Oleh: Muhammad Widodo Ma'ruf, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Bulan Ramadan, bulan suci penuh berkah. Tidak hanya umat muslim tapi mayoritas masyarakat Indonesia mendapatkan berkahnya. Salah satunya adalah berkah ekonomi karena menjelang berakhirnya Bulan Ramadan biasanya Pemerintah ataupun perusahaan-perusahaan akan berbagi Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para pegawainya.

Jadi teringat pertama kali dapat THR pada tahun 2018. Saat itu, THR yang saya terima sebesar 80% dari gaji karena masih berstatus sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Perasaan senang menyelimuti karena bisa beli tiket pesawat pulang untuk mudik (akronim dari bahasa Jawa, mulih dilik, yang artinya pulang sebentar).

Mudik merupakan tradisi tahunan menjelang perayaan Hari Raya Idulfitri. Biasanya, Pemerintah memberikan cuti bersama yang cukup lama menjelang Idulfitri, memungkinkan masyarakat untuk pulang ke kampung halaman.

Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan, diperkirakan sebanyak 193,6 juta orang akan melakukan mudik pada tahun 2024. Selama mudik, masyarakat menggunakan berbagai jenis moda transportasi seperti kereta api, bus, mobil, sepeda motor, dan lainnya.

Tradisi mudik ini juga didukung oleh pemberian uang THR sebelum pulang, yang membantu pemudik untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka dalam melakukan perjalanan dan berhubungan dengan keluarga di kampung halaman.

Tentu saja, aktivitas ekonomi saat musim mudik juga sangat signifikan. Bahkan, Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan uang tunai sebesar Rp197,6 triliun untuk memenuhi kebutuhan pertukaran uang rupiah selama bulan Ramadan dan Idulfitri tahun 2024.

Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 4,65 persen dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan pada tahun sebelumnya, yaitu Rp188,8 triliun. Ini menunjukkan peningkatan permintaan uang dari masyarakat secara keseluruhan dan meningkatnya mobilitas publik terkait fenomena mudik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I akan mencapai 5,2%. Sebagai informasi, pemerintah berhasil meraih angka pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2019 sebesar 5,05%. Kemudian meningkat pada kuartal II-202 sebesar 5,32%, kuartal II-2021 sebesar 7,07%, dan kuartal II-2022 sebesar 5,44%. Semuanya tumbuh di atas 5%.

Salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah memberikan komponen tunjangan kinerja 100% pada THR. Komponen lain yang ada dalam THR juga diberikan seperti tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan struktural fungsional, dan tunjangan umum lainnya. Pembayaran THR dilakukan paling cepat mulai 10 hari kerja sebelum lebaran.

Sementara itu Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menghimbau para pengusaha membayarkan THR Idulfitri wajib dibayarkan secara penuh dan paling lambat 7 hari sebelum hari raya Idulfitri.

THR merupakan penghasilan tambahan di luar gaji rutin. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya apakah THR kena pajak?

THR tetap dikenakan pajak karena termasuk pendapatan pekerja/buruh sekaligus objek pajak penghasilan atau PPh Pasal 21 khususnya wajib pajak orang pribadi. Aturan ini tertuang dalam PMK 168/2023, THR termasuk penghasilan yang bersifat tidak teratur.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023), perhitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap dilakukan melalui dua metode. Pertama, masa pajak dari Januari hingga November dihitung dengan menggunakan tarif efektif bulanan yang dikalikan dengan penghasilan bruto. Kedua, perhitungan masa pajak terakhir dilakukan dengan menggunakan tarif progresif sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), yang dikalikan dengan penghasilan kena pajak.

Dalam konteks ini, penghitungan PPh Pasal 21 atas bonus atau Tunjangan Hari Raya (THR) juga dipengaruhi. Apabila seorang pegawai tetap menerima penghasilan yang tidak teratur dalam suatu masa pajak, penghasilan tersebut akan dimasukkan ke dalam penghasilan bruto. Untuk menetapkan jumlah PPh Pasal 21 yang harus dibayarkan, penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan Tarif Efektif Rata-Rata (TER), dalam hal ini tarif efektif bulanan, yang sesuai dengan status Perkiraan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari pegawai tetap yang bersangkutan.

Seorang pegawai tetap yang berstatus kawin tanpa tanggungan (K/0) dan bekerja penuh selama satu tahun memiliki gaji bulanan sebesar Rp10 juta. Dia juga menerima THR sebesar Rp10 juta pada bulan April 2024. Terdapat premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) sebesar Rp80.000 per bulan.

Sebelum bulan April, pegawai tersebut hanya menerima gaji bulanan sebesar Rp10 juta. Perhitungan pajak dilakukan dengan mengurangi total penghasilan Rp 10 juta dengan premi JKK dan JKM Rp 80.000, kemudian mengalikannya dengan Tarif Efektif Rekayasa (TER) Bulanan sebesar 2,25%. Hal ini menghasilkan PPh Pasal 21 sebesar Rp226.800 per bulan.

Namun, perhitungan pajak berubah saat pegawai menerima THR sebesar Rp 10 juta di bulan April. TER Bulanan yang dikenakan naik menjadi 9%. Sehingga, pajak terutangnya sebesar Rp 1.807.200. Jumlah ini dihasilkan dari tarif pajak 9% yang dikenakan pada total pendapatan bulan April sebesar Rp 20 juta setelah dikurangi premi JKK dan JKM sebesar Rp 80.000. Untuk mempermudah perhitungan, Anda bisa menggunakan Kalkulator Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak melalui laman https://kalkulator.pajak.go.id/.

Pajak yang sudah dipotong pada bulan Januari sampai dengan November dapat diperhitungkan ketika melakukan perhitungan masa pajak terakhir. Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sebelum masa pajak terakhir lebih besar daripada PPh Pasal 21 yang terutang selama satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, kelebihan potong PPh Pasal 21 tersebut wajib dikembalikan oleh Pemotong Pajak kepada Pegawai Tetap dan Pensiunan yang bersangkutan beserta dengan pemberian bukti pemotongan PPh Pasal 21. Hal ini dikecualikan bagi PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah.

Tidak ada perbedaan dalam jumlah pajak yang terutang setelah penerapan TER yang diatur dalam PMK 168/2023 dengan perhitungan pajak sebelumnya. Oleh karena itu, hal yang krusial ketika menerima THR adalah memastikan mendapatkan bukti potong pajaknya.

Bukti potong yang diterima selama selama satu tahun pajak atau bagian tahun pajak dapat dikreditkan saat pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi, paling lambat tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak atau 31 Maret.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.