Perkebunan kelapa sawit, sumber : www3.astra-agro.co.id

Oleh: Afrialdi Syah Putra Lubis, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Kelapa sawit atau elais guinensis Jacq, begitu nama latin tumbuhan ini. Pertama kali dibawa ke Indonesia saat pemerintahan kolonial Belanda. Kelapa sawit tumbuh sebagai tanaman primadona untuk Indonesia baik bagi korporasi maupun perorangan. Pesonanya mengalahkan tumbuhan-tumbuhan palawija dan rempah-rempah yang hanya dapat tumbuh di tanah air tercinta ini. Padahal alasan mengapa Belanda datang ke Indonesia adalah ingin menguasai rempah-rempah Indonesia karena hanya di Indonesia tumbuhan itu dapat tumbuh dengan sangat subur. Tetapi sekarang rempah-rempah dan palawija tersingkir oleh tumbuhan yang dibawa oleh penjajah ini. Ya, mereka kalah berperang melawan tumbuhan impor tersebut. Dibalik reputasi yang diterima oleh tumbuhan yang masuk dalam famili palmae ini ia juga menjadi benalu bagi hutan di negeri ini yang membuat tumbuhan dan isinya semakin hari semakin terkikis. Hingga julukan perusak hutan disematkan kepadanya oleh para penyelamat lingkungan.

“Dia” sendiri tidak pernah berpikir kalau kehadiran dirinya di bumi Indonesia ini akan menjadi sesuatu yang membanggakan atau malah menjadi sesuatu yang disesalkan. Ketika dirinya tertancap dan tumbuh menjulang ke atas bersama dengan akar-akarnya yang merambat ke dalam tanah menghisap air, akan ada dua sisi yang berseberangan atas kehadiran si penghasil minyak untuk membuat gorengan ini. Satu sisi, dirinya dianggap sebagai tanaman pendulang devisa negara di satu sisi lainnya dirinya dianggap sebagai perusak ekosistem alam. Pro dan kontra bermunculan dari para pihak yang berkepentingan atas tumbuhnya si tanaman palem.

Kemunculan kelapa sawit menjadi komoditas primadona Indonesia pun dimulai pada tahun 1970-an. Seperti dilansir mongabay.co.id, ada dua faktor penting yang menyebabkan kelapa sawit menjadi komoditas ekspor utama Indonesia mengalahkan tanaman palawija dan rempah-rempah asli Indonesia. Kelapa sawit mampu berbuah selama tujuh kali dalam setahun. Itu yang tidak dimiliki oleh tanaman palawija dan rempah-rempah yang hanya maksimal dua atau tiga kali menghasilkan dalam setahun. Kemudian, perpindahan konsumsi lemak hewani ke lemak nabati membuat permintaan minyak sawit dunia semakin tinggi. Dua faktor tersebut cukup memberikan alasan mengapa kelapa sawit menjadi komoditas utama Indonesia. Pemilik lahan yang dikelola olah perorangan pun merespon dengan mengalihkan lahan mereka menjadi perkebunan sawit..

Berdasarkan Statistik Perkebunan Indonesia dari Direktorat Jenderal Perkebunan, sampai dengan tahun 2016 luas areal kelapa sawit di Indonesia mencapai 11,91 juta hektare (Ha) atau 6,25 persen dari daratan Indonesia diisi oleh perkebunan sawit. Sebuah respon positif bahwa tanaman ini diterima sampai ke pelosok di negeri ini meskipun ada yang menolak namun tidak bisa membantah kepada mereka yang punya kuasa dan uang. Ketika permintaan atas minyak kelapa sawit mengalami peningkatan semua mencari cara agar tanaman ini bisa tumbuh dengan cepat, namun terhalang dengan keterbatasan tempat untuk menanamnya. Lantas muncul gagasan untuk menggunakan kawasan yang menjadi tulang punggung penghijauan dunia.

Ada hubungan antara kegiatan penebangan hutan dengan pembukaan lahan perkebunan yang membuat luas perkebunan sawit di Indonesia bertambah tiap tahunnya. Di paruh kedua tahun 1970-an, Indonesia pernah menjadi pengekspor kayu terbesar di dunia yang mengakibatkan penebangan hutan secara masif. Lahan yang telah gundul dimanfaatkan untuk membuka kawasan perkebunan sawit. Terjadi simbiosis mutualisme dari kedua kegiatan ini, tetapi lama kelamaan kegiatan ini mengarah kepada kegiatan ilegal yang tidak didukung dengan pengawasan ketat oleh pemerintah pusat. Jadilah bermunculan kawasan perkebunan yang berada di area konservasi. Tidak perlu diragukan lagi kegiatan illegal logging dan pembukaan kawasan secara tidak resmi yang terjadi di Indonesia dilakukan dengan pendekatan politik ke pejabat daerah, baik yang dilakukan oleh korporat maupun perorangan.

