Pengacara atau yang secara formal disebut sebagai advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang - undang No. 18 Tahun 2003.

Definisi ini dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Kegiatan yang dilakukan oleh pengacara tentunya erat kaitannya dengan pemberian jasa hukum. Untuk itu kembali kita dapat merujuk kepada Undang-Undang yang sama yang mendefinisikan bahwa Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 ayat 2 UU No 18 Tahun 2003)

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP No. 28 Tahun 2007)
  3. Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh No. 36 Tahun 2008)
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pembayaran Dan Penyetoran Pajak.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT).
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/Pj/2016 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan/Atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Penghasilan Pengacara :

Atas jasa yang dilakukan oleh pengacara, tentu ada imbalan yang dibayarkan oleh pihak ketiga yang menjadi Kliennya. Ada beberapa Referensi mengenai Penghasilan yang diterima oleh Pengacara /advokat antara lain :

1. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien. (Pasal 1 ayat 7 UU No 18 Tahun 2003)

2. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya. (Pasal 21 ayat 1 UU No 18 Tahun 2003)

3. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. (Pasal 21 ayat 2 UU No 18 Tahun 2003)

Aspek Perpajakan secara umum :

Dilihat dari sudut pandang perpajakan, advokat atau pengacara adalah subyek pajak Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan, obyek pajak, karena memiliki keahlian khusus.

Karena sifatnya adalah Wajib Pajak Orang Pribadi, maka dalam ketentuan perpajakan, pengacara yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya, lebih tepat digolongkan dalam kategori Pekerjaan Bebas, hal ini sesuai dengan definisinya yaitu :

“Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja” (Pasal 1 ayat 24 UU No 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan)

Aspek Pemotongan / Pemungutan :

Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Serta Penerima Penghasilan Yang Dipotong Pajak (BAB X Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008)

1. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Pasal 22 ayat 1 PMK No 252/PMK.03/2008) .

2. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan kalender (Pasal 22 ayat 4 PMK No 252/PMK.03/2008).

3. Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak (Pasal 22 ayat 8 PMK No 252/PMK.03/2008).

Dalam kaitannya dengan PPh Pasal 21, Pengacara merupakan tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang masuk dalam kategori Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa. (sesuai dengan Pasal 3 huruf c angka 1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 16/PJ/2016).

Untuk itu Pemotongan PPh Pasal 21 dihitung dengan cara mengalikan Tarif PPh sesuai Pasal 17 UU PPh dengan 50 persen dari jumlah penghasilan bruto (Pasal 10 huruf c Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER – 16/PJ/2016).

Secara ringkas dapat ditampilkan sebagai berikut : 

PPh Pasal 21= Tarif PPh (Pasal 17) x 50% x Penghasilan Bruto

Kewajiban Perpajakan yang melekat pada Pengacara secara pribadi.

Seperti layaknya kewajiban perpajakan secara Umum dengan asas Self Assesment System, Pengacara memiliki 4 kewajiban yaitu Daftar, Hitung, Bayar, dan Lapor.

Daftar : Pengacara yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (Pasal 2 ayat 1 UU KUP No 28 Tahun 2007)

Hitung : Pengacara diberikan kesempatan untuk menghitung sendiri Pajak terutangnya berdasarkan penghasilan yang diperoleh sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Bayar : Pengacara harus menyetorkan Pajak yang telah dihitung sendiri, melalui tempat pembayaran yang telah diatur, dan sesuai dengan jatuh tempo pembayaran yang telah ditetapkan.

Lapor : Pengacara harus melaporkan kewajiban perpajakannya baik dengan SPT masa maupun SPT Tahunan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Penghitungan Penghasilan Neto :

Penghasilan Neto dari kegiatan usaha / pekerjaan bebas dapat diperoleh dengan 2 cara yaitu :

1. Menyelenggarakan pembukuan (Pasal 28 ayat 1 UU KUP No. 28 tahun 2007)

2. Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Pasal 28 ayat 2 UU KUP No. 28 tahun 2007)

Untuk Pengacara yang menyelenggarakan pembukuan penghitungannya adalah sebagai berikut (Pasal 6 ayat 1 UU PPh No 36 Tahun 2008):

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto – Biaya 3M

Keterangan :

Penghasilan Bruto : Seluruh Penghasilan yang diterima pengacara sehubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagai pengacara

