Review Outfit Bro Hypebeast

Oleh: Lindarto Akhir Asmoro, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Berapa harga baju yang anda pakai sekarang? Puluhan ribu rupiah, ratusan ribu rupiah, jutaan rupiah, atau sampai dengan miliaran rupiah? Mari kita hitung mulai dari baju, kemeja, jam tangan, sepatu, celana panjang, serta aksesoris masing-masing.
Pakaian tidak hanya sekadar kebutuhan pokok bersama dengan makanan dan tempat tinggal. Pakaian sekarang ini dianggap mencerminkan derajat seseorang, kepribadian seseorang sampai dengan harga diri seseorang. Semakin mahal pakaian yang dipakai maka semakin tinggi nilai diri dari orang tersebut. Hal ini terjadi karena nilai pandang masyarakat hanya mengarah pada tampilan luar semata.
Akhir akhir ini sedang viral di media sosial sebuah video tentang Review Outfit dari beberapa anak muda zaman now yang berada di acara urban sneaker society 2.0. Dalam acara tersebut dua orang remaja melakukan wawancara kepada temannya tentang outfit value yang dipakai dalam acara tersebut. Salah seorang remaja menjelaskan outfit-nya dari jaket hoodie seharga 4 juta rupiah, celana CNM 600 ribu Rupiah, sepatu YIIIcasa HI 4,5 juta rupiah, serta jam tangan seharga 200 juta rupiah total 209,1 juta rupiah, bujubuneng bisa untuk beli mobil low MPV.
Kemudian ada lagi remaja yang menjabarkan harga outfit-nya sepatu Gucci Snake seharga 10.5 juta rupiah disertai keterangan beli di luar negeri, kaos oblong beli di PIP seharga 5,6 juta rupiah, dan topi seharga 4 juta rupiah total value nya sebesar 20.1 juta rupiah, wow seharga sepeda motor matik. Satu lagi contoh diambil dari bro Giorgio dengan memakai kaos lengan panjang Calabases seharga 5-7 juta rupiah, jam tangan Hublot King Power seharga 311 juta rupiah, celana Oro LA seharga 2,7 juta rupiah, serta sepatu 4,7 juta rupiah, sehingga totalnya 323,4 juta rupiah. Bisa beli rumah dengan tipe 45 di ibu kota provinsi. Harganya bikin pusing orang yang mendengar, mendengar saja pusing apalagi kalau disuruh membeli, gaji kita habis bahkan kurang hanya untuk satu jenis pakaian.
AR mana, AR mana. Sama seperti kejadian artis Raffi Ahmad saat “pamer” hypercar koenigsegg-nya yang langsung dapat tanggapan dari twitter dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar untuk melakukan Pelaporan SPT, fenomena outfit ini juga perlu tindak lanjut dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Karena melihat remaja masa kini yang sangat gemar dengan fesyen dengan pakaian yang bermerek.
Trend ini berkembang pesat karena mudahnya akses pembelian yang dapat dilakukan. Di Jakarta sendiri telah banyak outlet brand dunia yang telah hadir di mal-mal dan toko mandiri yang dimilikinya. Selain outlet yang ada di dalam negeri, frekuensi remaja zaman now berekreasi ke luar negeri juga sangat besar mengingat tiket yang semakin murah dan kegemaran mencari tempat-tempat instagramable demi tampilan yang wah di media sosial.
Yang harus Ditjen Pajak lakukan dalam menangkap peluang ini adalah mengeksplorasi ruang remaja ini. Ditjen Pajak dapat secara langsung ataupun tidak langsung melihat subjek-subjek yang tertangkap kamera tersebut sebagai data awal, yang kemudian dapat dikembangkan lagi di dalam komunitas dan pertemanan dari remaja yang sudah tampak di dalam video.
Kemudian dapat dilakukan verifikasi apakah remaja ini telah memiliki penghasilan sendiri yang harus dikenakan pajak. Bisa jadi barang-barang hype tersebut mereka beli untuk diperjual belikan kembali dengan harga yang jauh lebih mahal karena koleksi tersebut limited edition. Apabila mereka belum memiliki pekerjaan, yang perlu digali adalah apa pekerjaan orang tuanya? Apakah masih ada sumber pendapatan dari orang tuanya yang belum dilaporkan? Serta berapa pendapatan yang belum dilaporkan. Dari aktifitas tersebut Ditjen Pajak dapat menemukan potensi pajak dari penghasilan yang belum dilaporkan tersebut.
Ditjen Pajak seharusnya patut berbahagia dengan adanya media sosial berupa instagram dan youtube. Media ini banyak memuat konten-konten "dewasa" di mana hanya orang orang dewasa yang semestinya bisa lakukan tetapi dapat dilakukan pula oleh anak anak dan remaja. Salah satu contohnya adalah pembelian pakaian dengan harga yang bombastis. Ditjen Pajak tinggal menjadi "CCTV" yang mengawasi tingkah laku pengguna media sosial untuk menemukan potensi terpendam beserta dengan jaringannya, mulai dari hulu sampai dengan hilir.
Belilah barang yang real, jangan beli yang fake. Apabila ngak kuat beli yang real merek luar negeri, belilah yang real produk asli Indonesia. Pesan untuk penggemar Hypebeast.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 185 views