Oleh: Dedik Herry Susetyo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak


Sebuah pertanyaan besar mengawali tulisan ini: Ada apa dengan bulan April?

Sejarah Indonesia mencatat bahwa April dimaknai sebagai bulan lahirnya perjuangan wanita Indonesia yang diinisiasi oleh Raden Ajeng Kartini (RA Kartini).  Nilai perjuangan RA Kartini terdokumentasi secara epik dalam bentuk karya besar yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Karya fenomenal ini memberikan banyak pembelajaran hidup bagi kaum wanita untuk berkontribusi aktif dalam membangun negeri. Keterbatasan yang ada bukan menjadi penghalang bagi kaum wanita untuk berpikir maju dalam memperjuangkan hak-hak wanita.

Dalam 3 tahun terakhir berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan melalui laman resmi www.bps.go.id bahwa jumlah rasio pertumbuhan penduduk wanita di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,02% per tahun dibandingkan rasio pertumbuhan penduduk laki-laki yakni 49,42% (2020), 49,44% (2021), dan 49,46% (2022). Fakta ini sebanding dengan semakin meningkatnya keterlibatan para wanita di berbagai sektor baik publik maupun swasta, bahkan beberapa telah menduduki jabatan strategis.

Pada lembaga legislatif misalnya. Pada pemilu periode 2019-2024, jumlah dan persentase anggota DPR RI dari kalangan wanita sebanyak 120 orang atau 20,87% dari keseluruhan anggota dewan. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan pemilu periode sebelumnya. Selanjutnya di sektor swasta misal industri hiburan. Banyak pelaku seni dari kalangan wanita yang menghiasi platform media hiburan karena adanya kesempatan yang diberikan oleh para pelaku usaha di bidang hiburan seperti acara pencarian bakat atau pengembangan pembuat konten.

Hal di atas tidak terlepas dari tuntutan gaya hidup wanita dalam mengekspresikan diri demi eksistensi dalam kehidupan bersosial. Tak heran, banyak wanita dengan keahlian tertentu menghasilkan karya-karya yang mampu mendorong eksistensi wanita dalam bermasyarakat. Dalam momen-momen istimewa, kalangan wanita hadir untuk mengeksplorasi dan mengembangkan diri melalui kegiatan seperti seminar, pelatihan, diskusi, gelar wicara dengan tema seputar kewanitaan, ketokohan, gaya hidup serta kontribusi wanita dalam pembangunan bangsa.

Sejalan dengan peningkatan jumlah populasi wanita dan kiprah wanita di era ekonomi global, hal ini menjadi penting bagi negara untuk memberikan dukungan positif atas keberadaan para wanita. Bahkan ada pepatah yang berbunyi “wanita adalah tiang negara” yang mengandung makna lugas bahwa kekuatan negara sangat tergantung dari keberadaan dan peran wanita. Keberadaan wanita menjadi kunci dalam menopang perekonomian Indonesia khususnya melalui kontribusi aktif wanita dalam membayar pajak. 

Bagaimana Pandangan Pajak terhadap Wanita?

Pajak menjadi tulang punggung penerimaan yang sangat penting bagi negara dalam peningkatan kualitas dan kuantitas pembangunan. Dalam APBN tergambar dengan jelas bahwa pajak menjadi komponen penerimaan negara yang dominan dibandingkan sumber penerimaan lainnya. Selama lima tahun terakhir, 80% unsur penerimaan APBN berasal dari pajak yang menjadi sumber utama dalam pembiayaan keuangan negara.

Pajak yang didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara oleh orang pribadi yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang tidak melihat bahwa penetapan subjek pajak orang pribadi sebagai wajib pajak berdasarkan jenis kelamin (gender), tetapi dilihat dari pemenuhan persyaratan subjektif dan persyaratan objektif. Pengertian ini memberikan makna bahwa wajib pajak orang pribadi baik pria maupun wanita mempunyai kesamaan dalam menjalankan hak dan kewajiban di bidang perpajakan.

Kewajiban perpajakan bagi wanita terbagi dalam beberapa kelompok yakni wanita yang tergolong sebagai anak belum dewasa, wanita dewasa belum menikah, wanita menikah tanpa pemisahan harta, wanita menikah dengan pemisahan harta, wanita menikah namun suami tidak berpenghasilan, dan wanita berstatus janda.

Kelompok pertama, yang dimaksud anak belum dewasa adalah anak di bawah umur 18 tahun. Apabila menerima atau memperoleh penghasilan maka penghasilan tersebut digabung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang tua. Hal ini sejalan dengan prinsip perpajakan yang menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis.

Kelompok kedua, wanita dewasa belum menikah. Pemenuhan kewajiban perpajakan bagi kelompok ini tunduk pada aturan perpajakan secara umum yakni atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima dan atau diperoleh sepanjang memenuhi persyaratan subjektif dan persyaratan objektif maka kewajiban perpajakan dijalankan sendiri oleh wanita tersebut.

Selanjutnya, kelompok ketiga yakni wanita kawin. Kewajiban perpajakan untuk kelompok ini disesuaikan dengan keadaan atau situasi apakah wanita kawin memiliki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau tidak dari suami sah. Bagi wanita kawin yang memilih untuk penggabungan harta dan penghasilan dengan suami maka kewajiban perpajakan melekat pada suami sebagai kepala keluarga. Berbeda kondisi apabila wanita dan suami menghendaki perjanjian pemisahan atas penghasilan dan harta maka kewajiban perpajakan dijalankan masing-masing.

Kelompok berikutnya adalah wanita kawin yang memiliki suami tidak berpenghasilan. Untuk memastikan kondisi tersebut, wanita yang masuk kelompok ini harus menunjukkan bukti berupa surat keterangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang menyatakan bahwa suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan. Penghitungan pajak untuk kelompok ini dengan memasukkan komponen Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) status kawin dan PTKP anggota keluarga yang menjadi tanggungan.

Kelompok terakhir yakni wanita yang berstatus janda. Wanita berstatus janda bisa disebabkan karena suami meninggal atau putusan pengadilan. Dalam kondisi seperti itu maka kewajiban perpajakan dilakukan sendiri oleh wanita tersebut sesuai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dimiliki. Namun, jika suami yang meninggal dunia ternyata meninggalkan harta atau usaha sebagai warisan yang belum terbagi maka seluruh kewajiban perpajakan melekat pada NPWP suami sampai warisan tersebut dibagikan.  

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa wanita dan pajak ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Kedudukan wanita dan pajak mempunyai kesamaan sebagai tulang punggung dalam pembangunan negara. Kontribusi dan keterlibatan wanita pada berbagai sektor menjadi peluang bagi wanita dalam mengekspresikan diri untuk membangun negeri.

Kontribusi nyata yang terlihat berupa pembayaran pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sebagai wajib pajak. Bahkan, ke depan dengan penerapan Nomor Induk Kependudukan menjadi NPWP, kontribusi pajak yang berasal dari kaum wanita dapat diukur dengan jelas.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.