Merawat Integritas

Oleh: Slamet Rianto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Integritas adalah salah satu dari Nilai Organisasi Kementerian Keuangan. Nilai tersebut berada pada urutan pertama sebelum Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Integritas amat strategis posisinya. Nilai organisasi ini erat kaitannya dengan kebebasan dari tindakan korupsi. Sebagai organisasi pelayan publik, Direktorat Jenderal Pajak tak lepas dari tekad ini.

Organisasi pengumpul uang pajak ini memang punya sejarah kelam terkait korupsi. Menyebut Gayus hanyalah setitik nila dari banyak tetesan nila lain yang mengeruhkan belanga ini. Gayus bukan lagi seorang mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Ia bahkan sudah menjadi semacam merk generik bagi kejahatan kerah putih di negeri ini.

Kenapa Integritas menjadi demikian penting bagi organisasi ini? Sebab di dalamnya melekat nilai dasar bagi seorang Aparat Sipil Negara (ASN). ASN adalah seseorang yang secara sukarela mengikatkan dirinya kepada pelayanan publik negeri ini. Kepadanya negara mempercayakan sejumlah kewenangan dan tanggung jawab. Atas itu lalu ia berhak menerima imbalan berupa penghasilan. Menjadi ASN selalu berarti tersematnya sebuah amanah di pundak seseorang.

Tolok ukur terjaganya amanah tersebut adalah tingkat integritas. Runtuhnya integritas menjadi awal atau pemicu terjadinya kecurangan, bahkan kejahatan (fraud). Hal inilah yang benar-benar dijaga oleh organisasi. Terbayang kekacauan yang akan terjadi jika nilai organisasi yang satu ini digerogoti oleh pegawainya sendiri.

Maka peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) selalu dijadikan momentum untuk mengingat kembali nilai organisasi yang satu ini. Caranya amat beragam. Paling umum adalah pemberian ceramah, pemasangan banner, lomba tematik, dan sebagainya. Peringatan yang jatuh setiap tanggal 9 Desember itu memang laik dijadikan sarana pengingat. Pengingat betapa korupsi adalah tikus penggerogot bangunan negeri mana pun.

Lalu apakah cukup dengan peringatan Hakordia lantas semua masalah integritas selesai? Tentu saja tidak. Menarik untuk mengkaji latar belakang tindak pidana rasuah ini. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat (ASN) dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa latar belakang korupsi adalah faktor ekonomi/ sosial yaitu hadiah.

Secara normatif, definisi korupsi pun mengarah pada faktor ekonomi. Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 mengatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dua definisi di atas rasanya cukup untuk menarik benang merah latar belakang tindak pidana korupsi, yaitu motif ekonomi. Dengan begitu, pemerintah bisa memitigasi tindakan tak terpuji ini.

Langkah yang diambil Kementerian Keuangan untuk memperbaiki struktur penghasilan ASN di bawahnya patut diacungi jempol. Perbaikan itu bertujuan menghilangkan motif ekonomi. Tak ada lagi permakluman korupsi karena dapur tidak mengepul.

Lalu cukupkah dengan perbaikan struktur penghasilan tersebut? Sudah tentu tidak cukup. Sebuah sikap harus selalu dirawat agar selalu memiliki kadar keteguhan yang tebal. Merawatnya tak cukup hanya setahun sekali setiap tanggal 9 Desember. Integritas haruslah jadi bagian tak terpisahkan dari nafas kita sepanjang hari. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.