Sulistyowati Ningsih, Pejuang Kebun yang Tangguh

Oleh: Wuriningsih, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sulistyowati Ningsih, perempuan kelahiran Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah dari orang tua yang berprofesi sebagai petani. Sosok mungil ini adalah seorang fungsional penilai pajak. Dan kini ditugaskan di KPP Pratama Padang Dua.
Sulis, demikian panggilannya sehari-hari, mempunyai tiga putra dan putri. Suaminya yang bernama Sulis juga seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan saat ini menjabat sebagai Kepala Seksi di salah satu Kantor Wilayah DJP di Jakarta.
Seperti banyak dialami pasangan DJP lain, suami istri ini bertugas di kantor dan bahkan pulau yang berbeda. Menjalani hidup terpisah jarak yang cukup jauh. Anak-anak dan suami tinggal di Tangerang, sementara Sulis menjalani hidup di kota Padang. Akhir pekan adalah saat mereka berkumpul kembali di Tangerang.
Sebagai fungsional penilai pajak, mengharuskan Sulis sering-sering "sobo kebon" atau kunjungan ke kebun/hutan dan bukan duduk manis di kantor dengan ruangan yang berpendingin. Saya tahu seperti apa kebun dan hutan di Sumatera karena pernah bertugas di sana. Perkebunan di Sumatera yang didominasi oleh kelapa sawit itu letaknya jauh dari pusat kota.
Medan yang harus dilalui untuk sampai ke kebun tak selamanya berupa jalan aspal mulus. Seringkali untuk sampai ke kebun harus menyeberang sungai dengan transportasi kapal tradisonal. Dengan jalanan rusak yang becek dan sulit dijangkau. Sinyal telepon genggam pun tidak ada. Sehingga selama beberapa hari harus putus komunikasi dengan dunia luar.
Tak jarang tugas ke kebun tidak bisa diselesaikan hanya dalam satu hari sehingga mengharuskan menginap, dengan fasilitas penginapan yang jauh dari kata nyaman. Dan selama ini Sulis melakukan semua itu nyaris tanpa keluhan.
Sebelum dimutasi ke Padang Dua, Sulis sedang berjuang untuk mengobati penyakit kanker tyroid dan parotis stadium 3 yang diderita suaminya. Dan pengobatan ini terus berlanjut saat Sulis dimutasi jauh dari suami.
Sampai dengan 2016 mereka telah melakukan operasi pengangkatan kanker sebanyak tiga kali, dan bahkan sudah dilakukan kemoterapi sebanyak enam kali dan radiasi/penyinaran sebanyak 30 kali. Sebuah ikhtiar yang menguras semua daya. Baik tenaga, waktu, pikiran, dan sudah barang tentu materi yang tak sedikit.
Jarak Padang-Jakarta, tak menghalangi kegigihan mereka untuk mencari kesembuhan bersama. Walau tak selamanya berada di samping suami di saat-saat terberat menjalani pengobatan itu, Sulis mendukung penuh proses penyembuhan itu.
Ada saat-saat kondisi suaminya drop pasca kemoterapi dan Sulis tak sedang berada di sisi suaminya. Tanpa banyak mengeluh, melalui pesan WhatsApp, Sulis mengirim pesan permintaan doa pada teman-teman untuk kesembuhan suaminya. Alhamdulillah, banyak teman yang ringan tangan membantu. Hingga akhirnya proses pengobatan yang menyakitkan dan melelahkan itu bisa terlalui.
Banyak orang yang mempertanyakan keputusan mereka menjalani hidup berjauhan seperti sekarang. Banyak yang bertanya, mengapa tak mengambil cuti saja agar bisa mendampingi pengobatan suami? Mengapa tak begini, mengapa tak begitu, dan sebagainya. Tapi Sulis memantapkan hati untuk menjalani hidup dengan realistis dan mengesampingkan perasaan melankolisnya.
Pengobatan kanker itu tidak murah, memerlukan waktu yang panjang, lama, dan biaya yang tak sedikit. Untuk itulah Sulis bertahan menjalankan tugasnya di Padang. Demi menyokong pengobatan suami dan memenuhi kebutuhan anak-anak. Dengan penuh keyakinan menitipkan suami dan anak-anaknya kepada Allah SWT, sementara Sulis tetap mencari nafkah di Padang.
Beberapa bulan lalu, suaminya kembali memeriksakan diri ke dokter karena di sekitar area yang pernah dioperasi tumbuh benjolan lagi. Dan dokter memutuskan harus dilakukan operasi kembali. Mengingat ini adalah operasi keempat dengan resiko yang tinggi, maka mereka memutuskan akan melakukan operasi secepatnya tanpa fasilitan dari BPJS, karena jika menggunakan BPJS terhalang dengan antrian yang panjang dan memakan waktu yang lama.
Dengan bekal tawakal dan mengerahkan segenap daya dan upaya mereka berikhtiar kembali untuk mencari kesembuhan dan hasilnya nanti seperti apa diserahkan kepada Allah SWT. Selalu berusaha dan berprasangka baik serta menjaga hati dan lisan dari mengeluh. Sulis berprinsip ujian itu dijalani dengan ikhlas dan semangat.
Kondisi yang jauh dari keluarga dan berbagai ujian yang menimpa, tak menghalangi Sulis untuk berprestasi dalam pekerjaannya. Kesungguhannya dalam bekerja diganjar dengan penghargaan sebagai “Fungsional Penilai Pajak dengan Kinerja Pengumpulan Data Pasar Terbaik Tahun 2017” dari Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian DJP. Prestasi yang luar biasa bagi seorang fungsional penilai perempuan karena profesi ini biasanya didominasi oleh laki-laki.
Dan semua hal yang menyita hati dan pikirannya itu, tak membuat Sulis menjadi pribadi yang tidak peka terhadap kesulitan orang lain. Ketika ada kesusahan menimpa teman-temannya, maka tak segan dia sigap membantu. Sulis juga merupakan salah satu pengurus Komunitas Bebas Riba DJP. Sebuah komunitas yang bertujuan yang menolong teman-teman di DJP agar terbebas dari jerat riba. Saat ini sudah puluhan orang dan mungkin ratusan orang dibebaskan dari riba melalui komunitas ini.
Saya belum pernah kenal dan bertemu secara nyata dengan Sulis, tapi saya sudah pernah mendapatkan hadiah yang diselipkan dalam sebuah paket yang dikirimkan oleh seorang teman, sampai beberapa waktu kemudian saya baru tahu, bahwa hadiah itu berasal dari Sulis. Memberi tanpa pamrih dan menyembunyikan tangannya, begitulah prinsipnya.
Saya belajar dari Sulis tentang dedikasinya, keikhlasannya, dan semangatnya. Kontribusinya kepada DJP tetap maksimal meski banyak ujian. Tetap rendah hati dan menolong sesama. Semoga suatu saat saya bisa bertemu dengan perempuan tangguh ini.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 277 kali dilihat