Mbah Pardjo, Potret Lansia yang Masih Berdaya

Oleh: Suyani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Jemari tangannya masih terampil mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela konblok pelataran parkir Kantor Pelayanna Pajak (KPP) Pratama Kebumen. Sesekali ia menggunakan alat bantu cangkul kecil. Peluh yang mengalir tak dihiraukannya. Di lain waktu, ia sibuk membersihkan masjid yang berdiri di halaman belakang KPP. Menyedot debu, menyapu, dan mengepel area masjid yang menjadi sarana ibadah pegawai dan umat muslim di area sekitar KPP. Sebelumnya, dimulai sejak pukul 05.30 WIB, ia sudah menyelesaikan pekerjaannya membersihkan ruang kepala kantor, sekretariat, dan ruang rapat. Begitulah keseharian Mbah Pardjo, petugas kebersihan (cleaning service) di KPP Pratama Kebumen. Kebersihan dan kerapian kantor pajak yang pernah meraih predikat Juara I Lomba Pelayanan Tahun 2013 se-Kanwil Jateng II ini menjadi tugas Mbah Pardjo dan rekan-rekannya. Mbah Pardjo adalah potret lansia yang masih berdaya.
Pria kelahiran Kebumen, 60 tahun silam ini menjadi petugas kebersihan di KPP Pratama Kebumen sejak tahun 1992. Itu artinya, sampai dengan saat ini Mbah Parjo telah 26 tahun bekerja di kantor ini. Dibandingkan dengan 6 rekannya sesama petugas kebersihan, ia termasuk petugas paling senior. Sebelum bergabung sebagai petugas kebersihan, kakek dari empat orang cucu ini berprofesi sebagai tukang becak.
Kisahnya menjadi petugas kebersihan bermula dari kebiasaan Mbah Pardjo dan becaknya mangkal di depan kantor KPP Pratama Kebumen. Dari situlah ia dikenal akan kecekatan dan kejujurannya oleh pegawai di lingkungan KPP. Ketika ada informasi KPP membutuhkan tenaga kebersihan, Mbah Pardjo memberanikan diri mendaftar. Singkat kata, ia diterima dan masih bekerja sampai dengan saat ini.
Saksi Hidup Transformasi Kantor Pajak
Lebih dari dua dekade bekerja, Mbah Parjo mengaku sudah mengalami 12 kali pergantian pimpinan. Bapak dari tujuh anak ini hafal betul nama-nama pimpinan yang pernah menjadi Kepala Kantor di tempatnya bekerja. Ia adalah saksi hidup perjalanan reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Sebagai instansi percontohan dalam hal reformasi birokrasi, perjalanan reformasi birokrasi di DJP dimulai sejak tahun 2002. Terhitung sejak 24 November 2008, kantor pajak di seluruh Indonesia menerapkan sistem modernisasi. Reformasi birokrasi di DJP masih terus berlanjut. Kurun waktu tahun 2009 sampai dengan 2014 adalah era reformasi perpajakan jilid II. Tahun 2016 reformasi ditandai dengan diterbitkannya Undang-undang Pengampunan Pajak. DJP terus berbenah untuk mewujudkan diri sebagai institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Reformasi perpajakan jilid III dicanangkan sejak tahun 2017 hingga 2020. Dengan menyasar 5 pilar reformasi perpajakan yaitu organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis serta peraturan perundang-undangan, reformasi perpajakan jilid III menitikberatkan pada konsolidasi, akselerasi, dan kontinuitas reformasi perpajakan.
Mbah Pardjo dengan kesederhanaannya, menyaksikan perubahan yang terjadi di kantor pajak. Ia melihat dan merasakan perubahan yang terjadi pada institusi ini. Menurutnya, melakukan kewajiban perpajakan di kantor pajak sekarang menjadi lebih mudah. Jika sebelum era reformasi ada kesan mengurus pajak pasti dipersulit, saat ini semua urusan dipermudah. Jika dulu membuat NPWP saja harus membayar ke oknum petugas, saat ini semua layanan gratis. Bahkan selesai dalam hitungan menit tanpa dipersulit. Salah seorang anaknya mengurus NPWP secara online. Tak perlu jauh-jauh pulang kampung untuk mengurus NPWP, cukup klik urusan beres dengan e-registration. “Lapor pajak juga bisa dari rumah, tapi saya kurang paham,” tambahnya. Yang ia maksud adalah e-filing, layanan pelaporan SPT secara online yang diusung DJP.
Perubahan tak hanya berlaku bagi pegawai institusi yang menyokong 80 persen penerimaan negara ini. Perubahan juga mengkondisikan agar semua pemangku kepentingan turut berbenah. Seperti halnya Mbah Pardjo. “Harus disiplin,” begitu katanya. Penanda kehadiran petugas kebersihan juga turut menggunakan mesin absensi finger print. Standar pemakaian seragam dan atribut seperti sepatu dan tanda pengenal juga diterapkan. Tetap stand by di kantor mulai dari jam 6 pagi sampai dengan jam 6 sore adalah suatu keharusan.