PPh Ps 21 = Tarif PPh (Pasal 17) x 50% x Ph Bruto

Biaya 3M (Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara Penghasilan) : biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh, menagih dan memeilhara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Untuk Pengacara yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto rumusnya adalah :

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto x Norma

Keterangan :

Penghasilan Bruto : Seluruh Penghasilan yang diterima pengacara sehubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas sebagai pengacara Norma untuk pekerjaan bebas pengacara (sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor PER - 17/PJ/2015 Tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto)

No Daerah Prosentase
1 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak 51 %
2 ibukota propinsi lainnya; 50 %
3 daerah lainnya. 50 %

Pengacara dapat menggunakan Norma dengan syarat : (pasal 14 ayat 2 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008)

1. Jumlah peredaran bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas kurang dari Rp 4.800.000.000, - setahun

2. Memberitahukan penggunaan Norma kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.

Kewajiban Pelaporan Pajak

Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak (Pasal 9 PMK 243/PMK.03/2014)

Dalam hal Pengacara bertindak untuk dan atas nama persekutuannya, maka Penghasilan yang diperoleh tentunya merupakan penghasilan yang diperoleh persekutuan tersebut sebagai Badan Usaha (Firma). Untuk itu Pemberi Penghasilan (Klien) harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% atas imbalan jasa Hukum yang dilakukan (Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015)

Pemberi penghasilan harus melakukan penyetoran atas PPh Pasal 23 tersebut paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (Pasal 2 angka 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014) dan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir (Pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014). 

Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus

Hak ini merupakan konsekuensi logis dari sistem self assessment yang mewajibkan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri. Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut tentu hal dimaksud merupakan prioritas dari seluruh hak Wajib Pajak yang ada.

• Hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT)

Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan, dengan syarat belum melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak dan fiskus belum melakukan tindakan pemeriksaan.

• Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT ke Dirjen Pajak dengan dengan menyampaikan alasan-alasan secara tertulis sebelum tanggal jatuh tempo.

• Hak untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak kepada Dirjen Pajak secara tertulis disertai alasan-alasannya. Penundaan ini tidak menghilangkan sanksi bunga.

Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak

Wajib pajak yang mempunyai kelebihan pembayaran pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atau restitusi.

• Hak mengajukan keberatan dan banding

Wajib Pajak yang merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar. Jika Wajib Pajak tidak puas dengan keputusan keberatan, Wajib pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

• Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak

ajib pajak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan atas segala informasi yang telah diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka melaksanakan ketentuan perpajakan. Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain :

1. Surat pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lain yang dilaporkan oleh wajib pajak.

2. Data yang bersifat rahasia

3. Dokumen atau rahasia lain sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Tetapi dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau kerja sama lain dengan instansi pemerintahan, keterangan tentang wajib pajak ini dapat diperlihatkan kepada pihak tertentu melalui ketetapan oleh Menteri Keuangan.

  • Kewajiban mendaftarkan diri Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan NPWP. Disamping melalui KPP dan KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-registration (e-reg).
  • Kewajiban mengisi dan menyampaikan SPT Wajib Pajak wajib melakukan penghitungan, pembayaran dan pelaporan pajak terutang serta menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pajak tempat WP terdaftar atau melalui saluran lain yang ditentukan oleh DJP.
  • Kewajiban dalam hal diperiksa Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk:
  1. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis pemeriksaan kantor;
  2. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya,dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektorinik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek pajak yang terutang pajak. Khusus untuk pemeriksaan lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik.
  3. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberikan bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan;
  4. Menyampaika tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahunan Hasil Pemeriksaan;
  5. Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis pemeriksaan kantor;
  6. Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tertulis yang diperlukan.
  • Kewajiban memberi data
    • Sesuai dengan pasal 35 A UU KUP, setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP.
    • Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), sedangkan untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat atau pihak lain dipidanan dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).

Penghasilan neto atas pekerjaan bebas pengacara yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.

