Cap-and-Tax, Cara Inovatif Indonesia dalam Mengatasi Eksternalitas Karbon

Oleh Revanza Almaas, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ketika kita menyebut pajak karbon, pambahasan tidak akan jauh dari eksternalitas negatif, tindakan suatu pihak yang tidak tecermin dalam pasar yang merugikan pihak lain, tetapi pihak pertama tidak menanggung biaya atas perugian tersebut. Karena tidak tecermin dalam harga pasar, eksternalitas negatif dapat menjadi sumber inefisiensi ekonomi. Contoh nyatanya adalah ketika nelayan Batam menderita penurunan penghasilan akibat pencemaran laut dari limbah minyak hitam hasil aktivitas pabrik di sekitar perairan Pulau Belakangpadang pada tahun 2019. Di sini, pabrik memancarkan eksternalitas negatif kepada nelayan karena memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan nelayan tanpa ada kompensasi yang diterima nelayan.
Maka dari itulah, dalam kacamata ekonomi, terdapat biaya kerusakan marginal di samping biaya marginal private (marginal cost) pabrik.
Mengatasi Eksternalitas
Pihak yang jadi korban dalam masalah eksternalitas akan meminta kerugian. Salah satu contohnya terjadi pada nelayan di Cilacap yang menuntut ganti rugi kepada PT Pertamina, khususnya di sekitar Pantai Teluk Penyu. Mereka mengaku sudah tidak melaut karena ikan-ikan mati. Nelayan yang jumlahnya 17 ribu orang kemudian mengajukan ganti rugi Rp100 ribu per hari. Ini adalah salah satu bentuk solusi atas eksternalitas negatif, yaitu negosiasi antarpihak. Biaya ganti rugi akan menaikkan biaya marginal (marginal cost) PT Pertamina ke level biaya marginal sosial (marginal cost + marginal damage cost). Sepintas, cara ini sudah cukup untuk mengatasi eksternalitas negatif. Namun, mengapa kita masih menerapkan pajak karbon?
Pada kenyataaannya, laut itu sangat luas. Pabrik yang beroperasi di sana juga tidak hanya satu. Ada banyak faktor yang berkontribusi meracuni ikan. Seringkali sulit untuk menyalahkan satu pihak saja. Sungguhpun ada suatu pabrik yang bersedia membayar ganti rugi, akan ada pabrik lain yang menjadi free rider yang dapat membuang limbah dengan bebas tanpa harus memberikan kompensasi. Ini tentu jadi masalah lagi. Itu untuk pencemaran laut. Bagaimana dengan pencemaran udara yang memberikan dampak bagi seisi kota? Apakah pabrik harus mengganti rugi seluruh penduduk kota?
Intervensi Pemerintah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) menjadi tonggak pertama hadirnya pajak karbon di Indonesia yang kemudian diperinci lewat Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang berprinsip keadilan dan keterjangkauan. Pajak karbon di Indonesia rencananya diimplementasikan dalam cap-and-tax, metode yang menyelaraskan dengan mekanisme perdagangan karbon. Metode ini adalah yang terbaik dari beberapa opsi pengenaan pajak karbon yang dapat pemerintah ambil. Untuk memahaminya, mari memulai dari cara pengenaan pajak karbon yang paling sederhana.
Karena negosiasi antarpihak tidak dapat secara efektif mengatasi masalah eksternalitas terhadap barang publik (public goods), pemerintah perlu mengintervensi. Intervensi yang dapat saja dilakukan pemerintah yang pertama adalah regulasi kuantitas (cap), yaitu melarang pabrik untuk menghasilkan polusi hingga sekian ton. Contohnya penegakan batasan emisi polusi pada PLTU berkapasitas di atas 400 MW sebesar 0,918 ton CO2 per megawatt-jam (MWh).
Di lapangan, PLTU memiliki tingkat emisi yang variatif dan kurva biaya reduksi polusi marginal yang berbeda-beda. Bagi PLTU dengan emisi > 0,918 ton/MWh dan kurva biaya marginal yang sangat curam, regulasi tersebut akan membuat PLTU terpaksa menggelontorkan biaya amat besar untuk mencapai ambang batas tersebut. Sebaliknya, PLTU dengan emisi < 0,918 ton/MWh dan kurva biaya marginal yang landai akan masih berinsentif menambah jumlah polusi sampai ke ambang batas tanpa merasakan kerugian. Regulasi kuantitas (cap) semacam ini inefisien bagi ekonomi karena mengabaikan fakta bahwa tiap PLTU punya kurva biaya marginal yang berbeda-beda sehingga mengabaikan biaya dari upaya reduksi tersebut.