Nrimo Ing Pandum
Falsafah Jawa ini kurang lebih berarti bahwa dalam menghadapi lika-liku kehidupan, orang Jawa diajarkan agar selalu ikhlas dan menerima, tidak menggerutu atas apa-apa yang tidak dimilikinya. Bagi mereka yang telah berhasil menyelami falsafah ini, tidak akan ada lagi kata iri apalagi dengki. Mbah Pardjo adalah salah satu contohnya. Ia memilih untuk hidup secukupnya dengan gaji yang ada. Ibaratnya, jika dengan mendapat dua saja ia sudah bisa hidup, maka ia tidak akan mengejar untuk mendapat lima.
Menyikapi perbedaan besaran gajinya jika dibandingkan dengan pegawai pajak yang konon katanya cukup besar, dengan bijak ia berkata: “Setiap orang sudah ditakar rejekinya masing-masing oleh Gusti Alloh. Saya rejekinya segini, ya Alhamdulillah. Pegawai segitu, saya nderek bingah (ikut senang). Kalau saya iri, saya berarti tak tahu diri”.
Bekerja lima hari dalam seminggu dengan jam kerja 12 jam sehari, Bapak tujuh anak ini mengaku digaji Rp 1.875.000 per bulan. Setiap hari ia akan hadir di tempatnya bekerja. Hari Sabtu atau Minggu, ia akan bergiliran piket dengan rekan-rekannya. Walaupun relatif kecil, dengan gajinya tersebut Mbah Pardjo berhasil mengentaskan keempat anaknya menamatkan SMK. Tiga anaknya yang lain tak bisa mencicipi bangku SMK karena keterbatasan ekonomi. Saat masih menjadi pengayuh becak, penghasilan Mbah Pardjo hanya 4.000 rupiah per hari. Hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan pangan ketujuh anaknya saat itu.
Nrimo Ing Pandum tidak berarti pasrah. Mbah Pardjo disela-sela tugasnya juga memilah sampah. Sebelum dibuang, setiap hari sampah dari kantor ia pilah. Sampah plastik ia pisah dan dikumpulkan. Begitupun dengan kardus. Jika sudah terkumpul banyak, ia baru akan menjual sampah plastik dan ke penampung. Dari aktifitas memilah sampah tersebut, dalam sebulan ia bisa memperoleh 125.000 rupiah.
Keinginan yang Akan Segera Terwujud
Dua puluh enam tahun bekerja, Mbah Pardjo tetap setia dengan sepeda onthel-nya. Jika dulu ia mengayuh becak, saat ini ia berangkat dan pulang bekerja dengan mengayuh sepeda onthel tuanya. Bahkan telepon seluler pun ia tak punya. Jika pegawai kantor menghendaki bantuannya, ia dipastikan ada diruangannya. Ruang kecil di pojok masjid yang ditempati bersama enam rekan lainnya. “Gak kepengin ganti motor, Mbah? Gak mau beli HP, Mbah?,” begitulah pertanyaan yang kerap dilontarkan kepadanya.
Mbah Pardjo tak bergeming. Bisa panjang umur, tetap sehat dan bisa terus bekerja dengan baik adalah sebuah nikmat tak ternilai. Menurutnya pula, bisa leluasa melaksanakan ibadah ditempat kerja juga merupakan anugerah. Ia biasa menjadi muadzin di masjid kantor tempatnya bekerja maupun di lingkungan rumahnya. Baginya, bekerja juga ibadah asalkan dilakukan dengan ikhlas. “Tak ada pengalaman yang tidak mengenakan selama saya bekerja disini. Saya melakukan semuanya dengan senang. Dengan bekerja disini, anak-anak saya bisa lulus SMK, sekarang sudah bekerja semua. Saudara saya juga jadi banyak, datang dari seluruh Indonesia. Terima kasih atas kebaikan pegawai di kantor ini,” ungkapnya.
Ditanya akan harapannya pada kantor pajak, ia hanya berharap agar dirinya tetap bisa bekerja di kantor ini. “Jika masih diijinkan, saya masih sanggup untuk bekerja,” tambahnya. Adakah keinginannya yang ingin ia raih? Mbah Pardjo dengan semangat menjawab, ”Saya ingin pergi ke tanah suci. Sebenarnya, saya bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit dari gaji bulanan. Tapi, ada dua anak saya yang belum berumah tangga, yang masih jadi tanggung jawab saya."
Mbah Pardjo boleh berlega hati. Dua minggu silam, pengurus masjid Ikhsanul Hikmah KPP Pratama Kebumen mengabarinya untuk menyiapkan dokumen guna mengurus paspor. Berkat dedikasinya, ia terpilih sebagai jamaah dari pegawai non PNS yang berangkat umroh ke tanah suci tahun ini. Program ini diinisiasi oleh pengurus Masjid Ikhsanul Hikmah dan dibiayai dari sumbangan para jamaah masjid.
Mbah Pardjo adalah sedikit dari lansia yang tetap sehat dan bugar di usianya yang telah senja. Keinginannya untuk tetap berdaya di usia tua cukup sederhana. Di negara maju seperti Singapura dan Jepang, pemerintahnya memberdayakan warga senior agar bisa tetap bekerja di usia tua. Prof Dr dr Siti Setiati SpPD-KGER Mefid FINASI, Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia, mengatakan indikator negara terhormat adalah negara yang menghargai warga senior dan membuat sistem yang berpihak pada lansia.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
- 231 kali dilihat