Oleh: Dewi Setya Swaranurani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Pagi itu Jalan Wijilan, Yogyakarta masih sepi pengendara. Pasalnya, hari itu masih pukul enam pagi di hari minggu. Biasanya, masyarakat Kota Yogyakarta akan mengisi waktu weekend-nya untuk jogging pagi di sekitar alun-alun kidul. Sedangkan aku bersama Ibu, memutuskan untuk membeli gudeg untuk bekal perjalananku ke tanah rantau.

Di sepanjang Jalan Wijilan ini berderet penjual gudeg—makanan khas Yogyakarta yang terkenal dengan rasa manis, gurih, dan kaya akan rempah-rempah. Bagi orang-orang yang doyan rasa manis, pastilah akan suka dengan masakan satu ini.

Meski banyak penjual gudeg di Jalan Wijilan ini, aku dan Ibu memutuskan untuk membeli gudeg di Gudeg Bu Minah—rumah makan gudeg Bu Minah ini sudah berdiri sejak 1966 dan masih bertahan hingga sekarang.

“Yang dibungkus dua dus nggih Mbak, ayam paha kalih sekul nggih (Yang dibungkus dua dus ya Mbak, ayam paha sama nasi ya),” ujar Ibu kepada Bu Yuli, anak si penjual gudeg. Sudah berlangganan cukup lama, Ibu sudah kenal dengan penjual gudeg ini. Gudeg ini dikelola oleh Bu Minah, tapi karena beliau sudah sepuh—penjualan gudeg ini dibantu oleh anaknya, Bu Yuli dan juga cucunya, Mbak Ira. “Bu, kok kula sampun dangu mboten kepanggeh Bu Minah?” tanya Ibu lagi kepada Bu Yuli. Dalam bahasa Indonesia, Ibu menanyakan keberadaan Bu Minah karena sudah lama tidak terlihat.

“Bu Minah sampun seda Bu setengah tahun yang lalu, tutup usia di umur 87 tahun Bu, sampun sepuh (Bu Minah sudah meninggal Bu setengah tahun yang lalu, tutup usia di umur 87 tahun Bu, sudah tua),” jawab Bu Yuli.

Mendengar jawaban Bu Yuli, kami mengucapkan turut berduka cita. Almarhum Bu Minah memiliki kesan tersendiri untuk kami, hal ini karena kami sudah berlangganan gudeg Bu Minah sejak aku masih bersekolah di taman kanak-kanak.

“Mbak, jenengan pegawai pajak to sakniki? (Mbak, kamu pegawai pajak kan sekarang?),” tanya Bu Yuli. Setelah aku mengiyakan, Bu Yuli kembali bertanya. “Ini Mbak saya mau tanya, kalau mau alihkan pajak ke saya gimana nggih? Kan selama ini kami bayar pajak pakai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Bu Minah, kami takut kena denda atau semacamnya Mbak kalau tidak diurus,” tambahnya.

“Sudah diajukan penghapusan NPWP Bu Minah dereng nggih Bu? (sudah diajukan penghapusan NPWP Bu Minah belum ya Bu?)” tanyaku kembali pada Bu Yuli.

“Dereng Mbak, caranya gimana nggih? (Belum Mbak, caranya bagaimana ya?)”

Ajukan Penghapusan NPWP Pewaris

Pihak keluarga atau ahli waris wajib mengajukan penghapusan NPWP bagi wajib pajak yang telah meninggal dunia. Dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor : PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Eelektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, disebutkan bahwa Kepala KPP dapat melakukan penghapusan NPWP atas Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berdasarkan permohonan atau secara jabatan—dalam hal ini termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan.

Penghapusan NPWP ini perlu dilakukan agar kewajiban perpajakan wajib pajak tidak lagi berjalan dan wajib pajak terhindar dari sanksi administrasi. Berbeda dengan penghapusan NPWP Wajib Pajak Badan yang memerlukan waktu 12 bulan, penghapusan NPWP Wajib Pajak hanya membutuhkan waktu selama 6 bulan sejak tanggal permohonan diterima lengkap di loket Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar.

Permohonan penghapusan NPWP tersebut dapat diajukan secara langsung atau melalui jasa ekspedisi / pos dengan dilampiri dokumen sebagai berikut :

  1. Surat keterangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi berwenang;
  2. Surat pernyataan dari wakil Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak meninggalkan warisan;
  3. NPWP Asli atas Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggal dunia;
  4. Salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Wajib Pajak Orang Pribadi yang meninggal dunia;
  5. Salinan KTP dan NPWP ahli waris / wakil Wajib Pajak.

Pengalihan kewajiban perpajakan

Usaha wajib pajak yang telah meninggal dunia dapat dialihkan ke ahli waris termasuk pula kewajiban perpajakannya. Kewajiban perpajakan ahli waris ini dimulai pada saat ahli waris menerima pendapatan dari usaha milik wajib pajak yang telah meninggal dunia. Jadi, wajib pajak tak perlu menunggu proses penghapusan NPWP wajib pajak yang telah meninggal dunia benar-benar terhapus dari sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Oleh karena hal tersebut, ahli waris diharuskan memiliki NPWP. Apabila ahli waris belum memiliki NPWP, ahli waris wajib mendaftarkan diri melalui :

  1. Secara daring melalui laman ereg.pajak.go.id;
  2. Secara langsung ke kantor pajak;
  3. Dikirim melalui jasa ekspedisi/pos.

Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020, disebutkan bahwa dalam hal Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercantum pada KTP telah tervalidasi dengan basis data kependudukan, permohonan pendaftaran Wajib Pajak tidak perlu dilampiri fotokopi KTP. Hal ini berlaku untuk pendaftaran secara daring. Sedangkan bagi wajib pajak yang melakukan pendaftaran secara langsung perlu melampirkan fotokopi KTP dan juga fotokopi Kartu Keluarga.

Lalu, untuk permohonan pendaftaran NPWP bagi wanita kawin terdapat persyaratan dokumen tambahan. Persyaratan tambahan tersebut adalah Salinan NPWP suami, surat pernyataan menghendaki kewajiban perpajakan terpisah, dan juga dokumen perkawinan.

Kesimpulan

Pengalihan kewajiban perpajakan wajib pajak yang sudah meninggal dunia ke ahli waris dapat dimulai sejak ahli waris menerima penghasilan dari usaha wajib pajak yang telah meninggal dunia. Meskipun begitu, ahli waris atau wakil wajib pajak wajib yang telah meninggal dunia wajib untuk mengajukan permohonan penghapusan NPWP wajib pajak yang telah meninggal dunia. Ahli waris tidak perlu menunggu proses penghapusan NPWP selesai untuk memulai kewajiban perpajakannya.

Mendengar penjelasanku, Bu Yuli mengucapkan terima kasih. “Terima kasih ya Nok informasinya, sebagai bonus tak tambahi satu dus lagi,”

Aku tersenyum kepada Bu Yuli, dan menolak dengan sopan. “Terima kasih Bu, tapi tidak perlu diberi imbalan,” ucapku, “ini memang sudah tugas kami Bu, memberikan edukasi pajak kepada masyarakat,” tambahku.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.