Dari Layar Lebar Menuju Era Perpajakan Digital

Oleh: Stefany Patricia Tamba, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Film Sore: Istri dari Masa Depan (2025) memberi pengingat bahwa keputusan hari ini akan menentukan masa depan. Dalam konteks fiskal, pelaporan dan pembayaran pajak yang tepat waktu adalah keputusan kolektif yang menentukan daya tahan ekonomi negara. Inilah prinsip yang mendorong Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempercepat reformasi sistemik melalui Core Tax Administration System (Coretax) DJP, sebuah fondasi baru tata kelola perpajakan berbasis data dan risiko.
Coretax DJP
Coretax DJP resmi diberlakukan pada 1 Januari 2025 melalui tiga peraturan direktur jenderal pajak (PER Dirjen Pajak). Peraturan-peraturan tersebut meliputi PER Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan serta Perincian Jenis, Dokumen, dan Saluran untuk Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, PER Dirjen Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 tentang Ketentuan Pemberian Layanan Administrasi Perpajakan Tertentu dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan, dan PER Dirjen Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 tentang Ketentuan Pelaporan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Meterai dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.
Sistem ini menggantikan 19 sistem lama dan menyatukan administrasi pajak dalam satu platform digital yang terintegrasi. Dengan dukungan teknologi seperti real-time processing, pemrosesan otomatis berbasis algoritma risiko, dan verifikasi yang menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP), Coretax DJP dirancang untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi beban manual, dan menutup celah kepatuhan.
Dampak terhadap Penerimaan Pajak
Penerimaan perpajakan hingga 19 Juli 2025 tercatat sebesar Rp1.229,2 triliun atau 53,8% dari target APBN 2025 sebesar Rp2.284,9 triliun. Meski hanya tumbuh 3,1% (yoy), perlambatan ini merupakan konsekuensi dari lonjakan restitusi, volatilitas komoditas, serta proses migrasi dan penyesuaian sistem pelaporan ke Coretax DJP. Data per Mei 2025 bahkan mencatat kontraksi penerimaan sebesar 10,13% dibanding periode sama tahun sebelumnya, mengindikasikan kompleksitas transisi. Namun demikian, sistem ini telah menunjukkan peningkatan efisiensi nyata seperti waktu layanan yang berkurang.
Coretax DJP dan Kepatuhan Pajak
Transformasi ini tidak hanya berwujud teknologi, tetapi juga membentuk kerangka baru untuk memperluas basis pajak dan memperkuat kepatuhan pajak. Coretax DJP memungkinkan pengelolaan berbasis risiko serta memetakan perilaku wajib pajak berdasarkan profil dan histori pelaporan. Pendekatan ini membuka jalan bagi perbaikan layanan sekaligus pengawasan yang lebih tajam dan proporsional.
Lebih jauh, tahun 2025 menunjukkan sinyal positif untuk kepatuhan pajak sukarela. Hingga 31 Maret 2025, sebanyak 11,3 juta surat pemberitahuan (SPT) tahunan wajib pajak orang pribadi telah dilaporkan, meningkat 9,2% dibanding tahun sebelumnya. DJP memperkirakan bahwa penerapan Coretax DJP secara penuh pada tahun pelaporan berikutnya akan semakin meningkatkan akurasi, efisiensi, dan jumlah pelaporan.
Wajib pajak badan juga menunjukkan antusiasme pelaporan melalui kanal digital, dengan lebih dari 92% menggunakan e-Filing. Sistem validasi berbasis risiko ke depan akan memastikan bahwa wajib pajak dengan kepatuhan pajak tinggi mendapatkan insentif layanan, sementara potensi ketidakwajaran terdeteksi secara otomatis.
Ekstensifikasi Basis Pajak
Ekstensifikasi basis pajak menjadi agenda prioritas. Sektor digital, misalnya, mencatat transaksi senilai Rp694,4 triliun hingga Juli 2025 menurut Bank Indonesia, tumbuh 19,5% (yoy). Meski demikian, sebagian besar masih berada di luar sistem formal perpajakan. Coretax DJP memberi DJP kemampuan untuk menjangkau pelaku ekonomi digital secara sistematis melalui integrasi data dari Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Digital, dan Kementerian Perdagangan, tanpa harus menaikkan tarif pajak.
Proyeksi Bank Dunia menunjukkan bahwa sistem perpajakan terintegrasi seperti Coretax DJP berpotensi meningkatkan penerimaan sebesar 0,7–1,2% dari produk domestic bruto (PDB) dalam lima tahun. Ini setara dengan tambahan penerimaan sebesar Rp150–200 triliun per tahun mulai 2026, tanpa perlu menaikkan tarif pajak. DJP menargetkan tax ratio Indonesia naik dari 10% menjadi minimal 10,3% pada akhir 2025, sebuah langkah menuju standar Association of South East Asian Nations dan Organisation for Economic Cooporation and Development.
Di balik transformasi digital, DJP terus membangun relasi dengan wajib pajak. Melalui edukasi pajak, program business development services, dan pelatihan pengisian SPT untuk pelajar dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), DJP mendorong kepatuhan pajak sebagai hasil dari pemahaman, bukan sekadar kewajiban. Pendekatan ini memperkuat ekosistem pajak yang adil dan partisipatif.
Masa Depan Fiskal
Transformasi DJP melalui Coretax DJP adalah langkah besar menuju masa depan fiskal yang kuat, transparan, dan akuntabel. Namun, sistem secanggih apa pun tidak dapat menggantikan urgensi keterlibatan masyarakat. Ketepatan waktu dalam pelaporan dan pembayaran pajak bukan semata-mata aturan, tetapi refleksi dari kesadaran kolektif untuk tidak menunda masa depan. Sebab dalam kebijakan fiskal, seperti dalam hidup, masa depan tidak menunggu.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 6 kali dilihat