Oleh: Devie Koerniawan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ada sesuatu yang menarik dalam situs otoritas pajak Singapura, Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). Salah satu halaman dari situs ini membahas tentang teori, atau lebih tepatnya kepercayaan mereka tentang perilaku pembayar pajak. Di bagian awal artikel yang berjudul Our Belief about Taxpayers ini disertakan sebuah diagram berbentuk piramida terbalik yang dibagi menjadi empat irisan secara horisontal. Masing-masing irisan diberi nama yang mencerminkan perilaku penghuninya.

Irisan teratas, dengan besaran bidang terluas, diberi nama Voluntarily Compliant. Sesuai namanya, irisan ini memuat pembayar pajak yang telah patuh memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela. Irisan dibawahnya, dengan nama Unaware, merupakan kelompok pembayar pajak yang memiliki karakter ingin patuh tetapi membutuhkan bantuan untuk melakukannya. 

Berikutnya, dengan luasan yang lebih sempit, ditempati irisan berisi para pembayar pajak yang dianggap "tidak memberikan perhatian yang cukup pada kewajiban pajak." Negligent atau abai adalah istilah yang disematkan kepada irisan ini. 

Selanjutnya, irisan paling bawah, memuat para pembayar pajak yang diistilahkan sebagai pembayar pajak Errant. Menurut kamus Merriam-Webster, Errant memiliki makna straying outside the proper path or bound. Jika di-Indonesia-kan frasa ini memiliki menyimpang di luar jalur yang benar. Sesuai dengan definisinya, pembayar pajak di bagian ini terprofil sebagai pihak-pihak yang dengan sadar dan dengan sengaja ingin menipu, berniat curang, atau menghindari pajak.

Terhadap empat model pembayar pajak ini, IRAS memberikan perhatian yang berbeda. Kepada mereka yang terprofil dalam Voluntarily Compliant, IRAS menciptakan segala fasilitas yang dimaksudkan untuk semakin memudahkan para pembayar pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Penyederhanaan segala bentuk permohonan, prioritas dalam pelayanan front line sampai penyediaan platform layanan berbasis elektronik diciptakan untuk memanjakan para pembayar pajak dalam membayar pajaknya. Terhadap pembayar pajak yang terprofil dalam irisan Unaware, IRAS memberikan penekanan pada upaya pengingatan dan peningkatan kesadaran akan kewajiban-kewajiban perpajakan pembayar pajak. Upaya ini diwujudkan dalam bentuk pengiriman pesan pengingat melalui teknologi short massage service (SMS), sosialisasi berkesinambungan, komunikasi publik yang lebih intens serta dialog-dialog dengan asosiasi, perkumpulan dan pemangku kepentingan lainnya.

Penanganan lebih keras diperuntukkan bagi para pembayar pajak di dua irisan terbawah. Terhadap pembayar pajak di kelompok Negligent, IRAS memberi penekanan pada pendeteksian atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan pembayar pajak. Atas kesalahan-kesalahan tersebut, IRAS akan melakukan upaya pencegahan agar kesalahan tidak terulang kembali. Terhadap mereka yang terprofil dalam Errant, IRAS tanpa segan memberlakukan tindakan tegas berupa pengenaan penalti, investigasi, penuntutan di muka pengadilan serta perlakuan hukum lainnya agar mereka jera dan tidak menjadi teladan buruk bagi pembayar pajak lainnya.

Otoritas perpajakan Singapura meyakini bahwa besarnya komposisi pembayar pajak yang duduk di dua irisan teratas akan mampu memberikan pengaruh pada perilaku masyarakat secara keseluruhan. Dominasi para pembayar pajak yang taat diyakini mampu menciptakan tekanan pada kelompok kecil yang abai dan sengaja menghindar, untuk kemudian mengubah perilaku mereka menjadi pembayar pajak yang patuh. IRAS menjaga bentuk diagram agar tetap berbentuk diagram terbalik dengan memfasilitasi semua urusan perpajakan para penghuni Voluntarily Compliant. IRAS juga giat mengedukasi para Unaware agar naik derajat menjadi Voluntarily Compliant, minimal tidak abai dengan kewajibannya atau malah turun menjadi golongan Negligent. Semakin besar komposisi irisan pertama, diyakini akan memberikan tekanan yang semakin besar untuk para pembayar pajak yang tidak patuh dan sengaja menghindar.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia menganut model kepatuhan pajak yang dirumuskan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Centre for Tax Policy and Administration. Model yang juga dipergunakan oleh Australian Tax Office dan New Zealand Revenue Department ini hampir mirip dengan piramida yang dianut IRAS, tetapi dalam posisi yang tidak terbalik. 

