Pajak Karbon untuk Media Sosial

Oleh: Ananta Paramita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sudah membaca artikel “Uganda Cegah Kecanduan Medsos dengan Pajak, Indonesia Kapan?” oleh salah satu pegawai Direktorat Jenderal Pajak? Jika belum ataupun sudah, ini bisa jadi pelengkap untuk pembaca.
Antusiasme
Sebuah riset dari DataReportal menunjukkan bahwa jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 191,4 juta jiwa per Januari 2022 dengan perbandingan total penduduk sejumlah 277,7 juta jiwa. Data tersebut mencerminkan lebih dari setengah total penduduk Indonesia piawai teknologi alias tidak gagap teknologi.
Segala layanan beralih daring sejak pandemi Covid-19 melanda. Masyarakat dihadapkan dengan teknologi sebagai langkah antisipasi penyebaran virus. Orang tua mulai bekerja dari rumah, anak-anak mulai belajar secara daring. Dihadapkan dengan metode ini, masyarakat Indonesia mempersiapkan diri dengan perangkat pintar yang selalu tersedia. Segala instruksi dan berita mayoritas diketahui dari media sosial.
Melansir data dari perusahaan asal Inggris We Are Social, penduduk Indonesia rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit per hari. Ternyata lebih dari sepertiga waktu dalam sehari kita gunakan untuk mengakses media sosial.
Dampak Media Sosial
Metode baru, tatanan baru. Mungkin kalimat tersebut cocok pada perubahan cepat dengan teknologi. Basis komunikasi baru selain tatap muka, rutinitas yang baru, sampai perangkat baru. Banyak hal yang berubah dan masih akan terus terjadi perkembangan. Kita diharapkan dapat mengikuti segala perkembangan khususnya terhadap teknologi yang begitu cepat.
Dalam satu tahun saja terdapat lebih dari satu kali pembaruan untuk tiap aplikasi. Bahkan perangkat lunak ponsel juga tak kalah memberikan versi baru untuk kelancaran sistem operasinya. Tentunya hal-hal tersebut sejalan dengan kebutuhan pengguna atau masyarakat yang dinamis.
Media sosial saat ini memberikan wadah untuk berkreasi dan menghasilkan pundi-pundi penghasilan bagi masyarakat. Berawal dari konten untuk seru-seruan bisa menjadi penghasilan. Sudah banyak selebgram, youtuber dan kreator TikTok (sebagian contoh dari aplikasi besar yang sedang ramai digunakan saat ini) memperoleh kesenangan dan ketenaran melalui media sosialnya masing-masing. Tidak main-main, penghasilan mereka bisa mencapai jutaan rupiah jika sudah terstruktur. Tak perlu diragukan lagi, banyak masyarakat yang mencoba peruntungan di jalur yang sama.
Beda cerita dengan yang satu ini. Pada tahun 2021, seorang remaja Duren Sawit meninggal dunia akibat terlibat keributan dan saling menantang di media sosial. Media sosial memiliki kelebihan dan tentunya memiliki risiko jika tidak digunakan dengan bijak.
Polusi Sosial
Polusi sosial yang secara psikologis menyerang atau memberikan dampak bagi seorang individu ternyata bukan satu-satunya dampak akibat dari ketidakbijakan pengguna media sosial. Ternyata penggunaan media sosial juga memberikan dampak bagi lingkungan melalui emisi karbon.
Dilansir dari Kompas.com, sebuah situs perbandingan asal Australia, Compare The Market mengungkapkan jejak karbon atau jumlah emisi karbon (CO2) dari aktivitas atau kegiatan perusahaan penyedia aplikasi media sosial.
Hasilnya, media sosial TikTok menempati urutan pertama sebagai penyumbang polusi karbon terbesar di angka 2,63 (gCO2Eq). Diikuti dengan perusahaan pengembang Reddit di urutan ke dua dan perusahaan pengembang Pinterest di urutan ke tiga. Penggunaan 10 besar aplikasi penyumbang jejak karbon terbanyak selama 5 menit dapat menghasilkan 20 kg CO2 selama satu tahun atau setara dengan mengemudi sepanjang 84,5 km.
Pajak Karbon
Mengutip dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, “Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup” Pasal 13 ayat (1). Adapun subjek pajak karbon yang tertuang dalam Pasal 13 ayat (5) adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan saat terutangnya pajak karbon ditentukan pada saat pembelian, pada akhir periode tahun dari aktivitas serta saat lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Tujuan adanya pajak karbon juga tertuang pada pasal yang sama dalam Undang-Undang ini pada ayat (12) yaitu “Penerimaan pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim”.
Emisi karbon menjadi dampak negatif yang sangat menghambat transisi menuju dekarbonisasi untuk menciptakan lingkungan hijau dan aktivitas ramah lingkungan. Pajak karbon menjadi solusi dalam membatasi jumlah dan sebagai alat barter untuk dapat memperbaiki dampak negatif yang masih tersisa. Melalui peraturan ini, Indonesia masuk dalam salah satu negara yang menerapkan pajak karbon untuk kebaikan lingkungan hidup masyarakatnya dengan mengedepankan aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Pada awal April, Kementerian Keuangan menunda penerapan Pajak Karbon dari 1 April 2022 menjadi 1 Juli 2022. Adapun alasan penundaan ini untuk mematangkan regulasi dalam aturan teknis dan menunggu kesiapan sektor ketenagalistrikan sebagai sektor pertama yang akan dikenakan pajak karbon. Aturan teknis yang disiapkan meliputi tarif, dasar pengenaan, cara penghitungan dan penyetoran, pelaporan, serta peta jejak karbon.
Emisi Karbon Media Sosial
Menilik tujuan adanya pajak karbon dengan sebab dibentuknya aturan ini, emisi karbon yang berasal dari aktivitas media sosial patut menjadi pertimbangan atau masukan dibentuknya aturan teknis khusus atau tersendiri. Dengan jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang banyak serta waktu akses yang cukup lama per harinya menjadi alasan mengapa pajak karbon dapat hadir sebagai pengendali.
Bukan semata untuk membatasi atau bahkan menghalangi pengguna mencari nafkah atau berkreasi. Utamanya adalah menekan penyedia layanan untuk beralih menuju metode yang lebih ramah lingkungan. Di zaman yang serba canggih ini, penerapan pajak untuk pengendalian terjadinya kerusakan semakin fokus untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatagar semakin baik lagi tanpa polusi.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 323 views