
“Dulu, kami pernah dipanggil ke Rengat, Pak. Lalu, awalnya, saya bilang, ‘Serupiah pun kami tak akan bayar!’,” ujar lelaki setengah baya di depan saya sambil terkekeh. Akai, nama lelaki itu, adalah salah seorang tokoh berpengaruh di Sungai Guntung, Kecamatan Kateman, Indragiri Hilir, Riau yang menjadi wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Rengat. Buru-buru ia menambahkan, “Tapi kalau sekarang, berapa pun pajak yang harus dibayar, akan kami bayar.”
“Apa yang membuat Pak Akai dan kawan-kawan di sini berubah?” tanya saya, penasaran. Di sela kepulan asap rokok, ia menjawab, “Waktu kami dipanggil, hitungannya seperti apa kami tak ngerti. Baru setelah semua dijelaskan, kami paham. Pajak itu tak berat, Pak Aan.”
Sungai Guntung—kami biasa menyebutnya Guntung saja—memang beda. “Pajak itu tak berat”. Saya tersenyum dalam hati. Selama 23 tahun bekerja di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sepertinya baru sekali ini kalimat itu saya dengar. Bukan di kota besar, tetapi di sini, sebuah kota kecil yang bahkan belum layak disebut kota. Jaraknya 80 kilometer dari Tembilahan, ibukota Kabupaten Indragiri Hilir. Butuh perjalanan tiga jam naik kapal cepat untuk sampai di sini, melintasi sungai dan laut.
Minggu kedua setiap bulan, kami dari Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Tembilahan membuka layanan di sini. Selama empat hari, dari Senin hingga Kamis, kami melayani wajib pajak melalui gerai pajak yang terletak di dalam pasar. Tidak penuh empat hari, tentu saja. Senin pagi, kami baru berangkat dari Tembilahan. Waktu tempuh dan terbatasnya sarana transportasi membuat kami harus bermalam. Kamis siang, kami sudah harus menunggu kapal untuk kembali. Maklum, kapal sebagai sarana transportasi satu-satunya hanya tersedia di jam tertentu.
Sore hari, setelah gerai pajak tutup, kami melakukan ritual yang menjadi budaya lokal: ngopi. Dari interaksi dengan warga setempat itulah saya memperoleh banyak cerita. Ada sejarah panjang yang mendekatkan kantor pajak dengan warga Sungai Guntung.
Gerai Pajak Sungai Guntung adalah salah satu bukti sejarah panjang hubungan kantor pajak dengan warga. “Awalnya, saya pun tak peduli dengan pajak,” ujar Pak Asan, seorang tokoh berpengaruh lainnya. Akan tetapi, sikap tersebut berubah saat para pegawai KPP Pratama Rengat beberapa kali berkunjung untuk memberikan sosialisasi. Tak hanya itu, KPP Pratama Rengat bahkan membuka pos layanan di Sungai Guntung. Merasa sudah diberikan perhatian, ia tak enak hati apabila tidak melakukan hal serupa.
“Dulu, kantor pajak menyewa ruko di Pasar Ikan. Kita meleleh kalau duduk di dalamnya, Pak. Sudahlah, saya punya satu ruko tak terpakai. Silakan kantor pajak pakai,” ujarnya. Tidak gratis, tentu saja, kami tetap sewa kendati harganya lebih miring. “Saya hanya ingin teman-teman dari kantor pajak nyaman. Lalu, warga Guntung dan sekitarnya dapat dilayani dengan baik,” tuturnya lagi.
Sebagai orang yang terbiasa dengan budaya transaksional, lagi-lagi saya penasaran. “Apa untungnya buat Pak Asan?” tanya saya. Saya tidak sedang berprasangka buruk, hanya saja sudah terbiasa melihat praktik you give something to get something.
“Saya percaya karma, Pak,” tutur Pak Asan. “Saat saya melakukan suatu perbuatan, bisa jadi yang menerima akibatnya bukan saya, tapi keluarga saya, bisa jadi anak saya,” ungkapnya.
Lalu, meluncurlah cerita panjang tentang sejarah hidupnya. Dari seseorang yang tak punya apa-apa, hidup di jalanan, hingga menjadi orang yang berkecukupan. “Tuhan sudah kasih banyak buat saya,” ujarnya lagi. Ah, lagi-lagi sesuatu yang tak biasa. Ada dimensi spiritual yang terlibat di sini.
