Oleh: Krisandi Nofianus, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Omzet atau peredaran usaha bruto merupakan penghasilan yang diperoleh dari penjualan barang atau jasa kepada pelanggan, sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Bagi wajib pajak yang omzetnya dalam satu tahun pajak telah melebihi 4,8 miliar rupiah maka terdapat tiga hal yang harus dicermati yakni: kewajiban melaksanakan pembukuan, pengukuhan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), dan penggunaan tarif pajak penghasilan sesuai Pasal 17 atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Kewajiban Melaksanakan Pembukuan

Wajib pajak orang pribadi yang omzetnya telah melebihi 4,8 miliar rupiah wajib menyelenggarakan pembukuan. Di sisi lain, kewajiban pembukuan merupakan hal yang mutlak diselenggarakan oleh wajib pajak badan tanpa melihat omzet yang dimiliki. Berbeda dengan wajib pajak orang pribadi, wajib pajak badan wajib menyelenggarakan pembukuan meskipun omzetnya masih di bawah 4,8 miliar rupiah. Pembukuan seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi wajib pajak orang pribadi karena dianggap menyulitkan.

Menurut wikipedia, pembukuan adalah suatu proses pencatatan transaksi keuangan ke dalam catatan akuntansi. Pembukuan dimulai dari pencatatan bukti transaksi, jurnal, buku besar dan terakhir penyusunan laporan keuangan. Berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi (PSAK) Nomor 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan, laporan keuangan terdiri atas beberapa komponen yaitu: laporan posisi keuangan, laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Dengan demikian, pembukuan yang dilaksanakan sesuai PSAK setidaknya harus menghasilkan lima jenis laporan tersebut.

Di sisi lain, Pasal 28 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyatakan bahwa orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia harus mengadakan pembukuan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang cukup untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak atau harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, guna penghitungan jumlah pajak terhutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Lebih lanjut disebutkan bahwa pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan yang dikerjakan secara teratur tentang keadaan kas dan bank, daftar hutang-piutang, dan daftar persediaan barang. Wajib pajak harus menutup pembukuannya dengan membuat neraca dan perhitungan laba rugi berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebelumnya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak memahami kesulitan yang dialami wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan sehingga pembukuan secara perpajakan hanya diwajibkan menghasilkan dua jenis laporan keuangan yaitu neraca (laporan posisi keuangan) dan laporan laba rugi.

Untuk memberikan kemudahan dalam menyusun laporan keuangan, Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah meluncurkan aplikasi Laporan Akuntansi Usaha Mikro (Lamikro). Lamikro merupakan aplikasi pembukuan akuntansi sederhana yang bisa digunakan melalui gawai dengan sistem operasi Android. Aplikasi ini dapat mempermudah wajib pajak dalam menyelenggarakan pembukuan dengan kemampuannya membuat jurnal dan menghasilkan dua jenis laporan keuangan yaitu neraca dan laporan laba rugi. Wajib pajak dapat mengunduh aplikasi tersebut melalui laman https://lamikro.com.

Wajib pajak yang telah menyelenggarakan pembukuan akan menghitung penghasilan neto dan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan secara taat asas. Wajib pajak tidak lagi dapat menggunakan fasilitas norma perhitungan penghasilan neto. Sebelumnya, wajib pajak cukup mencatat besaran omzet tiap bulan saja lalu dijumlahkan selama satu tahun pajak. Dari total omzet tersebut kemudian dikalikan tarif norma untuk menentukan besarnya penghasilan neto dan Penghasilan Kena Pajak.

Dengan menyelenggarakan pembukuan, wajib pajak dapat menghitung Penghasilan Kena Pajaknya secara aktual sesuai penghasilan yang diperoleh dan biaya-biaya yang dikeluarkan (ketentuan lebih lanjut terkait biaya dapat mengacu pada Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh). Dalam hal biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penghasilan yang diperoleh maka wajib pajak dapat mencatatkan kerugian sehingga pajak yang terutang menjadi nol. Hal ini tidak dapat dilakukan apabila wajib pajak menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.

