Tested Party dalam Pengujian Transfer Pricing

Oleh: Agus Saptomo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tidak dapat dimungkiri, bahwa semakin berkembangnya perekonomian suatu negara, maka akan semakin banyak pula kebutuhan warga negara yang timbul karenanya. Namun, di sisi lain, disadari pula bahwa tidak ada suatu negara di dunia ini, yang mampu untuk memenuhi seluruh kebutuhan warga negaranya sendiri. Ada banyak barang kebutuhan ataupun jasa dari suatu negara yang hanya bisa dipenuhi oleh negara lain. Sehingga, dalam perdagangan yang terjadi antarnegara, pasti akan timbul perlakuan-perlakuan khusus atas suatu transaksi-transaksi di dalamnya yang melibatkan berbagai macam perusahaan multinasional maupun entitas bisnis. Baik itu dari sisi produsen, penyedia (penjual) maupun penerima (pembeli), mereka mengharapkan adanya perlakuan hubungan yang berbeda dan hubungan istimewa/khusus (spesial) .
Hubungan istimewa yang dimaksudkan ini merupakan suatu hubungan kepemilikan yang terjadi antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya, sehingga ketika hubungan ini terjadi akan timbul adanya suatu keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya.
Kita perlu merujuk pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cika), dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN/PPnBM) jo. UU Cika. hubungan istimewa ada, apabila terjadi karena tiga hal. Ketiganya yaitu pertama, ketika wajib pajak memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada wajib pajak lain; kedua terdapat adanya hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan 25% atau lebih pada dua wajib pajak atau lebih, wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya, atau dua atau lebih wajib pajak berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; dan ketiga adanya hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan, baik lurus maupun ke samping satu derajat.
Itulah sebenarnya awal mula munculnya perilaku transaksi transfer pricing yang kita kenal sekarang ini, saat berlakunya UU PPh versi Nomor 10 Tahun 1994, dan UU PPN/PPnBM versi Nomor 42 Tahun 2009. Sehingga, dapat kita definiskan bahwa transfer pricing merupakan suatu harga jual khusus yang biasanya dipakai sebagai alat pertukaran antar organisasi divisional untuk mencatat setiap pendapatan yang ada dari suatu bagian penjualan, dan dari biaya yang dikeluarkan oleh suatu bagian pembelian.
Tahapan Pemeriksaan
Pemeriksaan merupakan serangkaian kegiatan untuk menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam pemeriksaan transfer pricing, terdapat tiga tahapan yang dilakukan, dimulai dari tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan tahapan pelaporan.
Pada tahapan persiapan, harus dilakukan sesuai dengan tata cara pemeriksaan yang berlaku. Saat kegiatan ini berlangsung, pemeriksa pajak mengumpulkan dan mempelajari data wajib pajak terkait hubungan istimewa dengan lawan transaksinya. Sedangkan dalam tahapan pelaksanaan pemeriksaan transfer pricing, terdiri dari kegiatan menentukan karakteristik usaha wajib pajak, memilih metode transfer pricing, dan menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle/ALP). Dalam pelaksanaan pemeriksaan transfer pricing, pemeriksa pajak perlu memperhatikan dokumen yang menjadi dasar penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Tested Party
Saat pengujian atau analisa transfer pricing, sering timbul pertanyaan, pihak manakah yang lebih tepat untuk dijadikan pihak yang diuji (tested party), dan apakah dimungkinkan jika wajib pajak memindahkan pihak yang diuji (tested party) tersebut kepada lawan transaksinya, karena bisa jadi transaksi-transaksi tersebut tidak muncul pada laporan keuangan wajib pajak, khususnya laporan rugi labanya.
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 22/ PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dinyatakan bahwa, dalam pemilihan pihak yang diuji (tested party) dilakukan berdasarkan analisis fungsi yang telah dibuat dan keandalan data/bukti/keterangan serta fakta yang diperoleh dalam pemeriksaan. Pemeriksa pajak dapat memilih wajib pajak yang sedang diperiksa (audited party) sebagai pihak yang diuji (tested party). Pemeriksa pajak juga dapat memilih lawan transaksi dari wajib pajak yang sedang diperiksa sebagai pihak yang diuji (tested party). Pada umumnya, yang dipilih sebagai pihak yang diuji (tested party ) adalah pihak yang memiliki fungsi yang lebih sederhana (lesscomplex functions) dan tidak memiliki unique/valuable intangible property.
Pernyataan ini didukung oleh OECD Guidelines Chapter III paragraph 3.18;”…….The choice of tested party should be consistent with the functional analysis of the transaction. As a general rule, the tested party is the one to which a transfer pricing method can be applied in the most reliable manner and for which the most reliable comparables can be found, i.e. it will most often be the one that has the less complex functional analysis.”
Analisis fungsi, aset dan risiko dapat dilakukan untuk membantu proses dalam penentuan tested party. Analisa ini dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi yang terkait fungsi, asset dan resiko dari pihak yang melakukan transaksi. Dari penjelasan tersebut diatas, pengujian lebih tepat dilakukan terhadap lawan transaksi. Tentu saja dengan catatan, jika fungsi yang dilakukan oleh lawan transaksi cukup sederhana, dan wajib pajak memiliki akses untuk memperoleh data yang berkaitan dengan lawan transaksi tersebut. Pengujian terhadap lawan transaksi dirasa lebih tepat, mengingat transaksi ini dapat terlihat pada laporan rugi laba lawan transaksi. Pengujian dilakukan dengan melihat margin yang dihasilkan oleh lawan transaksi. Margin dapat dihitung dengan menggunakan rasio tingkat pengembalian (net profit indicator) sesuai dengan karakteristik tested party, yang nantinya akan dibandingkan dengan perusahaan pembanding.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis fungsi yang telah dibuat dengan didukung keandalan data/bukti yang diperoleh dalam pemeriksaan, Pemeriksa Pajak dapat memilih dua pihak yang diuji (tested party) dalam transaksi afiliasi sebagai pihak yang diuji (tested party). Kedua pihak tersebut yaitu wajib pajak yang sedang diperiksa (audited party) dan lawan transaksinya.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 648 kali dilihat