BUMN, Monopoli, dan Pajak

Oleh Revanza Almaas, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999), khususnya pada Pasal 51, diatur bahwa pemerintah dapat memberikan hak monopoli kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ini kemudian menjadi payung hukum untuk memberikan hak monopoli kepada beberapa BUMN yang barang atau jasanya menguasai hajat hidup orang banyak serta yang cabang-cabang produksinya penting bagi negara. Barang atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dimaksudkan adalah yang memiliki fungsi alokasi (berasal dari sumber daya alam yang dikuasai negara untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat), distribusi (yang dibutuhkan secara pokok oleh rakyat tetapi ada kalanya tidak dapat dipenuhi pasar), dan stabilisasi (yang harus disediakan untuk umum, seperti pertahanan keamanan, moneter, dan fiskal). Dalam hal BUMN tidak memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan monopoli, pemerintah dapat menunjuk badan atau lembaga tertentu.
Pemerintah berupaya mengintervensi pasar dengan melakukan monopoli. Mengapa di beberapa kasus, pemerintah melakukan ini dan apa kaitannya dengan pajak? Untuk memahaminya, kita perlu mulai dari pengertian monopoli.
Monopoli: Sebuah Masalah
Dalam Pasal 1 UU 5/1999, monopoli didefinisikan sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok pelaku usaha. Dalam ekonomi, sebagaimana telah diulas oleh para pakar, pengertian monopoli lebih sederhana, yaitu pasar yang hanya ada satu penjual tetapi banyak pembeli. Perusahaan monopoli –selanjutnya disebut pemonopoli– berada di posisi yang unik. Ia dapat menaikkan harga produk tanpa mengkhawatirkan eksistensi pesaing.
Pemonopoli adalah pasar itu sendiri. Oleh karena itu, ia punya kendali atas jumlah produk yang ditawarkan di pasar. Pemonopoli bebas memasang harga berapa saja. Namun, sebetulnya tidak sebebas yang diduga. Pemonopoli nyatanya tetap menghadapi kurva permintaan yang menurun (downward-sloping). Ini karena semakin tinggi harganya, semakin sedikit orang yang sanggup membeli produk itu. Walaupun butuh, sebagian orang akan mencoba produk alternatif. Pemonopoli perlu mencari output yang optimal. Untuk mengetahui level output yang paling optimal, pemonopoli –layaknya perusahaan pada umumnya– mengeset kuantitas produksi di mana biaya marginal (marginal cost atau MC) sama dengan pendapatan marginal (marginal revenue atau MR). Dengan demikian, persamaan dalam kondisi level output paling optimal adalah MC=MR.
Sebuah perusahaan monopolistik mempunyai kurva permintaan (demand atau D) yang menurun, selaras dengan pendapatan rata-rata (average revenue atau AR) (D=AR), tetapi berbeda kemiringannya dengan MR. Berikut adalah grafiknya.
Dari berbagai literatur Pengantar Ekonomi Mikro
Seperti yang terlihat, monopoli menciptakan kerugian bobot mati (deadweight loss) ke ekonomi yang ditunjukkan oleh area berlabel "DWL". Di monopoli, harga dipatok lebih tinggi daripada biaya marginal (MC). Harga yang seharusnya cukup di level biaya marginal naik ke sumbu P (harga atau price). Jumlah pembeli yang sanggup beli turun ke sumbu Q (jumlah barang atau quantity). Semua itu demi keuntungan pemonopoli. Selain inefisien, harga yang terlalu tinggi berdampak negatif pula terhadap kesejahteraan rakyat. Di samping itu, monopoli bisa membuat inovasi terhambat. Kekuatan monopolistik yang besar juga bisa melebarkan pengaruhnya ke dunia politik. Maka dari itu, pemerintah bisa menerapkan pajak pada perusahaan semacam ini supaya bisa mengendalikan monopoli.
Pengaruh Pajak
Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam mengenakan pajak pada monopoli, yaitu dengan membuat tarif pajak penghasilan (PPh) yang tinggi dengan membuat tarif progresif, atau menerapkan pajak pada laba abnormal (di atas normal) pemonopoli. Keduanya akan memberikan efek yang berbeda.
