Dinamika Pemotongan PPh 21 Instansi Pemerintah

Oleh: Yessika C Sihombing, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Untuk menjalankan peran sebagai fungsional penyuluh pajak, perlu kiranya memberikan edukasi secara serentak kepada instansi pemerintah khususnya dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Terlebih setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengubah Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010. Perubahan ini mengubah peta pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas beban APBN atau APBD.
Pajak atas Penghasilan yang Diterima ASN
Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum, ASN diangkat untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. ASN terdiri dari dua kategori, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, Polri, Pensiunan dan Pejabat Negara dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Penghasilan yang diterima oleh para pegawai tersebut menjadi beban APBN dan APBD. Tentunya PPh Pasal 21 yang terutang—atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima ASN selain PPPK dan menjadi beban APBN atau APBD—ditanggung oleh Pemerintah. Penghasilan tetap dan teratur itu berupa gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur, yaitu:
- penghasilan bruto satu Masa Pajak (yaitu seluruh penghasilan tetap dan teratur yang diterima atau diperoleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya); atau
- penghasilan kena pajak (ditentukan berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak).
Penghitungan PPh Pasal 21 yang wajib dipotong bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya pada:
- setiap Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir dihitung menggunakan tarif efektif bulanan (perhitungan Tarif TER) dikalikan dengan dasar pengenaan dan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a;
- Masa Pajak Terakhir yaitu sebesar selisih antara PPh Pasal 21 yang terutang selama 1 (satu) Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada Masa Pajak selain Masa Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Dalam hal kewajiban pajak subjektif Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, atau Pensiunan baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan Desember, penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang dilakukan berdasarkan penghasilan neto yang disetahunkan dan pajaknya dihitung secara proporsional terhadap jumlah bulan dalam bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
Kalau Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri, atau pensiunan mendapat gaji dari dua tempat kerja, dan PPh 21-nya ditanggung pemerintah, maka tempat kerja kedua (yang bukan membayar gaji pokok) harus menghitung pajak dengan menjumlahkan semua penghasilan tetap dan teratur dari kedua tempat kerja tersebut.
Tentunya ini hanya bisa dilakukan kalau tempat kerja utama (yang membayar gaji pokok) sudah membuat bukti potong PPh 21; pegawai yang bersangkutan menyerahkan bukti potong itu ke tempat kerja kedua; dan pegawai juga membuat surat pernyataan berisi daftar semua pemberi kerja dan bahwa pemberi kerja kedua bersedia menghitung pajak berdasarkan penghasilan gabungan.
Perlakuan Honor dan Imbalan
Honorarium atau imbalan lain selain yang pajaknya ditanggung pemerintah akan dipotong PPh Pasal 21 bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas. Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD adalah:
- Sebesar 0% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan I dan Golongan II, Anggota TNI dan Anggota Polri Golongan Pangkat Tamtama dan Bintara, dan Pensiunannya;
- Sebesar 5% dari penghasilan bruto bagi PNS Golongan III, Anggota TNI dan Anggota Polri Golongan Pangkat Perwira Pertama, dan Pensiunannya.
- Sebesar 15% dari penghasilan bruto bagi Pejabat Negara, PNS Golongan IV, Anggota TNI dan Anggota Polri Golongan Pangkat Perwira Menengah dan Perwira Tinggi, dan Pensiunannya.
Perlu dipedomani, honorarium dan imbalan di sini adalah yang bersifat tidak tetap dan tidak teratur, sehingga atas penghasilan tersebut dihitung menggunakan tarif bersifat final untuk memenuhi rasa keadilan. Beberapa kejadian adalah pada saat PNS, TNI, Polri, dan Pejabat Negara menerima Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dikenakan PPh Final sementara TPP tersebut bersifat tetap dan teratur.
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
ASN yang merupakan PPPK tidak berhak mendapatkan fasilitas PPh ditanggung pemerintah (DTP) layaknya PNS, TNI, Polri dan Pejabat Negara. Hal ini diatur dalam PMK 202/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pembayaran Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang Dibebankan pada APBN. Artinya gaji dan tunjangan PPPK dipotong PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh sebab itu instansi pemerintah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Apabila PPPK dikategorikan sebagai pegawai tetap, instansi pemerintah harus membuat bukti potong formulir 1721-A3 atas PPh yang dipotong pada setiap masa selain masa pajak terakhir.
- 1721-A3 ini tidak digunakan sebagai kredit pajak atas PPh Terutang pada SPT Tahunan penerima penghasilan karena merupakan satu kesatuan dengan formulir 1721-A1. Dalam hal ini instansi pemerintah harus membuat bukti potong 1721-A1.
- Pembuatan bukti potong harus sesuai dalam PER-5/PJ/2024 sebagaimana telah diubah melalui PER-11/PJ/2025.
Perlakuan ini juga berlaku bagi anggota DPRD karena anggota DPRD bukanlah pejabat negara, meskipun DPRD merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. UU ASN hanya menyebut Sekretaris DPRD sebagai pejabat negara, dengan kedudukan Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama. Anggota DPRD, meskipun memiliki peran penting dalam pemerintahan daerah, tidak termasuk dalam definisi pejabat negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kekeliruan dalam pengenaan PPh Pasal 21 melalui pemotongan yang dilakukan instansi pemerintah sebenarnya tidak perlu terjadi apabila memahami regulasi teknis yang berkaitan dengan pemotongan pajak di atas.
Mengutip pernyataan Russell Billiu Long seorang mantan senator Amerika, “A tax loophole is something that benefits the other guy. If it benefits you, it is tax reform.” Celah pajak justru menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.