Oleh Chandra Budi

 

Tampaknya, permasalahan perpajakan untuk film impor masih belum terselesaikan. Menteri Keuangan Agus Martowardjojo menegaskan bahwa Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sedang menyusun formulasi pajak tunggal (single tax) untuk film impor (1/6/2011). Sebelumnya, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik dalam berbagai kesempatan telah mengemukakan bahwa pajak tunggal film impor tersebut sudah menjadi kesepakatan antara Menko Perekenomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan.

 

Dalam kasus pajak film impor, awalnya yang menjadi pokok permasalahan adalah perhitungan ulang terhadap dasar pengenaan pajak dalam rangka impor-nilai impor-yang mana nilai yang digunakan selama ini belum memasukkan unsur royalti. Akibatnya, terbitlah surat ketetapan pajak yang menjadi polemik dan sengketa.

 

Karena kasus pajak film ini melibatkan berbagai pihak dan kepentingan, bisnis dan nonbisnis, permasalahan ini telah menjadi perhatian nasional. Untuk menyelesaikan kasus ini, pemerintah berinisiatif menyusun tarif pajak tunggal khusus bagi film impor. Permasalahannya, apakah pengenaan tarif pajak tunggal untuk film impor ini memungkinkan dari sisi sistem perpajakan di Indonesia? Bukankah ada beberapa jenis pajak yang dikenakan dalam rangka impor film yang masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri?

 

Dalam rangka impor barang dari luar negeri ke Indonesia secara umum ada tiga jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah. Ketiga jenis pajak tersebut adalah Bea Masuk (BM), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Impor. Jenis-jenis pajak tersebut memiliki ciri khas tersendiri, termasuk otoritas pengelolanya.

 

Bea Masuk diadministrasikan oleh Ditjen Bea Cukai, sedangkan PPh 22 Impor dan PPN Impor menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak untuk mengelolanya. Namun, dalam praktik pemungutannya, untuk kepentingan efektivitas dan efisiensi, ketiga jenis pajak tersebut dipungut sekaligus pada saat terjadi impor barang. Di kalangan para importir sendiri, ketiga jenis pajak tersebut sering kali dikenal sebagai pungutan impor atau Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).

 

Maka, untuk menggabungkan ketiga jenis pajak tersebut menjadi pajak tunggal tidaklah begitu sulit. Pemerintah dapat mengemas jenis-jenis pajak dalam rangka impor tersebut menjadi pajak tunggal, yang sebenarnya gabungan dari ketiga jenis pajak tersebut. Karena dasar pengenaan pajaknya juga sama, perhitungannya menjadi sangat mudah.

 

Kalau saat ini tarif BM sebesar 10 persen, PPh 22 Impor 2,5 persen, dan PPN Impor 10 persen, total tarif yang dikenakan adalah sebesar 22,5 persen. Pajaknya dapat langsung dihitung dengan mengalikan 22,5 persen dengan dasar pengenaan pajak. Dapat saja jenis pajak tunggal ini dinamakan PDRI. Langkah ini akan semakin mudah terlaksana karena selama ini dalam praktik pemungutannya, ketiga jenis pajak tersebut sebenarnya sudah menjadi satu walaupun administrasi penerimaannya dikelola oleh dua otoritas pemungutan pajak, Ditjen Pajak, dan Ditjen Bea Cukai.

 

Jenis pajak lain

 

Selain ketiga jenis pajak tersebut, sebenarnya masih ada jenis pajak lain yang dikenakan dalam keseluruhan rangkaian proses impor film sampai dapat ditayangkan di bioskop-bioskop. Pajak tersebut meliputi PPN pemanfaatan barang kena pajak (bkp) tidak berwujud dan PPh atas royalti. Untuk menganalisis kemungkinan jenis-jenis pajak ini dapat digabungkan menjadi bagian dari pajak tunggal film impor, perlu diketahui terlebih dahulu definisi dan tata cara pengenaan jenis-jenis pajak tersebut.

 

Undang-Undang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas pemanfaatan bkp tidak berwujud dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Pertanyaannya adalah apakah penggunaan film termasuk dalam definisi bkp tidak berwujud? Dalam penjelasan undang-undang tersebut nyata disebutkan bahwa penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio adalah termasuk dalam pengertian bkp tidak berwujud.

 

Dengan demikian, ketika terjadi impor film, atas transaksi tersebut juga dikenakan PPN pemanfaatan bkp tidak berwujud dengan tarif 10 persen. Kewajiban untuk memungut dan menyetorkan PPN tersebut ke negara dilakukan oleh pihak yang memanfaatkan bkp atau film, dalam hal ini adalah importir film. Tentunya, apakah ini turut menjadi tanggungan pihak importir atau tidak tergantung kesepakatan kontrak antara produser film tersebut dan importir. Kemungkinan besar PPN ini menjadi beban pihak importir yang berakibat seakan-akan ada tambahan pajak baru lagi.

 

Selain itu, atas royalti yang dibayarkan kepada pihak produser film di luar negeri, pihak importir diharuskan memotong pajak atas royalti tersebut atau biasa dikenal sebagai PPh Pasal 26 dengan tarif 20 persen. Lazimnya, ketika dilakukan impor film juga dibayar royalti atas film tersebut sehingga pihak importir dapat langsung memotong pajak atas royaltinya. Namun, dalam praktik selama ini, ada royalti yang dibayarkan setelah beberapa lama tergantung dari berapa banyak kopi filmnya.

 

Prinsipnya, pajak royalti dibebankan pada bagian produser, tetapi yang wajib memotong adalah pihak importir. Dapat saja pajak royalti ini dibebankan kepada pihak importir tergantung kesepakatan antara produser dan importir. Juga dapat saja pihak importir salah persepsi tentang pajak royalti ini seakan-akan beranggapan bahwa pajak royalti ini merupakan jenis pajak baru yang dibebankan pada mereka.

 

Penerapan pajak tunggal tentunya harus melewati kajian yang sangat mendalam. Karena, tujuan yang hendak dicapai sebenarnya adalah pengenaan tarif yang lebih kompetitif dari yang berlaku sekarang. Dari segi aturan perpajakan, memperlakukan tarif tunggal khusus yang lebih rendah, akan mengalami kesulitan.

 

Pajak Pertambahan Nilai walaupun memungkinkan untuk diturunkan menjadi 50 persen, tetapi menganut prinsip tarif tunggal yang berarti tarif ini juga berlaku untuk seluruh transaksi dan sektor yang ada. Yang ada celah untuk disesuaikan tarifnya adalah bea masuk dan PPh Pasal 22 impor, tetapi ini harus diyakini manfaatnya agar tidak terjadi kecemburuan pada sektor-sektor lain. (Sumber: Republika, 4 Juni 2011)