Secara ilegal, otomatis ada dampak yang merugikan. Pembakaran hutan yang mengakibatkan polusi hingga ke negara tetangga dan pembunuhan kepada satwa yang ada di dalamnya membuat penggiat lingkungan menolak tanaman ini dibudidayakan. Dua hal ini menjadi pemicu untuk pemerintah berpikir ulang untuk memperluas area perkebunan sawit. Rasa kesal muncul ketika melihat satwa di hutan dibunuh dan disiksa hanya karena menghalangi proses pembukaan lahan. Apakah tidak ada cara lain yang lebih halus? Padahal mereka hanya ingin melawan karena tempat tinggalnya direbut oleh manusia. Disini pihak kontra menyuarakan rasa sakit yang dialami oleh para satwa. Rasa empati sesama makhluk hilang seketika diikalahkan oleh hijaunya uang yang sebanding dengan deretan hijaunya sawit yang akan ditanam.

Kemudian, para pendukung menyuarakan pendapatnya sebagai golongan penentang. Mereka mengatakan akan ada dampak positif yang dihasilkan dari dibukanya area perkebunan sawit. Klaim tersebut di antara adanya penambahan lapangan kerja yang diserap ketika sebuah perkebunan kelapa sawit berdiri dan juga peningkatan devisa negara dari penambahan jumlah ekspor CPO. Kedua pihak saling berseberangan dan punya alasan masing-masing untuk mendukung argumen mereka.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statisitik, pada tahun 2016 total ekspor kelapa sawit Indonesia mencapai 24,33 juta ton dengan nilai sebesar US$16,27 miliar. Puncak tertinggi ekspor Indonesia terjadi di tahun 2015 dengan volume 28,28 juta ton dengan nilai US$ 16,95 milyar dalam rentan tahun 2011-2016.

Tetapi meningkatnya total ekspor CPO tidak sebanding dengan penerimaan pajak yang diterima dari sektor sawit. Dikutip dari cnnindonesia.com (04/05/2017), KPK menemukan 63 ribu wajib pajak industri sawit yang melakukan pelanggaran pajak. Data tersebut bersumber dari laporan SPT Tahunan yang masuk ke Direktorat Jenderal Pajak. Angka kepatuhan pelaporan perpajakan wajib pajak yang hanya 9,6 persen mengartikan bahwa kontribusi pajak dari sektor ini masih sangat minim dan tidak sesuai dengan perputaran uang di sektor tersebut. Diketahui, realisasi penerimaan pajak di sektor sawit hanya Rp22,2 triliun pada 2015 namun perputaran uang di industri itu diproyeksi mencapai Rp1,2 triliun per hari.

Dalam beberapa bulan terakhir, harga sawit turun drastis berbanding terbalik dengan mata uang dolar yang kian terbang menuju titik tertingginya. Perkebunan yang dimiliki oleh perorangan paling merasakan dampak dengan turunnya harga Tandan Buah Segar (TBS) ini. Biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan tanaman tidak sebanding dengan pendapatan penjualan.

Pemerintah bukan tanpa respon menyikapi pro dan kontra ini. Untuk memperbaiki tata kelola yang baik di sektor ini pemerintah menerbitkan Inpres (Instruksi Presiden) mengenai moratorium lahan sawit yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo tanggal 19 September 2018. Inpres ini dirasa cukup mewakili para pihak yang mendukung dan menentang perkebunan kelapa sawit di negeri ini.

Secara kesuluruhan, cukuplah pendukung kapitalis mengalah untuk masa depan dunia yang lebih baik.Turunnya harga sawit saat ini harusnya menjadi pertimbangan untuk tidak membuat setiap pulau di Indonesia memiliki jejak perkebunan kelapa sawit. Lupakanlah target kita yang ingin menjadi penghasil sawit terbesar di dunia kalau akan selalu ada yang terkena imbas untuk mencapainya. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.