Penghasilan neto ini dapat dihitung baik dengan Pembukuan maupun dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (PPh Pasal 25). Penghasilan neto (Gaji, tunjangan, bonus) yang diberikan atas pekerjaan sebagai karyawan tetap pada suatu perusahaan atau pemberi kerja (PPh Pasal 21 atas pegawai tetap)

50 persen dari penghasilan bruto yang dibayarkan oleh pemberi penghasilan/klien (PPh Pasal 21 atas Bukan Pegawai)

Contoh kasus

Contoh penghitungan :

Tuan Superman SH, LLM (memiliki NPWP) menerima honorarium sebagai pengacara dari klien PT. Batman sebesar Rp100.000.000,

- Penghitungan PPh Pasal 21 :

5% x (50% x Rp100.000.000,-)

5% x 50.000.000,- = Rp.250.000,00

PT Batman harus menyetorkan PPh Pasal 21 tersebut paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir (Pasal 2 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014) dengan Kode Akun Pajak 411121 dan Kode Jenis Setoran 100.

PT Batman harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir (Pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014)

PT Batman juga wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan memberikan bukti pemotongan tersebut kepada Tuan Superman SH, LLM

Contoh penghitungan kewajiban PPh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengacara yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan bebas :

Tuan Superman SH, LLM bertempat tinggal di Jakarta (memiliki NPWP) pada Tahun 2018 menerima penghasilan dengan data sebagai berikut :

1. Penghasilan neto (gaji, tunjangan, bonus) sebagai Manajer Bagian Hukum (pegawai tetap) pada sebuah Firma Hukum, setelah dikurangi biaya jabatan (Rp6.000.000,00) dan iuran pensiun(Rp6.000.000,00) (sesuai formulir 1721-A1) sebesar Rp. 228.000.000,- telah dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2000.000,-

2. honorarium (penghasilan bruto) sebagai pengacara bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya dalam setahun sebesar Rp 200.000.000,-

Tuan Superman sudah menikah dan memiliki 1 anak, telah membayarkan angsuran PPh Pasal 25 sebesar Rp. 1000.000,

- Perhitungannya sebagai berikut :

1. Penghasilan Neto dari:

a. kegiatan usaha dan pekerjaan bebas 51% x Rp. 200.000.000 Rp 114.000.000

b. pekerjaan Rp 228.000.000

c. dalam negeri lainnya Rp 0

d. luar negeri Rp 0 +

Jumlah Penghasilan Neto Rp 342.000.000

dikurangi:

2. Zakat/ sumbangan keagamaan yang wajib Rp 0

3. Kompensasi Kerugian Rp 0

4. Penghasilan Tidak Kena Pajak :

Untuk Wajib Pajak Sendiri Rp 54.000.000

Tambahan untuk WP Kawin Rp 4.500.000

Tambahan untuk 1 tanggungan Rp 4.500.000 +

Jumlah PTKP Rp 63.000.000

Jumlah Pengurang Penghasilan Neto Rp 63.000.000

Penghasilan Kena Pajak Rp 279.000.000

5. PPh Terutang :

a. 5% x 50.000.000 = Rp. 2.500.000

b. 15% x 200.000.000 = Rp. 30.000.000

c. 25% x 29.000.000 = Rp. 7.250.000

Jumlah PPh Terutang = Rp. 39.750.000

6. Kredit Pajak

a. PPh yang dipotong/ dipungut oleh pihak lain • PPh Ps 21 sesuai bukti potong 1721-A1 Rp. 2.000.000

b. PPh Pasal 25 yang dibayar sendiri Rp. 1.000.000

Total Kredit Pajak Rp 3.000.000

7. PPh Kurang Bayar (Pasal 29) Rp. 36.750.000

PPh Kurang Bayar merupakan PPh Pasal 29 yang harus dibayarkan dengan Kode Jenis Pajak 411125 dan Kode Jenis Setoran 200 sebelum SPT Tahunan PPh Orang Pribadi disampaikan (Pasal 3 ayat 1 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014).

Angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya dihitung sebesar Dihitung berdasarkan:

a. 1/12 dari jumlah PPh Terutang : 1/12 x Rp. 39.750.000 = Rp. 3.312.500,-

b. Atau dapat juga dihitung dengan menggunakan perhitungan sendiri

Angsuran PPh Pasal 25 tersebut harus dibayar sendiri oleh Pengacara dalam Tahun berjalan, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, dengan menggunakan Kode akun pajak 411125 dan Kode Jenis Setoran 100 (Pasal 2 ayat (8) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 242/PMK.03/2014).

Tags