Pengukuhan sebagai PKP

Selain wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib pajak beromzet di atas 4,8 miliar rupiah juga wajib dikukuhkan sebagai PKP. Walaupun demikian, tidak semua wajib pajak beromzet di atas 4,8 miliar rupiah wajib menjadi PKP. Wajib pajak harus memahami karakteristik barang atau jasa yang dijual/diserahkan kepada pelanggan. Dalam hal barang atau jasa yang diserahkan merupakan barang atau jasa kena pajak sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai maka wajib pajak dimaksud harus dikukuhkan sebagai PKP.

Menjadi PKP berarti wajib melakukan pemungutan PPN atas setiap transaksi/penyerahan yang dilakukan. PPN yang dipungut ini disebut sebagai Pajak Keluaran. Selain memungut Pajak Keluaran, wajib pajak juga berhak mengkreditkan PPN yang dikenakan oleh supplier atau penyedia barang atau jasa (disebut Pajak Masukan). Di akhir bulan (masa pajak), wajib pajak harus menghitung selisih antara Pajak Keluaran dan Pajak Masukan kemudian menuangkannya ke dalam Surat Pemberitahuan (SPT) PPN yang wajib dilaporkan pada akhir bulan berikutnya. Dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka wajib pajak harus menyetorkan selisihnya ke kas negara paling lambat pada akhir bulan berikutnya sebelum SPT PPN disampaikan.

Penggunaan Tarif Sesuai Pasal 17 atau Pasal 31E UU PPh

Hal terakhir yang perlu dicermati adalah penggunaan tarif pajak. Wajib pajak dengan omzet di atas 4,8 miliar rupiah tidak dapat lagi menggunakan tarif PPh final sebesar 0,5% sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Wajib pajak dengan omzet di atas 4,8 miliar rupiah wajib menggunakan tarif PPh sesuai Pasal 17 dengan ketentuan tarif progresif bagi wajib pajak orang pribadi dan tarif tunggal bagi wajib pajak badan.

Khusus bagi wajib pajak badan dengan omzet di atas 4,8 miliar rupiah namun masih di bawah 50 miliar rupiah, mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar rupiah sesuai ketentuan Pasal 31E UU PPh (ilustrasi perhitungan dapat dilihat pada bagian penjelasan Pasal 31E UU PPh). Berdasarkan PP Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka maka tarif pajak badan mengalami penurunan dari 25% menjadi 22% pada tahun pajak 2020 dan tahun pajak 2021, lalu kembali turun menjadi 20% pada tahun pajak 2022.

Selain menggunakan tarif sesuai Pasal 17 atau Pasal 31E UU PPh, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 setiap bulannya. Umumnya besarnya angsuran ini dihitung dengan cara membagi Pajak Penghasilan (berdasarkan penghasilan teratur pada tahun sebelumnya) dengan angka 12 (bulan). Angsuran ini wajib dibayarkan tiap tanggal 15 bulan berikutnya.

Penutup

Lalu, bagaimana bila omzet mengalami penurunan menjadi di bawah 4,8 miliar rupiah? Menurut pendapat penulis, kewajiban pembukuan tetap melekat meskipun omzet menurun di bawah 4,8 miliar rupiah karena Pasal 28 UU KUP menyebutkan bahwa pembukuan harus dilaksanakan secara taat asas atau konsisten. Dengan demikian, wajib pajak tidak bisa mengubah pembukuan menjadi pencatatan mengikuti besaran omzet yang diperoleh tiap tahunnya. Hal yang sama juga berlaku bagi penggunaan tarif PPh Pasal 17 atau Pasal 31E.

Wajib pajak yang mengalami penurunan omzet menjadi di bawah 4,8 miliar rupiah tidak bisa lagi menggunakan tarif PPh final 0,5%. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya (PP Nomor 46 Tahun 2013), PP Nomor 23 Tahun 2018 tidak memfasilitasi perubahan tarif yang digunakan wajib pajak dengan mengikuti besaran omzet tahunan yang diperoleh. PP Nomor 23 tahun 2018 tampaknya menghendaki adanya konsistensi perlakuan perpajakan.

Walaupun demikian, terdapat perbedaan ketentuan antara pengukuhan PKP dengan dua ketentuan sebelumnya. Apabila wajib pajak mengalami penurunan omzet menjadi di bawah 4,8 miliar rupiah, maka wajib pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan atas status PKP-nya dan dibebaskan dari kewajiban memungut PPN. Namun, pencabutan status PKP ini akan berimbas pada wajib pajak tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang dikenakan oleh penyedia barang atau jasa.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.