Intervensi kedua yang dapat dilakukan adalah pajak karbon, yakni mengenakan tarif pajak untuk setiap kilogram polusi, misalnya Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen. PLTU akan bertindak sesuai dengan biaya marginalnya untuk mengurangi emisi saat ini. Jika biaya marginalnya kurang dari Rp30 per kilogram, ia akan memilih untuk mencoba mereduksi lagi, sedangkan jika lebih, ia akan lebih memilih membayar pajak. Dengan metode ini, tiap pabrik/pembangkit listrik punya fleksibilitas dalam memilih jumlah reduksi emisi yang optimal ke level efisien masing-masing sesuai dengan biaya marginal masing-masing.
Solusi ketiga adalah cap-and-trade, yang melibatkan sertifikat izin emisi (SIE) yang dapat diperdagangkan. Jika regulasi kuantitas yang pukul rata bagi seluruh PLTU tidak adil bagi semua PLTU, solusi ini memperbaiki masalah itu. Seperti namanya, cap-and-trade masih memakai cap. Yang membuat ini spesial adalah bahwa solusi ini dapat membiarkan pasar meregulasi polusi secara efisien. Pabrik dengan polusi tinggi (di atas cap) harus membeli SIE dari pabrik lain, sedangkan pabrik yang polusinya rendah (di bawah cap) akan bersedia menjual SIE-nya ke pabrik lain. Dengan demikian, ini akan menghapus insentif bagi pabrik berpolusi rendah untuk menaikkan polusi sampai ambang cap. Pabrik dengan biaya marginal yang curam juga tidak harus menggelontorkan dana begitu besar demi reduksi emisi sampai ke cap karena ia bisa membeli SIE.
Cap-and-Tax
Cap-and-tax adalah inovasi pemerintah Indonesia dalam instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Inovasi ini memadukan pajak karbon biasa dengan cap-and-trade. Ini adalah kebijakan yang istimewa yang menutup kelemahan di kedua metode. Pada metode ini, pemerintah pertama-tama menentukan cap atau kuantitas maksimum yang boleh diemisikan. Kemudian, tarif pajak dikenakan ketika pabrik/pembangkit listrik mengemisi lebih dari cap tersebut. Namun, jumlah pajak terutang ini dapat berkurang bila pabrik/pembangkit listrik membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari pabrik lain yang berpolusi kecil sehingga tidak memerlukannya. Skema perpaduan dua metode Pada metode pajak karbon biasa, tarif pajak dari emisi polusi ditetapkan, tapi kuantitas total emisi tidak. Pajak menyadarkan pabrikan bahwa terdapat biaya sosial yang harus dibayar akibat pencemaran, tetapi kuantitas emisi hasil penerapan ini tidak pernah pasti. Sebaliknya, cap-and-trade menjamin kuantitas maksimum emisi polusi di udara, tapi biaya yang sebenarnya diperlukan untuk mereduksi ke level tersebut tidak pasti (uncertain). Pajak karbon biasa menjadi terkesan terlalu fokus pada penerimaan negara dan cap-and-trade terkesan kurang memperhatikan biaya yang ditanggung.
Dengan cap-and-tax, batasan kuantitas (cap) menjadi terdefinisi. Selain itu, jika pabrik memiliki biaya reduksi emisi marginal yang curam sehingga SIE yang dimiliki belum cukup, pabrik dapat mengompensasikan selisihnya dalam bentuk pajak karbon. Pada metode ini pula, rugi bobot mati (deadweight loss) dari pajak diminimalisasi, lebih kecil daripada metode pajak karbon biasa.
Pada akhirnya, metode cap-and-tax bertujuan mengubah perilaku individu ke perlaku ekonomi hijau yang rendah karbon, mendukung penurunan emisi gas rumah kaca, serta mendorong inovasi dan investasi yang ramah lingkungan, yang tentu dilakukan dengan prinsip adil, terjangkau, dan bertahap. Penggunaan bahan bakar ramah lingkungan dan pengembangan nilai ekonomi karbon (NEK) adalah hal yang penting. Implementasi cap-and-tax yang memadukan dua metode pemecahan masalah eksternalitas negatif juga nantinya diharapkan dapat secara efektif menciptakan pasar karbon yang berkelanjutan.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 380 kali dilihat