CRM Perpajakan Internasional: Amunisi Baru di Tahun Baru

Oleh: Banon Keke Irnowo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“What gets measured, gets managed,” ungkapan Peter Drucker yang seorang guru manajemen ini mungkin ada benarnya juga. Menurutnya sesuatu yang bisa diukur, akan bisa dikendalikan. Sebaliknya sesuatu tidak bisa diukur, tidak akan bisa dikendalikan. Ungkapan ini sangat relevan dengan kondisi kepatuhan pajak di Indonesia saat ini. Dalam konteks tugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengendalikan risiko kepatuhan wajib pajak, makin ke sini peranan data terukur semakin dirasa penting. Data Driven Method menuntut setiap pekerjaan harus digerakkan dari data yang dimiliki dulu. Ketika mampu menguasai sebanyak mungkin data, segalanya akan dapat dengan mudah dikendalikan. Maka tentu diperlukan alat ukur yang baik untuk mengolah data tadi menjadi pengetahuan bukan sekedar informasi. Compliance Risk Management (CRM) adalah alat ukur yang dimaksud.
Menatap Tahun Baru 2021 dan melanjutkan kesuksesan implementasi CRM fungsi pendahulunya yaitu CRM Pengawasan, Pemeriksaan, dan Penagihan, DJP kembali akan merilis satu fungsi lagi yaitu CRM fungsi Perpajakan Internasional. Patut diapresiasi, di samping digunakan sebagai tambahan amunisi baru, CRM ini lahir dilatarbelakangi oleh berbagai permasalahan pelik yang menyertai otoritas pajak. Berikut permasalahan yang dihadapi.
Pertama, berdasarkan hasil riset Tax Justice Network dalam laporan The State of Tax Justice 2020 melaporkan penghindaran pajak per tahun yang terjadi di Indonesia setara dengan 4,39% total penerimaan pajak dan 42,29% dari total belanja kesehatan atau senilai 69 Triliun Rupiah. Dengan jumlah itu, betapa besar kerugian yang harus ditanggung Indonesia di masa pandemi ini. Penghindaran Pajak tersebut disinyalir didominasi oleh transfer pricing dan treaty abuse. Hal ini cukup menggambarkan besarnya risiko perpajakan internasional ini. Diharapkan dengan kehadiran CRM Perpajakan Internasional dapat menjadi amunisi untuk mengendalikan risiko tersebut.
Kedua, masalah berlanjut pada rendahnya Audit Coverage Ratio pada kasus transfer pricing. Sudah mafhum diketahui bahwa sengketa transfer pricing identik dengan kerumitan. Sumber daya waktu, biaya, pikiran dan tenaga yang harus dicurahkan dalam penangan suatu kasus transfer pricing di kedua belah pihak sungguh besar. Jangka waktu Pemeriksaan transfer pricing dapat menghabiskan waktu hingga dua tahun. Belum lagi jika sengketa berlanjut ke keberatan dan banding. Permasalahan lain adalah kompetensi yang dibutuhkan dalam penanganan transfer pricing. Sumber daya manusia yang ahli dalam bidang tersebut masih sedikit. Dengan permasalah tersebut, tidak akan mungkin semua transaksi yang memiliki hubungan istimewa dapat diuji kewajarannya. Diperlukan alat ukur untuk menyeleksi prioritas pemeriksaan tersebut. CRM Perpajakan Internasional dapat berperan di dalamnya.
Ketiga, apabila mengutip pengaturan domestik penanganan transfer pricing di Peraturan Menteri Keuangan nomor 213 tahun 2016, disebutkan spesifik bahwa pemanfaatan data Laporan per Negara hasil pertukaran informasi dengan negara lain hanya dapat digunakan untuk kepentingan penilaian risiko. Data yang diperoleh dari Laporan per Negara tidak boleh dijadikan bukti kompeten di pengadilan pajak maupun digunakan untuk alternatif menghitung harga wajar menggunakan metode Global Formulary Apportionment. Laporan per Negara mutlak hanya boleh digunakan untuk penilaian risiko. Maka, satu-satu saluran yang dapat dipakai untuk pemanfaatan data tersebut adalah melalui CRM Perpajakan Internasional.
Berangkat dari teori manajemen risiko di mana risiko mustahil untuk dihilangkan namun dapat dikendalikan, CRM Perpajakan Internasional diharapkan dapat mengendalikan risiko transaksi afiliasi internasional dan lokal dari wajib pajak. Diharapkan fiskus dapat memberikan resep dan treatment yang tepat berdasarkan level pemetaan risiko wajib pajak. Sebagai contoh, apakah wajib pajak A yang berisiko tinggi relevan untuk diusulkan pemeriksaan ataukah dilakukan Advance Pricing Agremeent. Apakah wajib pajak B dengan berisiko rendah dalam rentan selera risiko tertentu hanya akan dipersuasi dalam memenuhi tax gap-nya. Semua treatment itu kembali kepada Konsep Data Driven di mana prioritas tindakan dibangun melalui data.
Berdasar kepada ketiga permasalahan tersebut, akhirnya kehadiran CRM Perpajakan Internasional tinggal menunggu waktu saja untuk terlahir. Makin maraknya penghindaran pajak melalui transfer pricing dan treaty abuse, ditambah dengan audit coverage ratio yang masih rendah dan keterbatasan wewenang pemanfaatan data Laporan Per Negara membuat kelahiran CRM Perpajakan Internasional menjadi keniscayaan. Ke depan, ruang akses perolehan data ekternal seperti pertukaran informasi perpajakan international, Institusi Lembaga Asosiasi dan Pihak Lain (ILAP), Laporan Per Negara, Pertukaran Data DJBC- DJP, dan data lainnya akan semakin meluas. Tentu, hujan data yang diterima DJP akan memperkaya dan menyempurnakan risk engine CRM dalam memuat variabel risiko. Dengan kehadiran CRM Perpajakan Internasional sebagai alat ukur ini, DJP mendapatkan amunisi tambahan dalam mengendalikan risiko yang dihadapinya. Jika ke depan segalanya dapat berjalan pada jalurnya, nampaknya DJP akan menuju seperti yang diungkapkan Peter Drucker di awal bahwa, "Sesuatu yang bisa diukur, akan bisa dikendalikan,"
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja
- 747 kali dilihat