Kementerian Keuangan telah memperkenalkan program sensus perpajakan nasional dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak (1/7/2011).  Program tersebut, akan dilaksanakan mulai kuartal III Tahun 2011 dan akan mengandeng Badan Pusat Statistik (BPS).  Sementara itu, Kepala BPS – Rusman Heryawan- mengemukakan bahwa sensus pajak akan menghitung potensi pajak dari kegiatan ekonomi bawah tanah atau underground economy (4/7/2011).  Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sensus pajak dapat membuahkan penerimaan pajak, terlebih dari dari sektor ekonomi bawah tanah?

Sensus Pajak

Program sensus pajak tentunya muncul sebagai hasil dari upaya maksimal untuk menghimpun penerimaan pajak.  Berbagai studi atau kajian ilmiah menyebutkan bahwa masih adanya potensi pajak yang belum tergali maksimal.  Terlebih lagi, kegiatan mapping wajib pajak yang dilakukan oleh Ditjen Pajak memperkuat indikasi masih adanya kesenjangan pajak (tax gap) atau selisih antara potensi pajak dan yang telah dikenakan pajak.  Data empiris juga menyebutkan bahwa selama ini sumbangan penerimaan pajak yang setiap tahunnya mencapai Rp 600 triliun lebih, ternyata 98%-nya disumbangkan oleh hanya 500-an ribu Wajib Pajak Badan dan sekitar 500 ribu Wajib Pajak Orang Pribadi.

Mirip dengan sensus kependudukan yang selama ini dikenal, maka sensus pajak ini akan mendata seluruh responden, termasuk mereka yang telah menjadi wajib pajak dan bukan wajib pajak.  Sehingga Ditjen Pajak akan memperoleh lebih banyak variasi data.  Data yang banyak dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan inilah yang akan menjadi kunci sukses penggalian potensi pajak kedepan.

Diperkirakan setidaknya ada tiga kelompok kombinasi data yang akan diperoleh, yaitu data responden yang belum terdaftar sebagai wajib pajak, data responden yang sudah terdaftar sebagai wajib pajak tetapi belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban perpajakan dan data responden yang sudah terdaftar sebagai wajib pajak dan sudah melaksanakan kewajiban pajaknya.  Pun, dalam tiap kelompok tersebut dapat diklasifikasikan juga per sektor usahanya.  Dengan demikian kombinasi data yang diperoleh akan semakin lengkap dan rinci, misalnya data para respoden yang belum sepenuhnya membayar pajak dari sektor usaha kecil dan menengah.

Dengan kombinasi dan variasi data yang lengkap dan rinci tersebut, maka Ditjen Pajak akan dapat melakukan treatment (perlakuan) khusus pada tiap sektornya.  Maka, kedepannya, diharapkan bagi pengusaha di sektor usaha kecil atau menengah akan mendapatkan perlakuan pajak berbeda dengan mereka yang berada dalam sektor usaha lainnya.  Karena sektor usaha kecil dan menengah, dengan jumlahnya yang paling dominan terhadap struktur Produk Domestik Bruto (PDB) tetapi sumbangan penerimaan pajak masih kecil, perlu dirangsang dengan perlakuan pajak khusus agar berkontribusi maksimal. 

Underground Economy

Seringkali disalahartikan bahwa ekonomi bawah tanah atau dikenal dengan underground economy adalah aktifitas yang bersifat illegal, semacam penyelundupan, perjudian maupun pencurian.  Padahal terminologi ekonomi bawah tanah atau dikenal juga dengan ekonomi bayangan meliputi aktifitas ilegal maupun legal.  Ilegal berarti bertentangan atau melawan hukum yang berlaku, sedangkan legal dimaksudkan bahwa aktifitas tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang ada namun penghasilan yang diperoleh dari aktifitas tersebut tidak dilaporkan kepada institusi Pemerintah (BPS atau Ditjen Pajak). 

Secara sederhana ekonomi bawah tanah meliputi salah satu kondisi berikut : barang atau jasa yang ilegal atau penghasilan yang ilegal.  Lippert dan Walker (1997) lebih detail membagi kelompok ekonomi bawah tanah menjadi moneter dan non moneter.  Pada kelompok moneter dipisahkan mana yang ilegal dan legal demikian juga kelompok non moneter dipisahkan juga mana yang ilegal dan legal.  Menarik disini bahwa aktifitas legal, baik moneter dan non moneter, dimanifestasikan pada penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelapan pajak (tax evasion). 

Pengalian potensi pajak melalui aktifitas ekonomi bawah tanah menjadi sangat luas, meliputi ilegal maupun legal.  Dan, tentunya Ditjen Pajak akan fokus pada aktifitas legal dan tidak mungkin akan meyentuh aktifitas ilegal, walaupun tidak ada pasal yang melarang  dalam Undang Undang Perpajakan.  Sensus perpajakan nasional akan memegang peranan penting dalam rangkaian penggalian potensi pajak ekonomi bawah tanah ini.  Karena, data yang dihasilkan dalam program tersebut otomatis akan meliputi data aktifitas ekonomi bawah tanah, seperti yang dimaksud dalam terminologi Lippert dan Walker (1997).

Perhitungan nilai ekonomi aktifitas ekonomi bawah tanah pernah dilakukan oleh Enste dan Scheneider (2002), tetapi lebih bersifat global.  Mereka mengambil data dari 84 Negara, tidak termasuk Indonesia.  Hasil studi memperkirakan bahwa untuk Negara Negara berkembang nilai ekonominya dapat mencapai 35% - 44% dari Produk Domestik Bruto (PDB).  Dengan asumsi PDB saat ini Rp 6.000 triliun, maka total aktiftas ekonomi bawah tanah dapat mencapai Rp 1.800 triliun lebih.  Tetapi angka ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar perhitungan potensi pajak, karena masih mencakup semua aktifitas ilegal maupun legal; sedangkan pajak akan dikenakan hanya pada aktifitas legal saja.  Namun setidaknya dapat disimpulkan bahwa potensi pajak yang berasal dari aktifitas ekonomi bawah tanah sangat besar.

Sebelumnya, penggalian potensi pajak atas aktifitas ekonomi bawah tanah – legal namun tidak dilaporkan – telah menjadi program rutin Ditjen Pajak yaitu melalui intensifikasi pemungutan pajak.  Dengan adanya program sensus pajak ini, dimana dilakukan secara lebih terencana, fokus dan menyeluruh, maka potensi pajak yang akan tergali, utamanya dari aktifitas ekonomi bawah tanah, dapat terwujud lebih cepat.

Chandra Budi
Bekerja di Ditjen Pajak, Almunus Pasca Sarjana IPB