Tak hanya gerai pajak yang menjadi bukti sejarah panjang hubungan kantor pajak dan warga Sungai Guntung. Di pinggir sungai, sebelum memasuki area pelabuhan, terdapat tugu panjang berbentuk tulisan “Kawasan Taat Pajak Kateman”. Mungkin, “taat pajak” adalah sesuatu yang belum benar-benar terwujud, tetapi tugu itu menunjukkan niat besar yang digagas bersama; pemerintah dan warga. Sesuatu yang belum pernah saya jumpai di tempat lain sebelumnya.
Minggu kemarin, pertengahan Mei 2025, kami kembali membuka layanan di sana. Namun, kali ini ada yang berbeda. Pada hari kedua, Kepala Kantor Wilayah DJP Riau Ardiyanto Basuki datang berkunjung. Beliau telah mengunjungi semua pos layanan terluar di wilayah Riau. Gerai Pajak Sungai Guntung hanyalah salah satunya.
Meskipun demikian, saya berpikir satu hal, Kakanwil harus tahu cerita yang terjalin antara kantor pajak dan warga. Walaupun tahu bahwa tujuan kunjungan ini adalah untuk mengetahui kondisi pegawai-pegawai yang ditempatkan di pos terluar, saya bisikkan kepada beliau, “Pak, kalau bisa, sempatkan ngobrol dengan warga setempat. Guntung ini sesuatu yang berbeda.”
Yang terjadi kemudian adalah anugerah, atau musibah, tergantung sudut pandang. Sungguh, saya tak berpikir akan menjadi sejauh itu. Di sela-sela berkunjung ke kebun dan menikmati kelapa langsung di tempatnya—Indragiri Hilir, Kateman khususnya, adalah salah satu penghasil kelapa terbesar di Indonesia—Pak Asan bertanya kepada Pak Ardi, “Pak, bisakah Gerai Guntung dijadikan pos tetap sehingga layanan pajak bukan hanya diberikan seminggu, tapi penuh sebulan?”
Saya yang mendengarnya terperanjat, “Eh, gimana?”
“Yang datang ke gerai ini bukan hanya warga Guntung, Pak. Ada juga dari Pulau Burung dan sekitarnya. Mereka butuh waktu untuk sampai ke sini. Ada yang sampai harus menyeberang juga. Mereka tahu ada gerai, tapi informasi bukanya tak selalu mereka dapat. Seringkali mereka sudah sampai sini, ternyata gerainya tutup,” ujar Pak Asan.
“Apa yang dibutuhkan supaya bisa buka penuh sebulan, Pak? Air? Tempat tinggal? Kami siap bantu. Dan lagi, Pak, potensi pajak di Guntung ini belum sepenuhnya tergali. Kalau ada pos pajak di sini, saya kira pajaknya masih bisa naik 200 sampai 300 persen,” ujarnya lagi.
Pajak memang selalu berusaha meningkatkan mutu layanan, termasuk mempermudah wajib pajak dalam melakukan kewajibannya. Membuka pos pajak adalah salah satunya. Saya tahu itu. Kakanwil apalagi, tentu lebih tahu. “Akan saya rekomendasikan nanti,” jawab Pak Ardi.
Saya tersenyum. Tanpa perlu saya berkata-kata lagi, Pak Ardi pun paham. Sungai Guntung adalah sesuatu yang berbeda. Walaupun, tentu saja, membuka layanan sebulan penuh adalah ide yang membuat saya pusing kepala.
Dalam perjalanan pulang, saya teringat kata-kata Zen RS, “Sebab yang membuat orang mengikuti bukan tekanan, melainkan kejelasan.”
Saya berutang banyak terima kasih kepada pegawai-pegawai pajak terdahulu yang membuat warga Guntung mendapatkan kejelasan.
Sambil melihat riak air terbelah di belakang kapal yang membawa kami pulang, saya berpikir, “Orang-orang Guntung ini warga biasa. Mereka sebenarnya tak terikat kewajiban apa-apa, tetapi melakukan banyak hal hebat untuk negara. Saya sudah berbuat apa?”
Pewarta: Tobagus Manshor Makmun |
Kontributor Foto: Teddy Ferdiansyah |
Editor: Yacob Yahya |
*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 235 kali dilihat