Puncak piramida ditempati oleh para wajib pajak yang memang sengaja tidak patuh. Posisi di bawahnya ditempati oleh para wajib pajak yang mencoba untuk tidak patuh. Level berikutnya ditempati oleh wajib pajak yang berusaha untuk patuh, memiliki keinginan besar untuk patuh, namun tidak memiliki cukup sumber daya dan informasi untuk mewujudkannya.

Di dasar piramida, ditempati oleh golongan wajib pajak yang sudah patuh pajak secara sukarela. Golongan terakhir ini merupakan golongan ideal perilaku pembayar pajak yang diinginkan oleh setiap negara. Dengan tingkat kepatuhan yang tinggi, biaya pemungutan pajak pun dapat ditekan agar tetap rendah rendah, sesuai dengan asas efisiensi dalam pemungutannya.

Baru-baru ini Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) bekerja sama dengan Pusat Data dan Analisa Tempo mengadakan survei. Melalui survei yang melibatkan 2000 responden dari 30 provinsi ini, CITA ingin mengukur tingkat kesadaran (awareness) dan tingkat kepedulian masyarakat tentang pentingnya pajak. Dan hasilnya 96% responden menyepakati bahwa pajak merupakan kewajiban moral yang harus dipenuhi. Sementara jumlah responden yang menyatakan telah menghitung pajak dengan benar, melapor SPT, dan membayar pajak tepat waktu serta bersedia memberikan data apabila diminta, mencapai 1800-an responden atau sekitar 90% dari total responden.

Memang tidak ada keterkaitan langsung antara hasil survei ini dengan piramida perilaku wajib pajak yang dirumuskan OECD maupun IRAS. Tapi setidaknya hasil penelitian ini membawa kabar gembira, bahwa wajib pajak yang bisa dikategorikan sebagai Voluntary Compliant telah mencapai angka 90%. Artinya, Indonesia sudah memiliki pondasi yang cukup kuat untuk memulai piramida kepatuhan perpajakannya sendiri.

Kabar gembira lainnya adalah, otoritas perpajakan Indonesia sedang melakukan reformasi perpajakan, di mana salah satu produk andalannya adalah manajemen penanganan wajib pajak berbasis risiko atau Compliance Risk Management (CRM). Program yang saat ini sedang diujicobakan di 16 kantor pajak terpilih ini nantinya diharapkan mampu memetakan segmen wajib pajak sesuai perilakunya, sehingga DJP mampu memberikan treatment yang tepat dan akurat sesuai yang dicontohkan oleh IRAS dan dimodelkan oleh OECD.

Produk lain yang tak kalah menarik dari reformasi perpajakan ini adalah pembenahan regulasi perpajakan. Pembenahan ini memiliki tujuan akhir menyediakan peraturan perpajakan yang lebih memberikan kesederhanaan, kemudahan, kepastian hukum, keadilan, dan mendorong perekonomian. Tujuan dari pembenahan regulasi ini merupakan implementasi dari filosofi piramida OECD, yang mensyaratkan kebijakan-kebijakan yang diluncurkan harus mampu menciptakan dorongan ke lapisan piramida paling bawah, lapisan para pembayar pajak yang patuh dengan sukarela. Sehingga tidak ada lagi pernyataan ketidakpatuhan atau penghindaran pembayaran pajak dengan alasan terlalu ribetnya aturan yang ada.

Program reformasi perpajakan masih akan bergulir setidaknya sampai tahun 2020. Harapan besar kita sematkan pada pundak DJP dan seluruh insan di dalamnya, agar reformasi perpajakan berhasil dan dapat kita rasakan bersama manfaatnya dalam wujud Indonesia yang lebih mandiri. Sebagai penutup, saya kutip pernyataan seorang pebisnis sekaligus senator  Amerika Serikat. Manfaat reformasi perpajakan harus mengalir kepada mereka yang paling membutuhkannya, yaitu keluarga pekerja yang kesulitan berjuang untuk mencapai atau tetap (berada) di kelas menengah (Raja Krishnamoorti). (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.