Oleh: Sri Lestasi Pujiastuti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Sebuah lompatan besar dalam Reformasi Perpajakan baru saja terjadi. Kini Nomor Induk Kependudukan (NIK) digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ditetapkannya NIK sebagai NPWP tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru saja disahkan oleh DPR dalam Sidang Paripurna beberapa waktu lalu.

Jika menyelisik ke belakang, sebenarnya langkah besar untuk mengoptimalkan penggunaan NIK secara serius telah dimulai beberapa waktu lalu, tepatnya 9 September 2021, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kepegawaian dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam Pelayanan Publik. 

Berdasarkan peraturan ini, Penyelenggara Pelayanan Publik mensyaratkan penambahan atau pencantuman NIK dan/atau NPWP penerima layanan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan sebelum Perpres 83 Tahun 2021 ada, telah terbit pula Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

Penulis melihat setidaknya terdapat dua alasan digunakannya NIK sebagai NPWP. Pertama, kesederhanaan dan kemudahan dalam pemungutan pajak. Neumark sebagaimana dikutip Rahayu dalam Perpajakan: Konsep & Aspek Formal (2017), sistem perpajakan yang baik haruslah mudah dalam administrasinya dan mudah pula untuk mematuhinya. Dengan kemudahan pajak yang diberikan maka akan meningkatkan kepatuhan perpajakan.

Seperti kita pahami bersama, Reformasi Perpajakan Jilid I yang melahirkan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan telah mengubah sistem perpajakan Indonesia dari official assessment menjadi self assessment.

Berdasarkan sistem self assessment wajib pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem tersebut, penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib pajak sendiri.

Selain itu, wajib pajak juga diwajibkan melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dengan diberlakukannya NIK sebagai NPWP maka akan menyederhanakan proses pendaftaran (administrasi) NPWP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Namun demikian, bukan berarti dengan berlakunya NIK sebagai NPWP setiap warga negara Indonesia secara otomatis wajib mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP.

Siti Resmi (2019) dalam bukunya yang berjudul  Perpajakan: Teori dan Kasus, menjelaskan Subjek Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Masih menurut Siti Resmi, Objek Pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak.

Hanya wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif yang berkewajiban untuk memiliki NPWP. Dalam UU HPP menyebutkan bahwa setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan NPWP.

Dengan demikian, dalam konteks Pajak Penghasilan (PPh) maka orang pribadi atau perseorangan yang memiliki NIK baru wajib memiliki NPWP jika telah memiliki penghasilan (objek pajak).

Kedua, keadilan dalam pemungutan pajak. Pandemi Covid-19 mengakibatkan dampak yang luar biasa pada penerimaan negara khususnya perpajakan pada 2020. Rasio pajak turun hingga di bawah 9%, begitu pula tax buoyancy Indonesia yang berada di bawah 1.

Salah satu penyebab rendahnya tax buoyancy Indonesia karena adanya pelemahan ekonomi dan belum optimalnya kepatuhan pajak wajib pajak. Sementara itu, kebutuhan pembiayaan negara untuk penanganan Covid-19 yang disiapkan dalam APBN 2020 dan 2021 melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sangat besar, yakni Rp695,2 triliun dan Rp699,43 triliun. 

Bila kita bedah lagi, anggaran program PEN 2021 diperuntukkan untuk:

  • Perlindungan sosial sebesar Rp157,41 triliun,
  • Kesehatan sebesar Rp176,30 triliun,
  • Program priotitas sebesar Rp122,44 triliun,
  • Dukungan UMKM dan Koperasi sebesar Rp184,83 triliun, dan
  • Insentif usaha sebesar Rp58,46 triliun.

Di sisi lain, bila kita melihat struktur kontribusi penerimaan PPh Non Migas dengan komposisi PPh Badan yaitu sebesar 27%, PPh Orang Pribadi Karyawan 24%, dan PPh Orang Pribadi Usaha 2%. Terlihat jelas bahwa kontribusi PPh Orang Pribadi masih rendah. Karenanya perlu konsolidasi fiskal untuk mendorong perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Neumark seperti dikutip Rahayu (2017) mengatakan bahwa penerapan prinsip keadilan perpajakan dalam sistem perpajakan di suatu negara akan membeikan efek positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan. Sehingga, semakin tinggi keadilan yang dirasakan oleh wajib pajak maka akan meningkatkan kesukarelaan untuk membayar pajak dan sebaliknya.

Menurut Mangoting sebagaimana dikutip oleh Harri Ariema (2008), keadilan merupakan kata kunci dalam upaya pemerintah untuk memungut dana dari masyarakat (transfer of resources). Sesuai dengan asas equality (keadilan), pajak harus dikenakan secara adil dan merata. Ada dua macam asas keadilan dalam pemungutan pajak yang sangat terkenal yaitu Benefit Principle Approach dan Ability to Pay Principle Approach.

Suatu sistem pemungutan pajak dikatakan adil menurut pendekatan benefit principle apabila jumlah pajak yang dibayar oleh setiap wajib pajak sebanding dengan manfaat yang diterimanya dari kegiatan pemerintah. Sementara berdasarkan the ability to pay principle, pajak itu dibebankan pada para pembayar pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar masing-masing. Semakin tinggi penghasilan seseorang, semakin besar pula pajak yang harus dibayar.

Dengan dijadikannya NIK sebagai NPWP seiring dengan terbitnya Perpres 39 Tahun 2019 dan Perpres Nomor 83 Tahun 2021, sejatinya adalah agar terwujud keadilan dalam pemungutan pajak. Diharapkan akan terjadi perluasan basis pajak dan tidak ada lagi kekhawatiran pajak hanya dikenakan kepada orang-orang tertentu saja. Dan kiranya tidak berlebihan jika kita berharap di masa yang akan datang pemungutan pajak dapat dilakukan secara optimal.

Dan terakhir, selepas disahkannya UU HPP tersebut, pemerintah masih dihadapkan pada tugas berat yakni memastikan integrasi NIK dan NPWP dapat berjalan dengan mulus. Terpenting lagi adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya UU HPP bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.      

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.