Oleh: Dewi Damayanti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Salah satu klausul kebijakan pemerintah yang telah disetujui DPR dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun mendapat kritikan dari berbagai pihak adalah tentang Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Pemerintah dianggap tidak konsisten, karena sebelumnya memastikan tidak ada lagi kebijakan serupa. Ada juga tudingan pemerintah memanjakan orang kaya. Bagaimana faktanya?

Pada 2016 lalu, melalui UU Nomor 11 tahun 2016 pemerintah Indonesia pernah melaksanakan Program Pengampunan (Amnesti) Pajak. Sebanyak 972.530 wajib pajak mengikuti program tersebut dengan deklarasi harta mencapai Rp4.881 triliun, dengan komposisi sebagai berikut: Rp1.036,37 triliun berupa deklarasi luar negeri, Rp3.697,94 triliun deklarasi dalam negeri dan Rp146,69 triliun untuk harta yang direpatriasi. Dari segi jumlah, wajib pajak yang mengikuti Amnesti Pajak tersebut masih jauh dibandingkan potensi wajib pajak yang terdaftar.

Namun Ditjen Pajak mencatat tren positif. Saat pelaksanaan Amnesti Pajak, terjadi peningkatan pelaporan SPT tahunan oleh wajib pajak orang pribadi. Tingkat kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan  wajib pajak yang mengikuti Amnesti Pajak mencapai 92 persen, sementara bagi yang tidak ikut Amnesti Pajak tingkat kepatuhannya hanya mencapai 60-70 persen.

Administrasi pajak modern sekarang menganggap bahwa peningkatan kepatuhan sukarela sebagai tujuan utama. Karena audit, sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kepatuhan keberhasilannya terbatas dalam mengubah perilaku untuk meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak (IMF, 2017).

PPS menjadi salah satu solusi yang menjanjikan, untuk menumbuhkan budaya kepatuhan sukarela yang tinggi. Karena itu pemerintah Indonesia membuat skema PPS dalam UU HPP yang dirancang dengan hati-hati bagi wajib pajak yang selama ini belum patuh dan belum melaporkan kekayaannya dalam SPT Tahunan, untuk memulai babak hidup baru.

 

Regulasi PPS

Terdapat dua program PPS wajib pajak dalam UU HPP ini. Pertama, kebijakan untuk wajib pajak orang pribadi dan badan yang sudah pernah menjadi peserta Amnesti Pajak, dengan basis aset yang diperoleh sebelum 31 Desember 2015.

Tarif PPh final yang ditetapkan pada kebijakan pertama adalah dalam rentang 6% sampai 11% dengan tiga kategori, yaitu: tarif PPh Final 11% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri. Kemudian, tarif PPh Final 8% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang tidak diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan, dan 6% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.

Kedua, kebijakan ditujukan untuk wajib pajak orang pribadi yang selama ini belum melaporkan kekayaannya yang didapat pada 2016 sampai 2020 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Tahun Pajak 2020.

Tarif PPh Final yang dikenakan adalah sebesar 18% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri, 14% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang tidak diinvestasikan dalam SBN dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan, dan 12% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri yang diinvestasikan dalam SBN dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan. Batas waktu pelaksanaan PPS dimulai dari tanggal 1 Januari hingga 30 Juni 2022.

Sebelum berlakunya UU HPP ini, pemerintah pernah mengeluarkan regulasi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 165/PMK.03/2017. Pasal 44A PMK 165/2017 menyebutkan bahwa bagi wajib pajak yang sudah mengikuti program Amnesti Pajak, tetapi belum melaporkan seluruh harta kekayaannya dengan benar dan wajib pajak yg belum ikut Amnesti Pajak namun ingin melaporkan kekayaannya bisa mengikuti Pengungkapan Aset Sukarela dengan Tarif Final (PAS-FInal). Tarif yang ditawarkan adalah 25% bagi wajib pajak Badan, 30% bagi wajib pajak orang pribadi dan 12,5% bagi wajib pajak tertentu (termasuk wajib pajak UMKM).