Cara yang pertama akan menaikkan kurva biaya rata-rata dan biaya marginal sebesar t, maka pendapatan marginal menjadi MR = MC + t. Seperti yang terlihat pada grafik di bawah ini. Pergeseran kurva MC ke atas sebesar t akan menyebabkan berkurangnya kuantitas ke Q1 dan naiknya harga ke P1. Ini juga akan memperbesar kerugian bobot mati. Pengenaan PPh badan yang lebih tinggi akan merugikan konsumen karena pemonopoli akan menggeser beban pajak tersebut ke konsumen. Dalam beberapa kasus di mana permintaan sangat inelastis, kenaikan harga di P1 bahkan bisa lebih besar dari pajak t. Dampaknya kini tidak hanya ke konsumen tetapi juga merambah ke makin lesunya inovasi dan investasi di perusahaan pemonopoli.
Dari berbagai literatur Pengantar Ekonomi Mikro
Cara kedua adalah mengenakan pajak pada laba abnormal. Pada grafik di bawah, laba abnormal ditunjukkan oleh persegi panjang kuning. Laba abnormal (supernormal profit) adalah laba ekstra di atas laba normal. Di sini, P (harga monopoli) berada di atas P0, harga yang terbentuk andai pasarnya kompetitif sempurna. Pajak ini hanya menarget laba berlebih yang berada di atas normal (abnormal). Berbeda dengan cara pertama, cara ini hanya akan mengambil sebagian laba di persegi panjang tersebut sehingga tidak mengubah kurva biaya marginal. Ekuilibrium pun akan tetap sama. Satu-satunya yang berubah adalah laba yang diperoleh sumber perusahaan (berkurang). Di sini, konsumen tidak menanggung beban akibat pajak.
Dari berbagai literatur Pengantar Ekonomi Mikro
Cara kedua terlihat lebih baik sebab pajak tidak mengubah tingkah laku produsen (efektif secara ekonomi). Ini karena walau pajak merenggut sebagian labanya, laba pascapajaknya tetap yang tertinggi yang bisa perusahaan hasilkan. Cara ini juga tidak memberikan beban kepada konsumen. Namun, pajak pada laba abnormal yang mirip dengan windfall tax ini belum diterapkan di Indonesia serta belum ada pembahasan resmi mengenainya.
Solusi
Penulis menilai, pajak atas laba abnormal (supernormal profit tax, mirip dengan windfall tax) dapat dipertimbangkan untuk ditegakkan dalam sistem perpajakan kita. Adapun bila hal itu belum bisa dilakukan, alternatif lain adalah ambil alih kuasa monopoli ke pemerintah. Ini solutif karena memberikan kendali harga kepada pemerintah yang mempunyai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tidak seperti sektor swasta, pemerintah memprioritaskan akses dan keterjangkauan. Dengan harga yang lebih rendah, kuantitas barang yang diproduksi akan dapat memenuhi kebutuhan rakyat. Inilah alasan sebagian besar monopoli yang ada di Indonesia dilakukan oleh BUMN, di antaranya pada sektor penyediaan listrik, jaminan sosial, dan distribusi air bersih. Adapun contoh perusahaan yang tidak sepenuhnya monopoli, tetapi masih memiliki kekuatan monopolistik di industrinya antara lain BUMN di sektor perkeretaapian dan pengusahaan minyak dan gas bumi.
Pemerintah memutuskan untuk mengambil alih monopoli melalui BUMN, alih-alih membiarkan pihak swasta menguasainya karena industri tersebut dinilai menguasai hajat hidup orang banyak dan memiliki cabang produksi yang penting. Membiarkan pihak swasta memonopoli lalu mengenakan PPh badan yang tinggi pada pihak swasta tersebut, dipandang tidak efisien jika dilihat dari perspektif kesejahteraan, karena rakyat pula yang pada ujungnya merasakan bebannya.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan non-komersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 245 kali dilihat