak 5 persen. Warganet mengira pajak yang harus mereka bayar yaitu Rp5 juta dikali 5 persen yaitu Rp250 ribu per bulan. Warganet yang termakan isu, mengeluhkan hal tersebut. Padahal sebenarnya begini perhitungan pajak penghasilan untuk gaji Rp5 juta sesuai dengan peraturan yang baru. 

Pajak penghasilan di Indonesia diatur dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pada 29 Oktober 2021, ketentuan tersebut mengalami sedikit perubahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Melalui UU HPP, pemerintah membarui beberapa ketentuan terkait perpajakan. UU HPP yang berlaku sejak 1 Januari 2022 memuat beberapa perubahan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Dalam Bab Undang-Undang Pajak Penghasilan, pemerintah mengubah lapisan penghasilan kena pajak (PKP) per tahun, dari sebelumnya empat lapisan, kini menjadi lima lapisan.

Perubahan peraturan dari UU PPh ke UU HPP ini tidak menambah beban pajak penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi. Justru, penambahan lapisan tarif pajak penghasilan ini memberikan keringanan bagi wajib pajak. Dengan adanya tarif baru, masyarakat di kelompok menengah bawah beban pajaknya menjadi lebih rendah.

Perlu diberi perhatian, “menjadi lebih rendah”. Kok bisa? Begini perhitungannya. Yuk disimak!

Simulasi perhitungan pemotongan pajak 5% terhadap masyarakat dengan gaji Rp5 juta per bulan sesuai dengan UU HPP:

Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Penghasilan Neto - PTKP

Pajak Penghasilan per tahun = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x tarif pajak

Adapun besaran PTKP berdasarkan UU HPP tidak berubah, tetap Rp54 juta per tahun. 

Contoh kasusnya sebagai berikut, Pak Doni, status lajang (TK/0) bekerja sebagai karyawan Perusahaan X dengan gaji Rp5 juta per bulan. Kita anggap gaji Rp5 juta per bulan ini adalah penghasilan neto. Sehingga perhitungan pajak penghasilannya menjadi:

Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Penghasilan Neto - PTKP

Rp60 juta - Rp54 juta = Rp6 juta

Rp 6 juta adalah penghasilan kena pajak (PKP) setahun.

 

PPh per tahun = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x tarif pajak

PPh per tahun = Rp6 juta x 5% = Rp300.000,00.

Sehingga, besaran pajak penghasilan yang harus dibayar dengan gaji Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun adalah Rp300.000,00 per tahun, sama dengan Rp25.000,00 per bulan.

Tiap bulan wajib pajak hanya perlu menyisihkan Rp25.000,00 per bulan untuk membayar PPh. Setara dengan harga satu cangkir kopi kekinian.

Lalu bagaimana perhitungan pajak penghasilan untuk gaji Rp5 juta sebelum berlakunya UU HPP?

Perhitungan pajak penghasilan untuk masyarakat dengan gaji Rp5 juta per bulan sebelum berlakunya UU HPP:

Penghasilan Kena Pajak (PKP) = Penghasilan Neto - PTKP

Rp60 juta - Rp54 juta = Rp6 juta

PPh per tahun = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x tarif pajak

PPh per tahun = Rp6 juta x 5% = Rp 300.000,00

Sebelum dan setelah berlakunya UU HPP, orang pribadi dengan gaji Rp5 juta per bulan tetap membayar pajak penghasilan sebesar Rp300.000 per tahun atau Rp25.000 per bulan. Tidak ada penambahan beban pajak yang harus dibayar bagi orang pribadi dengan gaji Rp5 juta per bulan sebelum maupun setelah berlakunya UU HPP. Besaran pajak yang dibayarkan tetap sama.

Tarif pajak dalam UU PPh dan UU HPP

Sebelum UU HPP berlaku, lapisan tarif pajak penghasilan seperti ini:

  1. Penghasilan kena pajak sampai dengan Rp50 juta per tahun dikenakan tarif PPh 5 persen; 
  2. Penghasilan kena pajak lebih dari Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta per tahun dikenakan tarif pajak 15 persen; 
  3. Penghasilan lebih dari Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta per tahun dikenakan tarif PPh 25 persen;
  4. Penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta dikenakan tarif PPh sebesar 30 persen. 

Sejak berlakunya UU HPP, lapisan penghasilan kena pajak berubah dari empat menjadi lima lapisan penghasilan kena pajak (PKP). Lapisan PKP sesuai dengan UU HPP: 

  1. Penghasilan kena pajak sampai dengan Rp60 juta per tahun dikenakan tarif PPh 5 persen; 
  2. Penghasilan kena pajak lebih dari Rp60 juta sampai dengan Rp250 juta per tahun dikenakan tarif pajak 15 persen; 
  3. Penghasilan lebih dari Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta per tahun dikenakan tarif PPh 25 persen;
  4. Penghasilan kena pajak di atas Rp500 juta sampai dengan Rp5 miliar per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 30 persen; 
  5. Penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 35 persen.

Penambahan lapisan tarif pajak penghasilan adalah cara pemerintah untuk berpihak kepada masyarakat. Lapisan tarif PPh Orang Pribadi ditambah dari empat menjadi lima lapis. Batas Penghasilan Kena Pajak pun dinaikkan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta.

Ketentuan mengenai lapisan tarif pajak penghasilan dalam UU HPP dianggap lebih adil dari sebelumnya dan lebih relevan dengan pendapatan masyarakat saat ini. Tarif pajak yang berlaku saat ini bukan lebih memberatkan, tetapi justru memberikan kelonggaran bagi wajib pajak orang pribadi.

Wajib pajak dengan penghasilan kecil dilindungi dan yang berpenghasilan tinggi dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan prinsip ability to pay alias gotong royong, masyarakat yang mampu, membayar pajak lebih besar.

Zaman sekarang, perlu memahami isi berita dan mencari fakta yang sebenarnya, bukan hanya melihat judul konten dan membuat opini disertai dengan perasaan pribadi. Bukan hanya melihat judul-judul berita click bait, namun isinya belum tentu sesuai dengan apa yang diberitakan. Memahami isi berita juga penting. 

Agar tidak termakan isu atau berita provokatif, warganet sebagai wajib pajak sebaiknya cek dahulu kebenarannya pada media sosial resmi Direktorat Jenderal Pajak. Wajib pajak juga dapat menghubungi KPP terdaftar atau Kring Pajak 1500200 untuk mendapatkan informasi perpajakan yang lebih jelas.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.