PAS-Final ini bukanlah program Amnesti Pajak, karena ada beberapa perbedaan esensial, yaitu terkait pengenaan tarif dan tidak adanya fasilitas pembebasan PPh atas pengalihan saham, tanah, dan bangunan atas peserta PAS-Final. Program ini lebih kepada memberi kesempatan, keadilan, pelayanan, dan kemudahan kepada wajib pajak yang pada saat Amnesti Pajak lalu mengalami kendala agar tidak dikenakan sanksi Pasal 18 UU Amnesti Pajak, sebelum pemeriksa pajak terjun mengungkapkan harta wajib pajak ditambah sanksi sebesar 200%.

Begitu pula dengan PPS dalam UU HPP, bukan merupakan program Amnesti Pajak. PPS berupaya mengakomodir hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menganut aliran positivisme dimana konsep pemikiran utilitarianisme turut memberikan sumbangsih dalam peraturan hukum di Indonesia.

Konsep utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill ini menyatakan bahwa  tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Murphy (1995) juga menegaskan bahwa hukuman yang baik adalah hukuman yang dilakukan ketika mampu memberikan manfaat yang lebih jauh baik. PPS diyakini mampu memberikan manfaat yang jauh lebih baik, karena dapat mendongkrak kepatuhan sukarela wajib pajak, ketimbang pengenaan sanksi yang berat bagi wajib pajak melalui proses pemeriksaan.

Cerita Sukses PPS

Cerita tentang sukses PPS, maka Indonesia bisa merujuk pada Irlandia, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam catatan IMF, ketiga negara tersebut pernah sukses mendulang pajak orang kaya mereka melalui PPS. Banyak wajib pajak secara sukarela membayar pajak atas ketidakpatuhan mereka di masa lalu.

Badan perpajakan Irlandia contohnya, pada 1999 berhasil memperoleh nama-nama pemegang rekening bank yang terlibat dalam skema penghindaran pajak dengan menyamarkan aset yang dimiliki di dalam negeri sebagai milik asing. Ketika pemerintah Irlandia memberikan ultimatum dalam waktu terbatas, sekitar 3.700 orang mengikuti PPS dengan pembayaran mencapai Euro (EUR) 227 juta. Tindak lanjut penegakan hukum dilakukan terhadap 8.500 wajib pajak yang tidak mengikuti PPS dan berhasil menjaring pajak EUR 420 juta termasuk denda dan bunga.

Inggris pada 2007, mengharuskan lima bank besar untuk menyerahkan informasi 250.000 penduduk Inggris yang memiliki 400.000 rekening di luar negeri. Badan perpajakan di sana menawarkan penyelesaian atas dasar bahwa semua pajak dibayar kembali ditambah bunga dan denda. Sekitar 64.000 pemegang rekening menerima tawaran itu dan membayar GBP 450 juta. Sekitar 10.000 dari mereka yang tidak mengikuti program tersebut, menjadi sasaran penyelidikan.

Sementara The Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat berhasil mendapatkan informasi dari perusahaan kartu kredit besar, sehingga menawarkan PPS kepada sekitar 1.300 wajib pajak. USD 75 juta masuk ke kas negara pada 2003. Ketika 2009 IRS meluncurkan Program Pengungkapan Sukarela kedua, lebih dari 14.000 pembayar pajak maju mengungkapkan rekening asing mulai dari USD 10.000 hingga USD 100 juta pada ratusan bank di 70 negara.

Indonesia pun bisa mendulang sukses, mengingat Ditjen Pajak terus melakukan proses data-matching dengan pihak ketiga termasuk 67 instansi pemerintah maupun swasta. Dalam UU Nomor 9 Tahun 2017 Ditjen Pajak kini telah diberi kewenangan untuk mengakses data keuangan yang dimiliki lembaga keuangan. Dan pada 2018 Ditjen Pajak juga telah melakukan komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) dengan 159 negara lain. Berbekal ratusan data yang telah diperoleh oleh DJP, celah bagi wajib pajak untuk menyembunyikan harta sudah pasti tertutup. Maka PPS dapat menjadi titik awal menuju DJP dengan tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.