Oleh: (Zidni Amaliah Mardlo), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Perpajakan di Indonesia yang menganut sistem self assessment membuat kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary compliance) menjadi hal yang penting dalam pelaksanaan sistem perpajakan.

Ini karena dalam sistem self assesment, pemerintah atau otoritas pajak memberikan wewenang serta kepercayaan kepada para wajib pajak dalam kegiatan menghitung, menyetor, serta melaporkan sendiri kewajiban perpajakan yang terutang.

Salah satu upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah memberikan pelayanan yang terbaik kepada wajib pajak. Penelitian Gangl et al. (2013) menyatakan, orientasi pelayanan (service orientation) yang memfasilitasi kepatuhan pajak (tax compliance) akan meningkatkan kepercayaan dan memperkuat kepatuhan. Kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Sedangkan Alm et al. (2010) menyatakan, pelayanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan perpajakan. Penelitian Supadmi (2009) juga menyimpulkan bahwa kualitas pelayanan akan meningkatkan kepatuhan pajak.

Selama ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berbenah melakukan reformasi pajak di bidang pelayanan. Contoh kemudahan tersebut seperti diterapkannya e-registration atau sistem pendaftaran wajib pajak secara daring, penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara daring melalui e-Filing, e-Billing yang merupakan pembayaran pajak secara elektronik menggunakan kode billing, dan yang terbaru adalah pelaporan SPT Masa unifikasi menggunakan e-Bupot Unifikasi.

Dalam sistem self assessment kesadaran wajib pajak untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan menjadi suatu indikator keberhasilan dalam sistem perpajakan. Meskipun pemerintah telah memberikan kepercayaannya pada wajib pajak, pemerintah juga tetap melakukan pengawasan serta selalu berupaya meningkatkan kepatuhan pajak.

Lantas, apakah kemudahan-kemudahan yang selama ini diberikan DJP berpengaruh terhadap meningkatnya kepatuhan pajak?

 

Mengenal Kepatuhan Pajak

Kepatuhan pajak menjadi persoalan yang sangat umum dihadapi oleh otoritas pajak di Indonesia bahkan di setiap negara di dunia. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak juga telah lama menjadi perhatian otoritas pajak. Perlu diketahui, bahwa kepatuhan pajak didefinisikan sebagai kemauan dari wajib pajak untuk dapat tunduk dan patuh terhadap regulasi maupun ketentuan perpajakan yang berlaku pada suatu negara.

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada biasanya kepatuhan pajak mengacu pada kemampuan serta kemauan wajib pajak untuk tunduk terhadap regulasi perpajakan. Selain itu, juga melaporkan penghasilan dengan benar dan membayar pajak yang terutang dengan benar dan tepat waktu.

Pengertian lain terkait kepatuhan pajak merujuk pada IBFD International Tax Glosary. Kepatuhan pajak (tax compliance) merupakan tindakan yang bersifat prosedural dan administratif yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban wajib pajak yang didasarkan pada aturan pajak yang berlaku.

Ada kepatuhan secara administratif atau formal, yaitu sejauh mana wajib pajak patuh terhadap persyaratan prosedural serta administrasi perpajakan. Termasuk pula mengenai syarat bagaimana pelaporan serta jangka waktu untuk menyampaikan dan membayar pajak.

Ada juga kepatuhan secara teknis atau materiel, yaitu kepatuhan yang mengacu pada perhitungan jumlah beban pajak secara benar dan tepat. Tak hanya itu, kepatuhan pajak materiel juga bisa didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika wajib pajak memenuhi ketentuan materiel perpajakan, sesuai dengan isi ketentuan undang-undang perpajakan.

 

Indikator Dalam Kepatuhan Pajak

Jika kepatuhan ini tidak ditanamkan sejak awal dalam diri wajib pajak akan menimbulkan keinginan yang mengarah ke hal negatif seperti keinginan melakukan tindakan penghindaran, penggelapan, penyelundupan, pengelakan dalam membayar pajak, dan tindakan pelanggaran lainnya. Tentu saja hal tersebut berdampak negatif karena akan mengakibatkan penerimaan negara dari sektor pajak akan berkurang.

Perlu dipahami, kepatuhan tersebut bisa diidentifikasi berdasarkan empat indikator. Pertama, kepatuhan seseorang dalam rangka mendaftarkan dirinya sebagai wajib pajak. Kedua, kepatuhan terhadap kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan secara benar, lengkap dan jelas. Ketiga, kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh. Keempat, kepatuhan wajib pajak dalam rangka pembayaran tunggakan pajak melalui Surat Tagihan Pajak (STP) maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP) sebelum jatuh tempo pembayaran tersebut.

Berdasarkan data DJP pada 2018 rasio kepatuhan penyampaian SPT Tahunan mencapai 71,1 persen. Pada tahun 2019 kepatuhan pajak menjadi 73,06 persen. Tahun 2020 sebesar 77,63 persen naik 4,57 persen dari tahun sebelumnya. Tahun 2021 sebesar 84,07 persen dan 2022 sebesar 83,2 persen. Tren kepatuhan pelaporan SPT Tahunan PPh dalam satu lustrum terakhir sedikit meningkat. Namun pada tahun 2021-2022 mengalami penurunan 0,87 persen.

 

Uang Pajak

Pajak bersifat wajib bagi warga negara dan dapat dipaksakan oleh pemerintah melalui peraturan. Meskipun tidak ada orang yang suka rela membayar pajak, namun masyarakat harus menyadari bahwa penerimaan negara Indonesia saat ini masih mengandalkan pajak sebagai tulang punggung pembiayaan negara. Setidaknya, kita sadar bahwa 64,6 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2023 berasal dari uang pajak.

Kirchler et al. (2008) mengemukakan teori slippery slope framework, yang menyatakan bahwa wajib pajak akan cenderung patuh jika terdapat suatu kepercayaan terhadap otoritas pajak ataupun juga kekuatan dari otoritas pajak untuk mengatur dan mencegah terjadinya penggelapan pajak. Perpaduan antara kepercayaan terhadap otoritas pajak dan penegakan hukum dapat secara efektif menurunkan ketidakpatuhan pajak.

Berbagai inovasi yang diberikan oleh DJP memang memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakan, pelaporan maupun pembayaran pajak. Namun, kemudahan tersebut tidak secara signifikan meningkatkan rasio kepatuhan wajib pajak karena kesadaran wajib pajak untuk membayar dan melaporkan pajak yang telah dibayarnya masih rendah.

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat masih memerlukan edukasi pajak sehingga masyarakat memiliki rasa tanggung jawab untuk melakukan kewajiban pajaknya. Tidak hanya edukasi pajak saja yang perlu dilakukan, pengelolaan uang pajak pun harus diawasi dengan benar, supaya terdistribusi sesuai peruntukannya, sehingga masyarakat dapat merasakan dampak uang pajak secara langsung dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah terjaga. 

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.